Resistensi Mengancam, Tenaga Kesehatan Mesti Bijak Gunakan Antibiotik
Resistensi antimikroba akibat penyalahgunaan antibiotik mengancam kesehatan masyarakat. Penggunaannya harus bijak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Resistensi antimikroba menjadi ancaman utamakesehatan masyarakat. Penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba atau antibiotik yang berlebihan menjadi penyebabnya. Karena itu, masyarakat juga tenaga kesehatan diharapkan bisa lebih bijak menggunakan antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat memicu terjadinya mutasi bakteri yang resisten secara alami. Bakteri yang telah bermutasi membuat penggunaan jenis antibiotik yang sudah ada menjadi tidak efektif. Akibatnya, persebaran penyakit pun menjadi lebih mudah dan lebih sulit untuk diobati.
Pakar mikrobiologi klinik yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Amin Soebandrio dalam seminar web bertajuk ”Penggunaan Antibiotik di Masyarakat dan Kaitannya dengan Resistensi Kuman” di Jakarta, Minggu (24/3/2024), mengatakan, resistensi antimikroba membuat infeksi yang diderita oleh seseorang lebih sulit diobati dan membuat prosedur perawatan lainnya, seperti pembedahan dan operasi menjadi lebih berisiko.
Ketika terjadi resistensi antibiotik, pengobatan pada seseorang harus menggunakan antibiotik semakin kuat dan mahal. Akses jenis antibiotik untuk masalah resistensi juga tidak mudah.
”Harga antibiotik untuk kuman yang resisten cukup mahal. Harga antibiotik itu berkisar Rp 600.000 sampai Rp 700.000 per tablet. Padahal, biasanya itu harus diminum sehari dua kali selama lima sampai tujuh hari. Jadi harganya memang mahal,” kata Amin.
Ia menambahkan, resistensi antimikroba menjadi ancaman kesehatan masyarakat karena berdampak pada peningkatan risiko kecacatan dan kematian. Resistensi antimikroba juga secara signifikan berdampak pada aspek ekonomi. Bagi seseorang dengan resistensi antimikroba, umumnya dibutuhkan waktu perawatan yang lebih lama. Pengobatannya juga lebih sulit.
Resistensi antimikroba membuat infeksi yang diderita oleh seseorang lebih sulit diobati dan membuat prosedur perawatan lainnya, seperti pembedahan dan operasi menjadi lebih berisiko.
Itu sebabnya, upaya untuk mengatasi persoalan resistensi antimikroba harus menjadi prioritas bersama. Upaya tersebut terutama terkait pengawasan konsumsi dan penggunaan antibiotik di masyarakat, termasuk pada tenaga kesehatan profesional.
Peresepan antibiotik dari tenaga kesehatan harus dipastikan sesuai dengan basis bukti (evidence based). Antibiotik tidak boleh diberikan secara bebas. Untuk memastikan peresepan antibiotik bisa efektif, tenaga kesehatan perlu memastikan diagnosis atas penyakit yang diderita pasien sudah tepat.
Selain itu, edukasi kepada pasien juga perlu dilakukan karena sering kali penggunaan antibiotik terjadi atas desakan pasien. Edukasi kepada pasien mengenai penggunaan antibiotik harus pula menyangkut kepatuhan pada dosis yang harus diminum. Pastikan antibiotik yang diberikan kepada pasien dihabiskan sesuai dengan resep yang dianjurkan.
”Mengoptimalkan penggunaan antibiotik di masyarakat perlu pendekatan multifaset, termasuk terkait pendudukan, kepatuhan terhadap pedoman, serta upaya kolaboratif. Kita harus bisa memerangi resistensi antibiotik dan memastikan penggunaan antibiotik bisa lebih bijak,” tutur Amin.
Secara terpisah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang ditemui seusai rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Senin (25/3/2024), mengatakan, upaya untuk mengendalikan penggunaan antibiotik di masyarakat akan semakin diperketat. Hal itu baik pengendalian penjualan antibiotik di apotek maupun penggunaan antibiotik di rumah sakit.
”Kita akui memang banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus kita lakukan untuk mengatasi AMR (resistensi antimikroba). Pertama, kita akan disiplinkan penjualan obat-obat antibiotik yang sekarang ini mudah sekali didapatkan di apotek-apotek,” katanya.
Selain itu, Budi menuturkan, pengaturan juga akan dilakukan terkait penggunaan antibiotik di rumah sakit. Setiap rumah sakit diharapkan memiliki peta kuman yang digunakan sebagai pedoman penggunaan antibiotik.
Pemberian antibiotik pada pasien harus dipastikan sesuai dengan bakteri ataupun kuman yang akan diobati. Dengan begitu, antibiotik yang diberikan benar-benar sensitif terhadap kuman ataupun bakteri yang akan dikendalikan.
”Kita akan disiplinkan rumah sakit supaya bisa merapikan peta kuman yang dimiliki. Perlu dilihat bakteri apa saja yang ada serta antibiotik apa yang akan dipakai. Banyak rumah sakit yang sekarang belum memiliki fasilitas untuk mengultur dan mengidentifikasi bakteri,” tuturnya.