Perubahan kurikulum membawa harapan baru, tetapi memerlukan kesiapan guru untuk bertransformasi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perubahan kurikulum pendidikan nasional memberikan harapan untuk berfokus pada kualitas pembelajaran dan mengatasi kesenjagan capaian hasil belajar. Namun, perubahan kurikulum yang selama ini terjadi sering terkendala ketidaksiapan guru untuk secara berdaya dan merdeka mengimplementasikan pembelajaran holistik secara bermakna.
Dengan terbitnya Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, kurikulum nasional secara bertahap mulai tahun ajaran 2024/2025 akan berganti dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka. Ada transisi maksimal tiga tahun bagi sekolah untuk secara penuh mengimplementasikan Kurikulum Merdeka sebagai acuan untuk mengembangan kurikulum tingkat sekolah sesuai kondisi dan kebutuhan sekolah.
Menanggapi dimulainya kurikulum nasional baru ini, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, Kamis (28/3/2024), di Jakarta, mengatakan, tata kelola guru dinilai bakal menjadi sandungan implementasi kurikulum yang digadang-gadang bakal meningkatkan kualitas pembelajaran peserta didik di Tanah Air. Apapun bentuk kurikulum pendidikan tidak akan efektif selama pemerintah tidak membereskan manajemen pengelolaan guru.
Sejumlah permasalahan guru tersebut mulai dari jaminan kesejahteraan, pemerataan distribusi, hingga peningkatan kualitas tenaga pendidik secara berkala. ”Saat ini kita masih menghadapi ketidakjelasan kapan penuntasan program satu juta guru honorer menjadi PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja). Kita juga menghadapi ketimpangan jumlah guru di satu wilayah dengan wilayah lain, hingga persoalan minimnya literasi digital di sebagian besar guru di Indonesia,” kata Huda.
Dalam Kurikulum Merdeka, guru mempunyai peran penting menciptakan skenario pembelajaran berdiferensiasi. Penyusunan skenario pembelajaran berdiferensiasi ini menjadi keharusan karena Kurikulum Merdeka mengidealkan sekolah sebagai wahana menumbuhkan kompetensi dan karakter masing-masing peserta didik.
”Agar bisa menyiapkan skenario pembelajaran berdiferensiasi ini, maka seorang guru harus bisa menyusun tujuan pembelajaran, merumuskan alur tujuan pembelajaran, menyusun kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran, dan membuat modul ajar. Di sisi lain, mereka harus berjibaku menutupi kebutuhan sehari-hari karena minimnya kesejahteraan,” tutur Huda.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, Kurikulum Merdeka merupakan kebijakan yang mengubah paradigma dalam mewujudkan pembelajaran berkualitas. Kemendikbudristek menyadari ada berbagai tantangan di lapangan, tetapi berbagai dukungan dikembangkan secara berkala guna mendukung implementasi Kurikulum Merdeka.
Untuk membantu guru, Kemendikbudristek meluncurkan Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang menyediakan berbagai perangkat ajar, mencakup buku teks, buku bacaan, contoh kurikulum sekolah, contoh modul, dan instrumen asesmen kelas yang terus diperbarui secara berkala. PMM juga mendukung sekolah membentuk komunitas belajar secara luring ataupun daring, menghubungkan sekolah dengan narasumber praktik baik dari sekolah lain.
Tidak ada kewajiban membuat modul ajar yang kompleks dalam implementasi Kurikulum Merdeka.
Ada juga Program Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, dan SMK Pusat Keunggulan yang dihadirkan untuk melatih guru dan kepala sekolah. Tujuannya agar mereka dapat berperan sebagai narasumber praktik baik Kurikulum Merdeka. Kemendikbudristek juga melakukan berbagai pelatihan yang lebih spesifik, termasuk untuk guru informatika; guru bahasa Inggris; guru pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (PJOK); guru pendidikan anak usia dini (PAUD); dan guru pendidikan inklusi.
Kurikulum Merdeka memungkinkan transformasi pembelajaran, bukan hanya di daerah perkotaan dan di sekolah dengan fasilitas memadai, melainkan di seluruh Indonesia, termasuk daerah tertinggal. Untuk mendukung hal ini, Kemendikbudristek meluncurkan Awan Penggerak guna memudahkan guru di daerah yang tidak memiliki koneksi internet stabil untuk mengakses perangkat ajar dan modul pelatihan di PMM secara offline (luar jaringan).
Untuk meringankan beban guru, dokumen yang wajib disusun hanya kurikulum operasional satuan pendidikan dan rencana pembelajaran (RPP). ”Kedua dokumen ini bisa dibuat secara sederhana. RPP bahkan boleh hanya satu halaman. Tidak ada kewajiban membuat modul ajar yang kompleks dalam implementasi Kurikulum Merdeka,” tutur Nadiem.
Dalam menyusun dokumen pembelajaran, tambah Nadiem, guru juga tidak harus mulai dari nol. Beragam contoh kurikulum sekolah, RPP, modul, dan asesmen telah tersedia di PMM dan bisa digunakan secara langsung atau diadaptasi oleh guru. Guru dapat mempelajari cara menyusun dokumen pembelajaran Kurikulum Merdeka di panduan pembelajaran dan asesmen di laman kurikulum.kemdikbud.go.id.
”Modul pelatihan di PMM disediakan untuk membantu guru belajar sesuai kebutuhan. Tidak ada kewajiban menyelesaikan semua atau sebanyak mungkin modul pelatihan. Hal yang jauh lebih penting adalah guru menggunakan materi yang dipelajari untuk melakukan refleksi dan perbaikan praktik pembelajaran,” kata Nadiem.
Pelajaran Sejarah
Sementara itu, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Sumardiansyah Perdana Kusuma mengapresiasi keputusan pemerintah yang akhkhirnya berpihak pada keberadaan mata pelajaran Sejarah yang diperkuat dalam Kurikulum Merdeka.
”Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ada, Sejarah mendapatkan posisi strategis dalam struktur Kurikulum Merdeka dengan ditempatkan sebagai mata pelajaran sejarah kelompok dasar pada jenjang SMA/SMK/MA dan mata pelajaran sejarah tingkat lanjut kelompok pilihan pada jenjang SMA,” kata Sumardiansyah.
Pada kelompok dasar, semua anak bangsa wajib mempelajari Sejarah sebagai sarana untuk membangun identitas dan memperkuat karakter bangsa. Perspektif historis yang bertumpu pada materi sejarah Indonesia secara kronologi menjadi ciri khasnya.
Adapun pada kelompok pilihan, sejarah tingkat lanjut memberikan ruang bagi mereka yang tertarik untuk memperdalam sejarah dan ingin menjadikan sejarah sebagai cita-cita profesi untuk masa depannya. Di sini, perspektif historis difokuskan pada dimensi keilmuan dan wawasan global berupa konstruksi materi sejarah dunia yang berkaitan serta dapat dikontekstualisasikan dengan keindonesiaan menjadi karakteristiknya.
”Dan, harus diingat peran paling fundamen yang harus dijalankan oleh semua guru Sejarah adalah menyadarkan anak betapa pentingnya mempelajari Sejarah,” ujar Sumardiansyah.
Lalu, untuk sejarah tingkat lanjut itu bersifat pilihan, artinya guru Sejarah harus mampu meyakinkan anak agar mau memilih sejarah tingkat lanjut sebagai pendalaman atau pilihan masa depan profesinya, melalui pembelajaran sejarah yang menyenangkan, bermakna, berdampak, dan relevan dengan kebutuhan masa depan anak.
”Apabila ruang pada kurikulum sudah diberikan dan terbuka lebar, selanjutnya kualitas guru dan dosen harus sama-sama perlu untuk ditingkatkan,” ucap Sumardiansyah.