Hampir 20 tahun pembantu rumah tangga menanti payung hukum untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari kekerasan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pemimpin lintas agama dan iman kembali bersama-sama pekerja rumah tangga bersuara menggugah hati pimpinan DPR agar segera membahas dan mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Mereka berharap DPR tidak lagi menunda pembahasan dan pengesahan rancangan UU PPRT menjadi UU.
Pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) dibutuhkan untuk memberikan pengakuan kepada PRT sebagai kelompok marjinal. Selain itu, kehadiran UU PPRT juga sebagai bentuk penghargaan atas martabat PRT sebagai manusia, memberikan keadilan, dan sekaligus mencegah kekerasan serta kesewenang-wenangan terhadap PRT.
Demikian seruan pemimpin lintas iman untuk pengesahan UU PPRT pada Selasa (19/3/2024) yang diwakili Alissa Wahid (Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), pendeta Gomar Gultom (Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), romo Marten Jenarut Pr (Sekretaris Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau, Konferensi Wali Gereja Indonesia), dan Nazarudin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta).
”Wahai para anggota DPR, saya mohon dengan amat sangat, mari kita tunaikan keadilan kepada PRT yang selama ini mereka masih dilemahkan sistem,” ujar Alissa Wahid pada konferensi pers yang digelar Koalisi Sipil untuk RUU PPRT.
Alissa mengatakan, jutaan PRT yang mayoritas perempuan merupakan kelompok masyarakat yang sangat membutuhkan UU PPRT agar dapat melindungi mereka. Para PRT bekerja untuk mendapatkan nafkah bagi keluarganya di rumah.
”Tuan dan puan adalah wakil rakyat, wakil para pekerja, wakil para keluarga yang berusaha memperbaiki nasibnya. Mari kita tunjukkan bahwa kita memang mempunyai komitmen penuh untuk menjamin kehidupan setiap warga bangsa Indonesia, siapa pun dia, terutama mereka yang selama ini tidak terlindungi sistem,” ujar Alissa.
Romo Marten menegaskan, gereja Katolik mendesak supaya RUU PPRT segera disahkan. Keberadaan UU PPRT akan menjadi regulasi yang menjamin perlindungan atas hak para PRT. Dengan demikian, kekerasan dan kesewenang-wenangan kepada PRT bisa dicegah serta mereka mendapatkan jaminan sosial.
Kalau pada periode DPR sekarang ini UU tidak tembus, (saya) khawatir periode akan datang makin sulit karena akan dimulai dari awal lagi.
”Karena itu, gereja Katolik Indonesia sebagai institusi keagamaan juga sebagai institusi pengemban moralitas mendesak kepada lembaga DPR, lembaga yang berwenang untuk membuatkan aturan, regulasi, lembaga yang punya hak legislasi, untuk secepatnya mengesahkan RUU PPRT menjadi sebuah undang-undang,” tutur Romo Marten.
Gereja Katolik menyatakan, setiap orang memiliki martabat serta kewajiban sosial, politik, dan moral untuk menghormati dan menghargai harkat dan martabat kepada setiap orang. Dengan demikian, katanya, status sosial ataupun jenis pekerjaan apa pun tidak mengurangi sedikit pun harkat dan martabat kemanusiaan pada setiap orang, termasuk PRT.
Demi kemanusiaan
Pendeta Gomar Gultom mengatakan, RUU PPRT mendesak untuk disahkan menjadi UU PPRT demi kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Konvensi ILO 189 yang mengharuskan negara mengambil serangkaian langkah-langkah dengan menjadikan kerja layak sebagai sebuah realitas bagi PRT.
”Saya mengajak masyarakat Indonesia mendorong parlemen sesegera mungkin membahas dan mengesahkan UU PPRT. Sebab, kalau pada periode DPR sekarang ini UU tidak tembus, (saya) khawatir periode akan datang makin sulit karena akan dimulai dari awal lagi,” kata pendeta Gomar.
Bagi PGI, persoalan PRT yang hingga kini tidak mendapat perlindungan negara menunjukkan mereka dalam perbudakan modern. Hidup dan upah PRT tergantung pada kemurahan majikannya. Tak sedikit juga PRT yang mengalami kekerasan, hidup terlunta, dan mengalami hal-hal yang tak wajar.
Karena itu, PGI mengimbau seluruh pimpinan gereja menjadikan advokasi PRT masuk dalam agenda pastoral gereja. Gereja agar turut memperjuangkan regulasi yang memberikan jaminan sosial kepada PRT, sama seperti pekerja lainnya, yang meliputi layak dan nyaman kerja, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian.
Nazaruddin Umar mengatakan, persoalan PRT yang mayoritas perempuan adalah persoalan kemanusiaan. Karena itu, seharusnya tidak ada orang yang menolak perjuangan perempuan, apalagi perjuangan ibu.
”Manusia sejati wajib membela ibu dan kaum perempuan. Perjuangan mengangkat martabat perempuan di Indonesia masih perlu panjang,” kata Nazaruddin.
Seruan pemimpin agama disampaikan bersama Koalisi Sipil untuk RUU PPRT karena saat ini kian mendekati masa akhir periode DPR 2019-2024. Seruan ini diharapkan menggugah hati pimpinan dan anggota DPR agar segera mengesahkan UU PPRT.