Mengajari Anak Berpuasa, Mendidik Karakter dan Merekatkan Emosi dengan Orangtua
Momentum bulan suci Ramadhan bisa digunakan orangtua untuk menanamkan banyak pendidikan bagi anak.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Mengajari anak berpuasa di bulan Ramadhan bagi banyak keluarga Muslim di Indonesia berarti juga mendidik karakter dan merekatkan emosi antara orangtua dan anak. Momen para orangtua yang mengajarkan anak-anaknya (toddler) untuk latihan berpuasa menjadi waktu bagi mereka mendidik karakter anak sekaligus membuka ruang perjumpaan lebih intensif di rumah.
Aang Ariesta (36), seorang ibu yang memiliki dua anak berusia 9 tahun dan 6 tahun, menuturkan, ia sudah mulai melatih anak sulungnya untuk berpuasa di bulan Ramadhan sejak tahun lalu. Tahun lalu, anaknya yang bernama Kirana masih berusia 8 tahun, tetapi ia berinisiatif meminta untuk mulai latihan berpuasa sehari penuh.
Ia lalu mencari informasi melalui media sosial yang menyebutkan bahwa anak usia 8 tahun sudah diperbolehkan latihan berpuasa karena dianggap sistem metabolismenya sudah siap. Setelah membaca penjelasan dari dokter itu, ia pun memperbolehkan anaknya untuk latihan berpuasa sehari penuh.
”Kadang-kadang dia kuat sehari penuh. Tetapi, sering kali juga tidak kuat. Kalau bilang tidak kuat, ya, saya suruh makan atau minum saja karena, kan, masih latihan,” tutur Aang saat dihubungi, Selasa (12/3/2024).
Selain berlatih menunaikan rukun Islam, bagi Aang dan suami, melatih anak berpuasa juga mengajarkan sabar dan mengelola emosi. Selain itu, dia juga menanamkan pendidikan karakter kejujuran.
Ia selalu berpesan kepada kedua anaknya bahwa berpuasa itu adalah ibadah untuk kepentingan diri sendiri. Oleh sebab itu, mereka harus jujur jika memang tidak kuat dalam melakoninya.
”Saya bilang ke anak, jangan sampai tidak jujur. Karena kalau tidak jujur, yang rugi bukan Mama. Ibadah itu yang tahu kamu dan Tuhan,” ucapnya.
Saya bilang ke anak, jangan sampai tidak jujur. Karena kalau tidak jujur, yang rugi bukan Mama. Ibadah itu yang tahu kamu dan Tuhan.
Selain anak pertama, Aang juga mulai melatih anak bungsunya, Masayu (6), untuk berpuasa Ramadhan. Tahun ini, anak bungsunya sudah mulai ikut shalat Tarawih dan ikut makan sahur.
Namun, secara fisik sebenarnya anaknya itu belum terlalu kuat berpuasa. Baginya, hal itu tak mengapa karena lebih penting latihan bersabar dan berempati terhadap orang lain yang hidup berkesusahan.
Hafidz Novalsyah (36), bapak dua anak yang bekerja sebagai karyawan badan usaha milik negara (BUMN), juga memiliki anak berusia 8 tahun yang sejak tahun lalu mulai berlatih puasa Ramadhan. Alya, anak sulungnya itu, bersekolah di SD Al Azhar Solo Baru, Sukoharjo, Jawa Tengah. Kurikulum di sekolahnya itu membuat Alya penasaran ingin mencoba berpuasa.
”Pertama, awal-awal bisa kuat satu-dua hari berpuasa sampai maghrib. Setelah itu, langsung melorot tidak kuat. Tapi, kadang-kadang kalau akhir pekan itu karena dibersamai dengan bapak dan ibunya malah kuat puasa sehari penuh,” cerita Hamid.
Bagi Hamid dan istri, tujuan mengajarkan ibadah puasa bukanlah semata untuk mencari pahala. Ia mencoba mengajarkan kepada anak-anaknya untuk beragama secara rasional.
Ia tidak mau anaknya berpuasa karena doktrin do and don’t atau apa yang dibolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan oleh ajaran agama. Ia lebih menekankan kepada anaknya untuk berlatih menahan nafsu serta mengelola emosi selama berpuasa.
”Agama menurutku adalah tools atau alat yang kontekstual untuk hidup. Kami mencoba untuk tidak mendoktrin anak dengan ajaran pahala dan dosa semata,” katanya.
Waktu berkualitas
Sama seperti Aang, Hamid juga menjadikan momentum bulan penuh berkah ini untuk menanamkan pendidikan karakter kepada anaknya. Meskipun dia bekerja di luar kota, setiap akhir pekan, dia selalu pulang untuk berkumpul bersama keluarganya.
Selama bulan puasa justru banyak ruang perjumpaan, seperti saat berbuka, sahur, menunggu shalat Subuh, untuk bercengkerama bersama istri dan kedua anaknya.
”Momen-momen itu bisa kami gunakan untuk menceritakan kisah-kisah Rasulullah Muhammad SAW, sekalian edukasi nutrisi dan asupan makanan sehat juga,” imbuhnya.
Hamid menceritakan, saat ini istrinya memang sedang menggeluti bisnis makanan organik. Karena anaknya susah makan, di bulan Ramadhan ini ia sekaligus memberi edukasi pentingnya nutrisi bagi tubuh.
Mereka juga lebih berkesadaran untuk memilih makanan sehat sebagai asupan saat berbuka dan makan sahur.
”Ada edukasi nutrisi dan kesehatan juga di bulan puasa ini,” katanya.
Peran penting orangtua
Psikolog dari Universitas Indonesia, Tika Bisono, berpandangan, bulan Ramadhan seharusnya memang menjadi ajang bagi orangtua untuk menjalin kedekatan emosional (bonding) yang lebih kuat dengan anaknya.
Sebab, fondasi dasar pendidikan itu selalu berasal dari rumah dan orangtua. Idealnya, memang kedekatan emosional itu terjadi setiap hari. Namun, karena kesibukan orangtua bekerja mencari nafkah, hal itu kerap kurang optimal dilakukan.
”Zaman saya kecil dulu, di sekolah ada pendidikan akhlak. Namun, sekarang sudah tidak ada lagi. Ini kritik saya terhadap pendidikan dewasa ini. Peran orangtua di rumah menjadi semakin sentral untuk menanamkan moral dan akhlak," kata Tika.
Menurut dia, momentum bulan suci Ramadhan ini memang bisa digunakan orangtua untuk menanamkan banyak pendidikan bagi anak. Yang paling utama adalah pendidikan moral, agama, dan karakter. Hal itu bisa diberikan melalui kisah-kisah nabi dan rasul yang kontekstual selama Ramadhan.
Namun, banyak pendidikan lain yang juga bisa diajarkan kepada anak, mulai dari gaya hidup sehat dan pola makan yang baik karena saat Ramadhan orang makan lebih teratur pada jam berbuka dan sahur. Ini bisa digunakan untuk mendidik anak memilih makanan sehat dan bergizi.
”Semua itu butuh kreativitas dari orangtua, dan itu tidak sulit jika ada kemauan dari kita. Orangtua sekarang harus saya kritik banyak yang malas. Padahal, sebenarnya bisa,” ujarnya.
Tika berharap momentum Ramadhan ini, selain menjadi ajang beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan, juga mendekatkan relasi antara orangtua dan anak. Sebab, orangtualah sosok manusia dewasa yang terdekat dengan anak yang bisa memberikan pembelajaran dengan metode pengalaman (experiencial learning). Modal pengalaman yang akan dibawa anak untuk menapaki masa depan yang pasti tidak mudah....