Mama-mama Penjaga Laut Papua
Ketangguhan mama-mama Papua teruji saat diberi kepercayaan mengelola sasi. Mereka menjaga budaya dan laut agar lestari.
Lewat tradisi sasi, mama-mama di Tanah Papua berupaya lepas dari bayang-bayang budaya patriarki. Mereka menjaga dan mengelola laut yang tak pernah ingkar memberi penghidupan jika terus dilestarikan.
Jarum jam baru menunjukkan pukul 09.00 WIT, tetapi mama-mama di Kampung Kapatcol, Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, sudah ”berpesta” di laut, Senin (25/3/2024). Mereka memanen teripang, lola, lobster, dan siput batu laga di kawasan sasi yang dikelola Kelompok Perempuan Waifuna.
Belum satu menit menyelam, Yolanda Olivia Kacili (23) telah muncul ke permukaan. Tangan kanannya memegang teripang susu putih yang berukuran lebih besar dari lengannya. Setelah meletakkan teripang ke perahu, ibu satu anak itu kembali molo atau menyelam ke dasar laut.
Selain mama-mama, buka sasi juga diikuti laki-laki dan anak-anak. Saat menyelam, sebagian besar dari mereka cuma memakai kacamata renang. Hanya beberapa orang yang menggunakan snorkel dan fins. Penggunaan kompresor tidak diperbolehkan.
Saat mama-mama lain masih menyelam, Yolanda kembali muncul ke permukaan. Kali ini kedua tangannya memegang beberapa teripang dada merah dan lola. Air laut yang jernih membuat pergerakannya di bawah laut terlihat jelas dari atas permukaan.
”Di bawah (laut) banyak sekali teripang dan lola. Sepertinya hasil buka sasi tahun ini akan melimpah,” ujarnya sembari menarik napas sebelum kembali menyelam.
Baca juga: Jaga Tradisi Sasi, Rawat Ekologi ”Bumi Cenderawasih”
Yolanda merupakan salah satu mama muda di Kelompok Perempuan Waifuna. Kemampuan menyelamnya menjadi yang terbaik di kelompok itu. Dalam sebuah latihan tahun lalu, ia mampu menyelam tanpa tabung oksigen hingga kedalaman 19 meter.
Kemampuan itu membuatnya sangat cekatan dalam menangkap teripang dan lola. Selain itu, ia juga terbantu dengan kejernihan air laut sehingga pandangannya cukup jelas untuk melihat biota laut.
Yolanda bekerja di sebuah perusahaan mutiara di Yellu, Misool Selatan. Ia izin untuk tidak masuk kerja demi ikut buka sasi oleh kelompok mama-mama yang dilakukan selama tiga hari pada 25-27 Maret.
”Sasi itu umumnya dikelola oleh laki-laki. Namun, di Kapatcol, mama-mama membuktikan juga bisa mengelola sasi sehingga tidak kalah dengan laki-laki. Selain menjaga budaya, perempuan bisa ikut melestarikan laut,” katanya.
Berjarak sekitar 15 meter dari Yolanda, Marsince Korwa (43) berenang sambil memegang teripang hitam. Di perahunya juga sudah terkumpul beberapa teripang dada merah dan lola. Semua hasil tangkapan itu diperoleh dari menyelam di kedalaman kurang dari 8 meter.
”Ini masih di pinggir-pinggir saja sudah banyak. Sebentar coba geser ke tengah, siapa tahu dapat lobster juga. Mencari batu laga agak susah karena warna dan bentuknya mirip karang,” katanya.
Berbeda dengan mengambil teripang, lola, dan batu laga yang cukup dengan tangan kosong, warga memakai gate-gate (alat tradisional berbahan nilon) untuk menangkap lobster. Umumnya lobster hidup di sekitar terumbu karang. Oleh sebab itu, penangkapannya mesti hati-hati agar tidak merusak karang.
Hasil terbanyak
Buka sasi oleh Kelompok Perempuan Waifuna menghasilkan 1.400 teripang, 600-an lola, dan 20 lobster. Setelah proses buka sasi oleh mama-mama, warga dapat mengambil hasil laut untuk keperluan lainnya sebelum sasi kembali ditutup sekitar dua pekan kemudian.
Pembatasan tangkapan berdasarkan ukuran dilakukan agar pemanfaatan laut berkelanjutan. Dengan begitu, biota laut yang berukuran kecil dapat dipanen pada buka sasi selanjutnya.
Untuk menjaga kelestariannya, penangkapan biota laut dibatasi berdasarkan ukurannya. Pengambilan teripang, misalnya, hanya diperbolehkan dengan panjang 15 sentimeter atau lebih. Sementara untuk lola berukuran 7 cm ke atas dan lobster dengan berat lebih dari 5 ons.
Keterlibatan kelompok perempuan di Kapatcol dalam mengelola sasi dimulai sejak 2011. Kelompok tersebut didampingi Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) untuk mengelola laut secara berkelanjutan.
”Hasil tahun ini yang paling banyak bagi mama-mama sepanjang buka sasi di Kapatcol. Hasil penjualannya akan digunakan untuk membantu biaya pengobatan dua anak yang sedang sakit. Kemungkinan nanti akan dibawa ke rumah sakit di Sorong (ibu kota Papua Barat Daya),” ujar Ketua Kelompok Perempuan Waifuna, Almina Kacili.
Almina menuturkan, sasi laut merupakan tradisi masyarakat Papua dalam menjaga kelestarian laut. Sebab, hasil laut yang tidak diambil terus-menerus akan menjaga ekosistem laut dari kerusakan sehingga mendukung konservasi dan dapat memberikan manfaat untuk generasi selanjutnya.
Baca juga: Berkah Melimpah dari Laut yang Dijaga
Koordinator Program Bentang Laut Kepala Burung YKAN Awaludinnoer menuturkan, pembatasan tangkapan berdasarkan ukuran dilakukan agar pemanfaatan laut berkelanjutan. Dengan begitu, biota laut yang berukuran kecil dapat dipanen pada buka sasi selanjutnya.
”Sekarang warga sudah bisa memilah tangkapan yang layak untuk diambil. Mereka mengukurnya sendiri. Menumbuhkan kesadaran ini yang menjadi tantangan di awal-awal. Sekarang, mereka paham bagaimana agar hasil laut dimanfaatkan untuk jangka panjang,” ucapnya.
Anomali
Akan tetapi, kekayaan laut di Kapatcol belum dibarengi dengan sektor pelayanan dasar yang memadai, seperti kesehatan dan pendidikan. Tidak ada puskesmas di kampung tersebut. Hal ini menjadi anomali karena dukungan layanan dasar sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan warga.
”Di kampung ini memang ada suster. Namun, untuk berobat lebih lanjut, warga harus ke puskesmas di Lilinta. Kalau sakitnya parah, berarti harus ke Sorong,” ujar Kepala Kampung Kapatcol Luis Hay.
Untuk menuju Lilinta, warga harus menggunakan perahu motor selama setengah jam. Sementara menuju Sorong dibutuhkan waktu 4-5 jam menggunakan kapal cepat.
Layanan pendidikan di Kapatcol juga tidak lebih baik. Di sana hanya ada satu sekolah dasar. Untuk melanjutkan ke jenjang SMP dan SMA, anak-anak di kampung itu harus pergi ke desa tetangga. Akses yang terbatas membuat mereka tidak bisa pergi-pulang sekolah setiap hari, melainkan harus indekos atau menumpang di rumah kerabat.
Baca juga: Sasi Menjaga Keseimbangan Pelestarian Ekologi dan Pemanfaatan Ekonomi
”Padahal, dukungan kesehatan dan pendidikan sangat penting untuk perkembangan anak-anak kami. Listrik (tenaga surya) di kampung ini pun hanya menyala pada malam hari,” ucapnya.
Langit berawan dan ombak yang tenang mengiringi perjalanan pulang mama-mama ke daratan. Perahu mereka penuh dengan hasil laut melimpah. Namun, di balik ketangguhan menjaga tradisi dan melestarikan bahari, mereka menyimpan kekhawatiran tentang masa depan anak-anak mereka yang minim mendapatkan dukungan pelayanan kesehatan dan pendidikan.