Kerugian Kasus Timah Lebih Besar jika Perhitungkan Ruang Hidup Masyarakat
Kerugian akibat kerusakan ekologis bisa lebih besar jika memperhitungkan masyarakat yang kehilangan ruang hidupnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Kejahatan lingkungan dan korupsi di bidang sumber daya alam (SDA) masih terus dilakukan oleh sejumlah pihak, khususnya korporasi. Kasus korupsi di bidang SDA ini tidak hanya merugikan perekonomian negara, tetapi juga berdampak terhadap lingkungan dan sosial.
Terbaru, kasus dugaan korupsi pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah 2015-2022 yang dikalkulasi telah menyebabkan kerusakan lingkungan dengan nominal Rp 271 triliun. Nilai tersebut diperoleh dari valuasi kerusakan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan yang rusak.
Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Alfarhat Kasman mengatakan, penghitungan kerugian negara akibat kerusakan ekologis merupakan hal yang wajar dalam kasus korupsi di sektor pertambangan atau SDA. Bahkan, diperkirakan nominal kerugian akibat kerusakan ekologis ini bisa lebih besar karena mencakup ruang hidup masyarakat.
”Daya rusak yang ditimbulkan dari korupsi pertambangan akan berefek jangka panjang terhadap warga yang kehilangan ruang hidupnya. Namun, memang penghitungan kerugian ekologis ini membutuhkan metodologi yang bisa melihat dampaknya terhadap masyarakat,” ujarnya dalam diskusi terkait korupsi timah secara daring, Rabu (3/4/2024).
Masyarakat di sekitar lokasi merupakan kelompok yang paling merasakan dampak kerusakan ekologis, seperti degradasi sungai dari kegiatan pertambangan. Hasil penelitian dari Dartmouth College, Amerika Serikat, menunjukkan, lebih dari 35.000 kilometer sungai tropis di dunia, termasuk Indonesia, terkena dampak penambangan emas dan mineral.
Degradasi sungai dan kerusakan lingkungan ini pada akhirnya akan membawa bencana ekologis, seperti banjir dan tanah longsor, yang mengancam keselamatan ribuan masyarakat lokal. Di sisi lain, krisis ekologis akan turut memperparah konflik satwa dan manusia karena mereka kehilangan habitat alaminya yang berubah menjadi tambang timah.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari menyatakan, korupsi di sektor pertambangan, khususnya timah, bukanlah kasus baru di Indonesia. Bahkan, diperkirakan masih banyak pihak yang melakukan korupsi dengan modus serupa.
”Kasus korupsi PT Timah ini cukup ironis karena melibatkan BUMN (badan usaha milik negara). Kegiatan pertambangan juga diakomodasi dengan berbagai skema dan membuat kasus korupsi ini seolah-olah merupakan sesuatu hal yang legal,” ujarnya.
Apabila telah direhabilitasi, tanah bekas tambang aman untuk ditanami tanaman produksi dan dikonsumsi manusia.
Juliantari menilai, kerugian negara dari kasus korupsi timah ini bisa lebih besar apabila didalami aspek-aspek lainnya, seperti royalti dan pajak. Hal ini berkaca pada data ICW bahwa terdapat nilai royalti dan pajak sekitar Rp 3 triliun yang seharusnya diterima negara dari timah-timah ilegal yang diekspor ke wilayah di Asia Tenggara, tetapi tidak dibayarkan oleh perusahaan.
Meski demikian, kerugian negara yang besar ini tidak berbanding lurus dengan hukuman yang diberikan kepada para pelaku korupsi. ICW mencatat, rata-rata hukuman pidana penjara yang diberikan kepada pelaku korupsi hanya tiga tahun empat bulan. Kemudian para pelaku juga masih bisa mendapatkan remisi dan prosesnya lebih mudah.
”Dari sekitar Rp 48 triliun uang pengganti hasil korupsi, hanya terealiasi Rp 3 triliun atau hanya 7 persen. Jadi, semangat pemidanaan ini tidak mendukung untuk pemulihan dampak dari korupsi. Kita bisa lihat uang pemulihan ini tidak kembali ke negara,” ucapnya.
Upaya pemulihan
Selama ini, upaya pemulihan lahan bekas tambang tidak hanya dapat memperbaiki lingkungan, tetapi juga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini salah satunya ditunjukkan dari proses pemulihan lingkungan bekas tambang batu kapur atau gamping di Argo Wijil, Gunungkidul, Yogyakarta, yang ditambang sejak 1980-an hingga 2005.
Setelah ditambang, lahan di Argo Wijil terbengkalai selama 11 tahun atau dijadikan lahan tidak produktif. Namun, perekonomian masyarakat kemudian berkembang setelah adanya upaya pemulihan dan dibangun pasar ekologis di lahan bekas tambang kapur ini.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) juga menunjukkan lahan bekas pertambangan berpotensi dimanfaatkan sebagai areal pertanian.
Tim dari Kementan pada 2016-2019 meneliti lahan bekas tambang timah di Bangka Tengah, Bangka Belitung, dan lahan bekas tambang batubara di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pada 2016-2018. Dua penelitian tersebut menyimpulkan, lahan bekas tambang memiliki kandungan bahan organik dan unsur hara yang rendah akibat kerukan alat berat sehingga memiliki tingkat kesuburan yang rendah.
Meski tingkat kesuburan rendah, kandungan logam berat pada tanah bekas tambang berada di bawah ambang batas yang dapat ditoleransi. Artinya, jika telah direhabilitasi, tanah bekas tambang aman untuk ditanami tanaman produksi dan dikonsumsi manusia.
Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB University, Iskandar, pernah menyatakan, dalam proses perizinan aktivitas pertambangan, pihak pemegang konsesi tambang diwajibkan melakukan reklamasi pada lahan yang mengalami degradasi. Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara.
Jika kebijakan tersebut dilakukan, tidak tertutup kemungkinan lahan bekas tambang dapat direhabilitasi dan dijadikan media tanam. Bahkan, dengan skema pemberdayaan, upaya pemulihan lahan bekas tambang bisa memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat.