Gempa Terkuat di Taiwan dalam 25 Tahun dan Alarm Bahaya untuk Indonesia
Gempa bumi di Taiwan menjadi alarm peringatan bagi Indonesia yang juga berada di jalur Cincin Api Pasifik.
Gempa bumi besar berkekuatan 7,4 M yang melanda pantai timur tengah Taiwan, sekitar 20 kilometer selatan lepas pantai Hualien, Rabu (3/4/2024), merupakan yang terkuat dalam 25 tahun di negeri itu. Gempa ini menjadi alarm peringatan bagi Indonesia, yang juga berada di jalur Cincin Api Pasifik untuk lebih bersiap menghadapi guncangan yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Badan pemantau gempa di Taiwan melaporkan, gempa tersebut berkekuatan M 7,2, sedangkan Survei Geologi AS menyebutkan gempa berkekuatan M 7,4. Kedalaman pusat gempa sekitar 35 kilometer, tergolong dangkal dan menjadi gempa terkuat dalam 25 tahun terakhir di Taiwan.
Peringatan tsunami dikeluarkan untuk Taiwan dan negara-negara sekitarnya, termasuk Jepang dan Filipina. The Japan Meteorological Agency melaporkan, tsunami setinggi 30 sentimeter terdeteksi di pesisir Pulau Yonaguni, selatan Jepang, sekitar 15 menit setelah gempa. Tsunami lebih kecil juga terdeteksi di Pulau Ishigaki dan Miyako.
Laporan terbaru sejumlah kantor berita menyebutkan, korban jiwa sebanyak 9 orang, 50 orang masih hilang, dan luka-luka lebih dari 1.000 orang. Rata-rata mereka menjadi korban karena tanah longsor yang terjadi sesaat setelah gempa. Bebatuan serta puing yang berjatuhan menghantam terowongan dan jalan raya, menghancurkan kendaraan, menyebabkan beberapa kematian.
Sebagian besar korban tinggal di desa-desa pegunungan Hualien. Beberapa bangunan mengalami kerusakan. Dalam gambar yang diambil dari rekaman video yang ditayangkan TVBS terlihat sebuah bangunan yang runtuh sebagian di Hualien.
Wali Kota Hualien Hsu Chen-wei, seperti dilaporkan AFP, mengatakan, sebanyak 48 bangunan tempat tinggal rusak di kota tersebut, yang memiliki nama yang sama dengan kabupaten tersebut. Hsu mengatakan, pasokan air dan listrik sedang dalam proses pemulihan.
Meskipun sebagian besar penduduk Taiwan tinggal di pantai barat negara tersebut, Kota Hualien adalah salah satu pusat kepadatan terbesar di pantai timur. Jumlah populasi di wilayah ini sekitar 100.000 jiwa.
Sementara itu, di Ibu Kota Taipei yang padat, gempa ini tidak menimbulkan kerusakan berarti, meskipun dampaknya dilaporkan juga sangat terasa di sana.
Baca juga: Gempa Taiwan Dipicu Salah Satu Sesar Paling Aktif di Dunia
Kesiapsiagaan Taiwan
Melihat kekuatan gempa dan sumbernya yang dangkal, gempa ini bisa memicu kerusakan yang lebih besar. Namun, kesiapsiagaan Taiwan, terutama implementasi bangunan tahan gempa, membuat kerusakan dan korban bisa dikurangi.
”Kesiapsiagaan gempa Taiwan termasuk yang paling maju di dunia,” kata Stephen Gao, ahli seismologi dan profesor di Universitas Sains dan Teknologi Missouri, kepada AP.
Menurut Gao, Taiwan yang berpenduduk 23 juta jiwa ini telah menerapkan peraturan bangunan yang ketat, jaringan seismologi kelas dunia, dan kampanye pendidikan publik yang luas mengenai keselamatan dari gempa.
Taiwan memang tidak asing dengan gempa bumi dahsyat mengingat posisinya yang dilintasi Jalur Cincin Api Pasifik, jalur kegempaan yang mengelilingi Samudra Pasifik, tempat terjadinya sebagian besar gempa bumi di dunia.
Pulau Taiwan berada di zona ketegangan yang terakumulasi akibat interaksi dua lempeng tektonik, yaitu Lempeng Laut Filipina dan Lempeng Eurasia. Lanskap pegunungan di kawasan ini juga dapat memperbesar guncangan tanah sehingga menyebabkan tanah longsor ketika diguncang gempa.
Menurut data USGS, Taiwan dan perairan sekitarnya tercatat diguncang sekitar 2.000 gempa bumi berkekuatan M 4,0 atau lebih besar sejak tahun 1980 hingga saat ini. Lebih dari 100 gempa bumi itu berkekuatan di atas M 5,5.
Gempa yang berulang juga mendorong Pemerintah Taiwan terus-menerus merevisi tingkat ketahanan gempa yang diperlukan untuk bangunan baru dan bangunan lama.
Gempa terburuk dalam sejarah Taiwan terjadi pada 21 September 1999 dengan kekuatan M 7,7. Gempa saat itu menyebabkan 2.400 kematian, melukai sekitar 100.000 orang, dan menghancurkan ribuan bangunan.
Sejak kejadian itu, Taiwan melakukan perubahan besar dalam kesiapsiagaan menghadapi gempa ataupun penanganan tanggap darurat. Sebagai hasilnya, Pemerintah Taiwan kemudian mengeluarkan Disaster Prevention and Protection Act, yang di antaranya memandatkan penguatan koordinasi dan kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi.
Gempa yang berulang juga mendorong Pemerintah Taiwan terus-menerus merevisi tingkat ketahanan gempa yang diperlukan untuk bangunan baru dan bangunan lama. Pemerintah Taiwan juga menawarkan subsidi kepada penduduk yang ingin memeriksa ketahanan bangunan mereka terhadap gempa.
Aturan hukum juga ditegakkan dengan keras bagi developer yang dianggap lalai dalam menerapkan standar bangunan tahan gempa. Misalnya, menyusul gempa tahun 2016 di Tainan, di pantai barat daya pulau itu, lima orang yang terlibat dalam pembangunan gedung apartemen bertingkat 17 yang merupakan satu-satunya bangunan besar yang runtuh saat itu dan menewaskan puluhan orang, dinyatakan bersalah dan dipenjarakan.
Taiwan juga mendorong latihan gempa di sekolah-sekolah dan tempat kerja sementara media publik dan telepon seluler secara teratur menyampaikan pemberitahuan tentang gempa bumi dan keselamatan.
”Langkah-langkah ini telah secara signifikan meningkatkan ketahanan Taiwan terhadap gempa bumi, membantu mengurangi potensi kerusakan besar dan korban jiwa (saat ini),” kata Gao.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia juga berada di jalur Cincin Api Pasifik, sebagaimana Taiwan dan Jepang. Seperti Taiwan dan Jepang, Indonesia juga sangat rentan dan telah berulang kali dilanda gempa bumi, sebagian berkekuatan sangat besar hingga M 9,1 yang terjadi di Samudra Hindia sebelah selatan Aceh pada 2004, yang merupakan gempa dan tsunami terkuat dalam sejarah yang memicu 200.000 korban jiwa.
Tak hanya bersumber di lautan, Indonesia juga sangat rentan mengalami gempa bumi dengan sumber di darat. Hampir semua gempa di atas M 6 di Indonesia memicu kerusakan besar, terutama jika sumbernya di dekat atau di daratan.
Misalnya, gempa berkekuatan M 7,5 di Palu pada 2018 yang menyebabkan 4.300 korban jiwa. Gempa M 6,3 yang melanda Yogyakarta pada 26 Mei 2006 bahkan menewaskan 6.000 orang, berada di urutan kesepuluh gempa paling mematikan di dunia, padahal magnitudonya tergolong menengah.
Bahkan, gempa di bawah M 6 pun bisa memicu banyak korban. Misalnya, gempa M 5,6 yang melanda Cianjur, Jawa Barat, pada 21 November 2022 yang menyebabkan ratusan orang meninggal dan ribuan luka-luka.
Terus berulangnya kehancuran dan banyaknya korban jiwa dalam kejadian gempa menunjukkan banyaknya titik lemah dalam kesiapsiagaan gempa di Indonesia, terutama dalam penerapan bangunan tahan gempa. Kerentanan terutama dialami rumah-rumah rakyat, yang umumnya belum dibangun sesuai standar bangunan tahan gempa.
Seperti pernah disampaikan ahli bangunan tahan gempa dan Guru Besar Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia Sarwidi, survei yang dilakukannya di beberapa daerah menunjukkan, bangunan rakyat yang memenuhi standar bangunan tahan gempa baru sekitar sepertiga dari rumah yang ada.
Bahkan, riset ahli bangunan aman gempa Teddy Boen (2015) menunjukkan, dari 30,2 juta rumah penduduk di perkotaan, sebanyak 81 persennya berada di zona gempa kuat. Sementara dari 30,8 juta rumah di pedesaan yang berada di zona gempa kuat sebesar 85 persen. Bangunan di zona gempa ini, terutama rumah rakyat, baik di pedesaan maupun perkotaan, umumnya belum mengikuti standar aman gempa.
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) bangunan tahan gempa tahun 2012 yang diperbarui pada 2019. Namun, pedoman ini sulit diterapkan untuk bangunan rakyat kebanyakan dibangun sendiri oleh tukang, tanpa adanya pengawasan. Selain itu, sejauh ini juga belum ada program untuk memberikan subsidi perkuatan rumah yang ada, sebagaimana dilakukan Taiwan atau Jepang.
Selain soal kekuatan bangunan, tata ruang kita kebanyakan juga belum memperhitungkan jarak aman dari jalur patahan, yang sebagian di antaranya berada di daratan. Banyak bangunan, termasuk bangunan publik, dibangun persis di jalur patahan aktif, misalnya di sekitar Patahan Lembang, Jawa Barat. Bahkan, bangunan baru juga dibangun di jalur-jalur sesar yang baru saja dilanda gempa, seperti terjadi di Palu ataupun Cianjur.
Lihat juga: Banyak Sesar Aktif Belum Terpetakan, Mitigasi Bencana Krusial di Area Cincin Api
Dengan kondisi ini, Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara paling berisiko menghadapi ancaman gempa. Risiko itu bukan hanya dari banyaknya sumber gempa, yang sebagian masih belum dipetakan, tetapi juga karena masih lemahnya kapasitas kesiapsiagaan kita.