Wabah Berulang Antraks, Kemiskinan, dan Kegagalan ”One Health”
Wabah antraks pada ternak, yang menular ke manusia, terjadi karena kegagalan penerapan pendekatan ”one health”.
Wabah antraks yang berulang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan kegagalan pelaksanaan one health di Indonesia. Penyakit pada hewan yang kemudian menular ke manusia, hingga memicu korban jiwa, juga menunjukkan adanya masalah sosial budaya dan kemiskinan yang akut.
Kasus antraks di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kali ini awalnya terdeteksi dari temuan tiga ekor hewan yang mati dalam waktu berdekatan di Dusun Kayoman, Gunungkidul, pada 7 Maret 2024. Hewan yang mati itu terdiri dari satu sapi dan dua kambing milik salah seorang warga.
Data Dinas Kesehatan DIY, seperti dilaporkan Kompas.id sebelumnya, menyebut sedikitnya 45 orang suspek antraks, yakni 26 di Sleman dan 19 di Gunungkidul. Di antara suspek itu, ada satu orang meninggal.
Sekalipun belum dipastikan penyebab kematian karena korban tak sempat diambil sampel darahnya, sebelum meninggal, warga berusia 72 tahun itu diketahui ikut menguliti sapi yang diduga terjangkit antraks pada 13 Februari. Dia juga mengonsumsi dagingnya.
Pada 20 Februari, warga tersebut mengalami sakit perut tanpa riwayat asam lambung, diare, dan muncul koreng di siku kanan. Setelah sempat dirawat di rumah sakit pada 22 Februari, dia meninggal pada 25 Februari.
Munculnya kembali wabah antraks pada ternak, yang kemudian menulari manusia dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa di DIY kali ini, seperti mengulang tragedi yang terjadi di Gunungkidul pada Mei-Juni 2023 lalu.
Kasus di Gunungkidul pada 2023 itu sebenarnya telah muncul sejak November 2022, ditandai kematian sapi warga yang kemudian dikonsumsi dan salah seorang warga mengalami gejala sakit antraks kulit. Deteksi yang lambat dan perilaku mengonsumsi ternak yang mati menyebabkan puluhan orang tertular dan tiga di antaranya meninggal dunia.
Lihat juga: Keseharian Warga di Zona Merah Antraks Berjalan Normal
Kegagalan ”one health”
”Deteksi dini dan pencegahan antraks masih menjadi masalah besar kita, yang menunjukkan belum padunya koordinasi antarkementerian dan lembaga, selain juga pemerintah daerah,” kata Tri Satya Putri Naipospos, ahli kesehatan hewan dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies.
Menurut Tri, antraks sebenarnya penyakit kuno yang dalam catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kerap muncul secara sporadis pada hewan di seluruh dunia. Kasus antraks terutama dilaporkan di negara-negara miskin di Afrika sub-Sahara, Asia, tetapi juga di negara kaya seperti Eropa, Amerika, dan Australia.
Meskipun secara global dilaporkan terjadi pengurangan jumlah wabah antraks pada ternak dan kasus pada manusia, antraks masih terus ada di sebagian besar wilayah masyarakat pertanian, terutama yang beriklim tropis dan kondisi sosial ekonomi yang buruk. ”Seperti rabies, penyebaran penyakit ini di masyarakat juga menjadi cermin kemiskinan,” katanya.
Ahli kesehatan masyarakat dari Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, pemberantasan antraks memang tidak mudah. Hal ini karena bakteri Bacillus anthracis, pemicu antraks, bisa membentuk spora di dalam tanah yang bisa bertahan ratusan tahun. Selain itu, bakteri ini juga bisa menginfeksi berbagai spesies hewan, termasuk ternak ataupun mamalia liar. ”Ini membuat sulit mengendalikan penyebaran antraks di alam,” ujarnya.
Menurut Dicky, upaya untuk membersihkan tanah yang sudah tercemar dari spora antraks tidak mudah. Sebagai gambaran, ketika salah satu gedung di Amerika Serikat tercemar antraks karena kiriman surat berisi spora antraks dalam serangan teror tahun 2001, dibutuhkan sekitar 320 juta dollar AS untuk membersihkannya. ”Kalau spora ini menyebar di suatu wilayah, biayanya pasti sangat besar,” katanya.
Meski demikian, hal ini bukan berarti wabah antraks tidak bisa dicegah. Menurut Dicky, terjadinya wabah antraks pada ternak, yang kemudian menular ke manusia, terutama karena kurangnya kesadaran masyarakat, selain kegagalan penerapan pendekatan one health.
One health merupakan pendekatan yang melibatkan kesehatan hewan, lingkungan, dan manusia. ”Ada tiga faktor terjadinya wabah berulang ini, yaitu lingkungan yang endemis karena tercemar spora antraks, praktik peternakan yang kurang tepat, termasuk konsumsi bangkai ternak yang mati karena penyakit, dan kurangnya sistem pemantauan dan pengendalian oleh otoritas,” kata Dicky.
Kasus antraks yang telah berulangkali terjadi di Kabupaten Gunungkidul, misalnya pada 2019 dan 2020, menunjukkan bahwa daerah ini telah menjadi endemis penyakit menular ini. ”Karena kita sudah tahu Gunungkidul endemis antraks, seharusnya penularannya ke manusia bisa dicegah,” kata Tri.
Vaksinasi ternak
Begitu suatu daerah menjadi endemis antraks, penyakit ini bisa muncul kembali sewaktu-waktu. Beberapa studi di luar negeri telah memetakan pola kemunculan spora ini, berdasarkan kondisi lingkungan spesifik. Misalnya, studi oleh Oetione dkk (2021) di Kenya, Afrika, menunjukkan bahwa daerah distribusi antraks dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Menurut Tri, kajian mengenai pola musiman antraks ini belum diketahui dengan baik. Namun, musim hujan termasuk yang rentan penularan penyakit ini karena spora antraks di dalam tanah bisa terbawa air yang kemudian diminum oleh ternak.
”Untuk mencegah wabah antraks pada ternak, satu-satunya jalan adalah dengan vaksinasi secara rutin ternak di daerah endemis, bisa setiap tahun, tergantung kekuatan vaksinnya. Tidak bisa seperti sekarang, setelah ada kasus, baru didatangkan vaksinnya, itu sudah terlambat,” ujarnya.
Menurut Tri, vaksinasi pada ternak terbukti bisa mengurangi risiko wabah antraks pada ternak. ”Dengan sendirinya hal ini akan mengurangi risiko penularan antraks pada manusia. Itulah prinsip one health, kalau hewannya sehat, manusianya juga sehat,” katanya.
Tri menambahkan, vaksinasi pada hewan ternak di Indonesia saat ini sangat tidak memadai. ”Padahal, vaksin antraks termasuk murah. Pabrik di Surabaya milik pemerintah juga sudah produksi. Walaupun saya tidak bicara kualitasnya, kita masih bisa mengandalkan itu,” ujarnya.
Meski demikian, menurut Tri, daerah-daerah yang sudah terbukti endemis antraks pun tidak mendapatkan vaksinasi pada ternak secara memadai. ”Siapa yang mau vaksin ternak ini? Pemerintah daerah rata-rata tidak menyediakan anggaran kesehatan hewan. Ini mirip yang terjadi dengan rabies, akhirnya siklus wabah dan penularannya ke manusia terus berulang,” katanya.
Sebagai antisipasi ke depan, Tri mendorong pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan vaksinasi antraks di daerah endemis. Selain DIY, ada sebelas daerah endemis antraks di Indonesia lain yang sudah diketahui, yaitu Sumatera Barat, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua.
Menurut Tri, kontak dengan hewan yang mati karena antraks merupakan rute paling umum infeksi penyakit ini ke manusia. Oleh karena itu, begitu ada hewan di daerah endemis yang mati, seharusnya masyarakat sudah waspada dengan menguburnya dengan baik, dan jangan mengonsumsinya.
Baca juga: Kasus Antraks Berulang di DIY, Pemerintah Perlu Masifkan Pencegahan
”Tetapi, yang terjadi di Yogyakarta ini juga masalah sosial budaya. Masyarakat mengonsumsi ternak yang sudah mati karena antraks. Jadi, pendekatan one health juga membutuhkan komunikasi yang baik dan tepercaya dengan masyarakat,” ujarnya.
Tanpa ada pembenahan penanganan dengan kesadaran bahwa kesehatan ternak, lingkungan, dan manusia sebagai satu sistem, wabah antraks yang menelan korban jiwa bisa terus terjadi di Indonesia.