Mama-mama di Kampung Kapatcol, Raja Ampat, membuka sasi. Mereka mendapatkan hasil laut melimpah.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
RAJA AMPAT, KOMPAS — Perairan Raja Ampat di Papua Barat Daya memiliki kekayaan laut melimpah. Lewat tradisi sasi, warga menjaga kelestarian laut agar hasil pemanfaatannya tetap bisa dinikmati lintas generasi.
Kelompok Perempuan Waifuna di Kampung Kapatcol, Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, membuka sasi laut, Senin (25/3/2024). Kawasan sasi seluas 213 hektar yang terletak di sisi barat kampung tersebut ditutup sekitar setahun lalu. Penangkapan biota laut, khususnya teripang, lobster, siput batu laga, dan lola, di perairan itu dilarang.
”Sasi itu seperti menjaga laut supaya hasilnya tidak terus dikuras. Dengan begitu, masyarakat yang menjaganya akan mendapatkan berkah melimpah,” ujar Ketua Kelompok Perempuan Waifuna, Almina Kacili.
Pembukaan sasi diawali dengan ibadah di gereja. Setelah itu, perwakilan gereja, tetua adat, pemerintah desa, dan warga menaiki perahu menuju lokasi sasi. Dibutuhkan waktu sekitar setengah jam menggunakan perahu motor menuju kawasan tersebut.
Sebelum warga menyelam untuk memanen sasi, dilakukan pencabutan dua papan sasi yang berjarak sekitar 2 kilometer. Kedua papan itu menandakan wilayah perairan yang tidak diperbolehkan untuk menangkap teripang, lobster, siput batu laga, dan lola.
Setelah papan dicabut, warga menyelam untuk menangkap keempat jenis biota laut tersebut. Mereka hanya boleh mengambil hasil laut dengan alat bantu terbatas, yaitu kacamata renang, snorkel, dan fins. Penggunaan kompresor tidak diperbolehkan.
”Yang boleh cuma molo (menyelam) alam. Jadi, mengambilnya langsung dengan tangan, pakai tombak, atau alat tradisional lainnya. Tujuan dari buka sasi bukan untuk mengambil hasil laut sebanyak-banyaknya, tapi mengaturnya agar tidak diambil seluruhnya di waktu bersamaan,” ujarnya.
Buka sasi direncanakan dijadwalkan dari Senin hingga Kamis. Prosesnya berlangsung pada pagi hingga siang serta malam hari. Pada buka sasi hari pertama, warga membawa pulang 97 teripang, 225 lola, 2 batu laga, dan 2 lobster.
”Hasil tangkapannya sebenarnya lebih banyak lagi. Hanya saja, untuk yang ukuran kecil, kami kembalikan ke laut supaya nanti bisa kami ambil lagi saat ukurannya sudah besar,” ucapnya.
Keterlibatan kelompok perempuan Kampung Kapatcol dalam mengelola sasi dimulai sejak 2011. Para mama-mama didampingi Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) untuk mengelola laut secara berkelanjutan.
Penangkapan hasil laut saat membuka sasi dibatasi berdasarkan ukurannya. Pengambilan teripang, misalnya, hanya diperbolehkan untuk yang memiliki panjang 15 sentimeter atau lebih. Ukuran lola 15 cm ke atas, sementara lobster lebih dari 6 ons.
Mereka hanya boleh mengambil hasil laut dengan alat bantu terbatas, yaitu kacamata renang, snorkel, dan fins. Penggunaan kompresor tidak diperbolehkan.
Sasi mengatur akses terhadap wilayah penangkapan ikan, alat tangkap, dan spesies tertentu dalam kawasan yang telah ditetapkan. Jadi, penangkapan hasil laut di kawasan tersebut dilarang dalam jangka waktu yang telah disepakati.
Koordinator Program Bentang Laut Kepala Burung YKAN Awaludinnoer mengatakan, meskipun aturan sasi tidak tertulis dan tanpa lembaga khusus yang mengawasi pelaksanaannya, masyarakat tetap mematuhinya karena meyakini akan mengalami hal buruk jika melanggarnya. ”Seperti akan ada hukuman dari leluhur bagi yang tidak mematuhinya,” ucapnya.
Menurut Awaludinnoer, salah satu hasil dari pendampingan mama-mama di Kapatcol adalah tumbuhnya kesadaran untuk selektif dalam mengambil hasil laut. Para ibu-ibu mengukur sendiri hasil tangkapannya. Jika tidak memenuhi ketentuan, mereka akan mengembalikannya ke laut.
”Kesadaran ini sangat penting karena menunjukkan mereka paham bagaimana pemanfaatan laut berkelanjutan. Hasil laut tidak diambil semuanya agar tetap bisa dinikmati oleh generasi berikutnya,” katanya.
Awaludinnoer menambahkan, hasil dari buka sasi akan dijual. Uangnya dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti pendidikan, kesehatan, dan gereja. Alokasi ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok mama-mama tersebut.
Kepala Kampung Kapatcol, Luis Hay, menyebutkan, potensi perikanan di kampung tersebut cukup melimpah. Namun, mereka masih terkendala akses penjualan yang terbatas. Selain itu, warga juga tidak mempunyai cold storage atau ruangan pendingin untuk menyimpan hasil melaut.
”Nelayan di sini belum punya pembeli tetap, artinya belum ada kepastian ikan tangkapan kami akan dibeli. Jadi, untuk saat ini, kami baru menangkap ikan dalam jumlah banyak jika sudah ada kepastian pembelinya,” ujarnya.