Medsos semakin intens digunakan untuk mencari informasi politik. Namun, banyak konten berpotensi memicu permusuhan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sinisme politik di negara-negara demokrasi meningkat menjelang dan saat berlangsungnya pemilihan umum. Penelitian terbaru di University of Michigan, Amerika Serikat, menyebutkan, sinisme politik dipengaruhi oleh paparan berita dan informasi di media sosial atau medsos.
Laporan hasil penelitian ini dipublikasikan di The International Journal of Press/Politics pada Maret 2024. Riset dilakukan dengan melakukan survei panel terhadap 1.800 orang selama pemilu 2020 di AS.
Di banyak negara, medsos semakin intens digunakan untuk mencari informasi dan berita tentang politik. Namun, sebagian besar konten yang diakses mengandung unsur pemicu permusuhan dan menyerang pihak tertentu.
”Jika sumber utama berita Anda adalah media sosial, Anda cenderung menganggap politik sebagai sesuatu yang penuh permusuhan dan kemarahan,” ujar penulis utama penelitian itu, Ariel Hasell, dilansir dari Eurekalert.org, Selasa (12/3/2024).
Dalam survei tersebut, para responden ditanya tentang penggunaan medsos dan serangan politik (karena pandangan ataupun pilihan politik) yang mereka alami di platform tersebut. Peneliti juga menanyakan tanggapan mereka tentang keadaan di AS dalam berbagai aspek.
Hasilnya, orang-orang yang lebih sering terkena serangan politik di medsos mempunyai sikap lebih sinis secara politik. Persepsi ini kemudian dikaitkan dengan kemarahan yang lebih besar terhadap keadaan di AS saat pemilu 2020 berlangsung.
”Penting untuk memahami bagaimana perasaan sinis muncul karena kita melihat banyak pemerintahan demokratis menghadapi krisis legitimasi. Temuan kami memberikan beberapa bukti awal bagaimana paparan terhadap serangan politik di media sosial mungkin berhubungan dengan sinisme politik,” katanya.
Sebagian besar konten yang diakses mengandung unsur pemicu permusuhan dan menyerang pihak tertentu.
Hasell dan peneliti lainnya mendefinisikan sinisme politik sebagai sikap yang berakar pada ketidakpercayaan terhadap motivasi yang bersumber dari elite politik. Hal ini melibatkan penolakan besar-besaran yang bertumpu pada keyakinan mendasar bahwa para politisi dipandu kepentingan pribadi yang korup, mementingkan diri sendiri, dan bukan demi kepentingan publik.
”Konten politik di media sosial sering kali bersifat racun dan kita bisa melihat permusuhan politik meningkat secara daring pada musim panas dan musim gugur ini menjelang pemilihan presiden,” ucapnya.
Memicu kecemasan
Hasell menambahkan, studi itu menemukan bukti paparan serangan politik di medsos berkontribusi terhadap terhadap kecemasan, kemarahan, dan sinisme politik. Semakin banyak orang beralih ke medsos untuk mendapatkan berita dan informasi, kemungkinan besar mereka akan semakin sering terkena serangan politik sehingga bisa memicu sinisme politik.
”Hal ini memprihatinkan karena sinisme dapat mempersulit masyarakat untuk memahami informasi politik. Hal ini bisa membawa masyarakat pada sikap apatis dan tidak terlibat, atau mengarah bentuk partisipasi antidemokrasi,” ujarnya.
Penulis lain riset itu, Audrey Halversen, mengatakan, sinisme dapat menjadi respons rasional terhadap korupsi dan berbagai pelanggaran yang dilakukan penguasa. Kondisi itu memicu keresahan dan kemarahan masyarakat.
”Akan tetapi, hal ini menjadi kekhawatiran di kalangan pakar demokrasi karena potensinya untuk mendelegitimasi proses demokrasi, memperkuat sikap negatif, memutarbalikkan interpretasi masyarakat terhadap informasi politik, dan menyebabkan sebagian warga negara menarik diri dari politik,” ujarnya.