Kecerdasan Artifisial, Kawan atau Lawan?
Pemanfaatan kecerdasan artifisial di kalangan anak muda kian luas. Namun, pro-kontra dan kekhawatiran atas AI tetap ada.
Wang Xiuting menunjukkan pacar virtualnya dalam Wantalk, chatbot kecerdasan buatan yang diciptakan perusahaan teknologi China, Baidu, di layar telepon selulernya, di sebuah kafe, di Beijing, pada 2 Februari 2024.
Anak muda di perkotaan Indonesia semakin akrab dengan kecerdasan artifisial. Tak hanya membantu mengerjakan tugas sekolah atau kuliah, teknologi ini juga digunakan untuk membantu pekerjaan kantor, mencari informasi, hingga menyusun menu makan sehari-hari.
Meski masih ada kekurangan, kecerdasan artifisial membuat hidup anak muda kian mudah. Siswa sekolah menengah atas di Jakarta banyak memanfaatkan kecerdasan artifisial (AI) untuk mengerjakan aneka tugas sekolah, mencari jawaban pertanyaan matematika dan fisika, atau membuat materi presentasi.
Bahkan, dari penelusuran Youthlab Indonesia, lembaga riset anak muda, ada siswa yang memakai AI untuk mencontek alias mencari jawaban saat ujian. Eiredith Aleea, siswa kelas XII SMA Negeri 47 Jakarta, biasa menggunakan ChatGPT dan Gemini untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Meski hasilnya dianggap akurat, ia tidak menggunakan hasil AI itu sepenuhnya. ”AI digunakan untuk mencari referensi. Selain itu, juga menggunakan Google untuk melihat informasi lainnya,” tuturnya dalam acara Youth Distopia, di Jakarta, Kamis (28/3/2024) petang.
Penggunaan AI, menurut Aryasatya Kusuma, mahasiswa semester VI Fakultas Psikologi Universitas Paramadina Jakarta, juga membuat pengerjaan tugas kuliah lebih efektif. Saat pikiran buntu dan tenggat waktu pengumpulan tugas kian mepet, ChatGPT banyak dijadikan solusi agar tugas kuliah bisa dituntaskan.
Meski demikian, Aryasatya dan banyak anak muda lainnya juga khawatir dengan penggunaan AI. Mereka sadar penggunaan berbagai jenis AI yang sangat membantu itu memiliki sisi gelap yang membuat kemampuan dan potensi mereka tidak terasah sepenuhnya.
Baca juga : Kecerdasan Buatan Kian Tak Terbendung
Tak hanya anak sekolah atau kuliah, AI juga makin banyak digunakan di dunia kerja. Namun, hasil AI sering tak sesuai harapan. Menurut Mima, staf pemasaran di salah satu perusahaan, kantornya pernah mendorong penggunaan ChatGPT untuk membuat program kampanye produk tertentu.
Kecerdasan buatan memang membantu memberi solusi. Namun, bagaimana mengimplementasikan solusi itu tidak bisa dijawab oleh AI. Solusi yang dihasilkan AI menjadi terlalu mahal atau terlalu luas untuk diterapkan di pasar Indonesia.
”Akhirnya, kami tetap melakukan brainstorming (curah pendapat) antarindividu dan sejak itu berhenti menggunakan AI,” ujarnya.
Penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari sudah amat meluas, bukan hanya untuk mengerjakan tugas kuliah atau kantor semata.
Tanpa disadari, penggunaan asisten virtual seperti Siri pada telepon seluler iPhone atau OK Google pada ponsel Google, filter Instagram atau Tiktok, hingga GPS (global positioning system) Navigation adalah beberapa bentuk pemanfaatan AI.
Pemakaian papan ketik virtual, rekomendasi konten pada sejumlah aplikasi film, musik, dan siaran langsung, hingga pencarian laman di internet adalah bentuk pengaplikasian AI.
Layanan konsumen virtual atau chatbot, iklan produk yang muncul saat penggunaan gawai, video gim daring, layanan m-banking, aplikasi penerjemah, hingga rekomendasi produk di lokapasar, semuanya bisa terwujud karena AI.
Baca juga : Kecerdasan Buatan Merambah Dinamis dalam Kehidupan Sehari-hari
Meski demikian, pemanfaatan AI yang dilakukan saat ini masih sebatas AI sempit atau artificial narrow intelligence (ANI), yaitu kecerdasan buatan yang memiliki satu tugas atau fungsi tertentu.
Sementara AI umum alias artificial general intelligence (AGI), yaitu AI yang memiliki kecerdasan dan bisa memahami sekitarnya serta mengerjakan banyak tugas layaknya manusia masih dalam pengerjaan para ahli dan perekayasa.
Meski AI yang digunakan saat ini masih memiliki tugas terbatas, keberadaannya mulai mengkhawatirkan banyak kalangan. Penggunaan komputer dan mesin yang mampu meniru pikiran manusia dalam memecahkan masalah atau membuat keputusan membantu pelajar dan profesional mengerjakan tugasnya.
AI juga meningkatkan kenyamanan dan derajat kesehatan masyarakat seperti pada penggunaan kendaraan otonom. AI mampu menawarkan aksesibilitas pada kelompok disabilitas hingga mereka lebih mandiri. Pemanfaatan AI juga meningkatkan keselamatan kerja karena AI bisa bekerja 24 jam dan tak stres.
Meski demikian, di balik semua manfaat tersebut, AI memiliki risiko yang mencengangkan. AI bisa meningkatkan pengangguran karena pekerjaan manusia akan digantikan robot.
Selain itu, AI juga dapat dipolitisasi untuk menyebarkan misinformasi, meningkatkan kemalasan, membuat orang sulit berpikir mendalam (deep thinking), memperburuk rasisme, hingga mengacak-acak privasi.
”Hal yang mengkhawatirkan adalah AI bisa digunakan untuk menyebarkan misinformasi,” kata Direktur Utama (CEO) Kata.ai Irzan Aditya. Tidak ada jaminan informasi yang dihasilkan AI itu benar.
Bahkan, dalam beberapa kasus, AI tidak hanya menghasilkan informasi yang keliru, tetapi juga menghasilkan informasi dalam bentuk teks dan video atas suatu peristiwa yang tidak pernah ada.
Hal yang mengkhawatirkan adalah AI bisa digunakan untuk menyebarkan misinformasi.
Karena itu, penting untuk membangun kemampuan warga mengelola informasi yang dihasilkan AI. Cek saksama dan berulang perlu dilakukan karena AI bisa untuk kebaikan dan kejahatan. Literasi teknologi membantu menjaga warga dari paparan hoaks, adu domba, dan politisasi kelompok tertentu.
Tidak tergantikan
Penggunaan AI di Indonesia tumbuh eksponensial beberapa tahun terakhir. Pemanfaatannya yang makin luas, termasuk di bidang pendidikan, menimbulkan kekhawatiran pendidik maupun industri. Bukan hanya tugas atau pekerjaan manusia bisa diambil AI, tapi juga menumpulkan kemampuan manusia berpikir.
Direktur Pemasaran (CMO) WIR Group Gupta Sitorus menilai, penggunaan AI masih dalam tahap awal adaptasi. Teknologi akan terus berubah dan berkembang, tetapi dari evolusi manusia sampai kini fleksibilitas manusia membuat mereka mampu mempertahankan eksistensinya. ”Manusia tak akan pernah tergantikan teknologi,” ujarnya.
Hadirnya AI sejatinya justru merupakan alarm untuk memperkuat kemanusiaan manusia. Kecerdasan intelektual, emosional hingga spiritual manusia perlu lebih diasah agar tidak terkalahkan oleh mesin dan komputer. Kreativitas serta pengetahuan dan kebajikan lokal akan sangat sulit ditiru oleh AI.
AI bisa membantu siswa dan mahasiswa mengerjakan tugas-tugas sekolah. Namun, hasil AI tak akan pernah berguna jika manusia tidak bisa memahami apa yang dihasilkan AI.
Jadi, kecerdasan buatan bisa memberikan solusi atas pertanyaan manusia, tetapi manusialah yang harus memberikan pertanyaan secara detail kepada AI dan membangun kerangka pikir atas solusi yang dibangun AI.
Sejauh ini AI bisa menggantikan sebagian pekerjaan pekerja dan secara perlahan akan makin diadaptasi dalam dunia kerja. ”Namun, berbagai soft skill (keterampilan nonteknis) manusia tetap diperlukan, seperti kemampuan berkomunikasi atau bernegosiasi,” tambah Irzan.
Baca juga : Kecerdasan Buatan, Jembatan Masa Depan bagi Kemanusiaan
Penguatan aspek kemanusiaan manusia makin penting karena belum ada wacana menghentikan penggunaan AI. Karena itu, kita tidak bisa lagi mundur dan menolak atau menutup mata terhadap AI.
Persoalannya, belum ada regulasi yang mengatur penggunaan dan pemanfaatan AI di Indonesia. Saat ini baru ada panduan etika pengembangan dan penggunaan AI. ”Pengembangan AI harus dilakukan dalam koridor yang menguntungkan manusia,” ujar Gupta.
Tantangan lain pemanfaatan AI di Indonesia adalah penyebarluasan pemanfaatan AI kepada generasi lebih tua agar tak gagap seperti saat menggunakan media sosial ataupun ke masyarakat yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Jika kalangan menengah atas di kota besar saja gagap dalam memanfaatkan AI, apalagi warga yang tersebar di berbagai pelosok daerah.
Bagaimanapun, AI hanyalah sarana untuk membantu dan mempermudah hidup manusia. AI diciptakan oleh dan untuk manusia, bukan untuk menggantikan manusia. Karena itu, manusialah yang harus tetap mengendalikan AI sehingga manusia tidak akan pernah kehilangan kemanusiaannya.