”Kompas” tetap harus menjalankan fungsinya sebagai pemberi informasi, pendidik, penghibur, dan lembaga kontrol sosial.
Oleh
IGNATIUS HARYANTO
·3 menit baca
Masa pencoblosan Pemilu 2024 sudah berlalu. Kini saatnya menanti hasil penghitungan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum di tengah sejumlah kontroversi, seperti isu kecurangan. Lalu, bagaimana sosok pemerintahan berikutnya? Dalam berhadapan dengan kekuasaan, sampai sejauh mana Kompas dapat bersikap kritis menjalankan fungsinya?
Demikian sejumlah pembicaraan pada pertemuan Ombudsman Kompas, 8 Maret 2024. Diskusi berlangsung dinamis, dengan pengutaraan kritik-otokritik terhadap liputan dan jangkauan Kompas selama Pemilu 2024.
Sepanjang pemilu, terlihat semua media terpusat perhatiannya. Berbagai media yang menampilkan debat selama masa kampanye, misalnya, ada yang menambahi liputan tersebut dengan ulasan dari para pendukung setiap pasangan calon. Kompas dengan pendekatan multiplatform berusaha menampilkan seluruh platform ke hadapan publik.
Di luar itu, juga dilakukan kreasi jurnalistik yang dikemas dalam liputan investigasi, jurnalisme data, survei opini publik, dan pengerahan jurnalis untuk merekam kegiatan lima tahun sekali ini. Untuk itu, Kompas sudah berusaha tampil all out bagi konsumennya.
Kekritisan juga ditampilkan media ini dalam melihat fenomena yang ada. Kegundahan harian ini dalam melihat situasi yang berkembang pun tertuang dalam Tajuk Rencana yang muncul sepanjang tahun 2023 dan awal tahun 2024. Belum lagi dengan tulisan opini para ahli, baik yang ditampilkan pada halaman reguler (halaman 6-7) maupun Opini khusus 7 tokoh pada masa menjelang pencoblosan.
Apakah kita puas dengan pemilu yang sudah berlangsung? Jawabannya sangat beragam. Namun, sebagai media, Kompas mencoba menghadirkan agenda media yang diharapkan jadi agenda publik kendati masih saja terdapat kesenjangan antara apa yang diharapkan oleh media dan kenyataan yang terjadi.
Bagaimanapun, sesaat lagi bangsa ini akan menyongsong presiden ke-8 Indonesia. Kompas sepanjang 59 tahun usianya pun telah berkali-kali mendampingi jalannya pemerintahan. Seperti apa pemerintahan ke depan? Bagaimana para menteri akan dipilih? Akankah Indonesia menjadi lebih maju ke depannya? Jawabannya: mari kita lihat sama-sama.
Kompas sepanjang 59 tahun usianya pun telah berkali-kali mendampingi jalannya pemerintahan.
Lebih dari sekadar bicara tentang teks yang telah diproduksi, ada pertanyaan penting, yaitu bagaimana nasib kebebasan pers dalam masa pemerintahan baru nanti?
Apakah bangsa ini akan kembali seperti semasa Orde Baru? Ataukah kita akan kembali ke masa demokrasi liberal ketika perpecahan dalam pemerintahan adalah sesuatu yang rentan terjadi dan tarik-menarik kekuasaan semata didasari kepentingan jangka pendek: berkuasa dan mencari modal ekonomi untuk kehidupan berikutnya.
Menarik mencermati yang terjadi di Amerika Serikat beberapa tahun lalu. Ketika Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat pada 2017, pelanggan digital New York Times (NYT) naik 139.000 pelanggan. Saat itu total pelanggan NYT digital mencapai 2,8 juta pelanggan.
Rupanya ada korelasi antara masyarakat yang menginginkan informasi yang dapat diandalkan dan keterpilihan presiden yang kerap menuduh media membuat hoaks jika media menurunkan kritik kepada presidennya. NYT dianggap masih bisa lebih dipercaya ketimbang Presiden Trump.
Apakah kondisi yang sama akan terjadi di Indonesia ini? Kita tentu berharap ada banyak anggota masyarakat yang masih berpikiran bahwa mereka perlu mencari informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan dihasilkan dari suatu verifikasi yang menjadi standar kerja media tersebut. Namun, kenyataan juga menunjukkan bahwa berkaca pada pemilu lalu, para penggemar Tiktok berjaya memengaruhi cara berpikir dan cara memilih dalam pemilu lalu.
Akankah media yang mengedepankan praktik jurnalistik standar mempunyai peluang untuk menjadi pencerah bagi masyarakat dan juga penyedia informasi yang dapat diandalkan? Atau pertanyaan mendasarnya: apakah masyarakat merasa penting memiliki informasi yang dapat diandalkan dan terverifikasi?
Bagaimanapun juga Kompas tetap harus menjalankan fungsinya sebagai pemberi informasi, pendidik, penghibur, dan lembaga kontrol sosial. Di sini kepandaian media meniti di antara tajamnya karang-karang akan kembali diuji: apakah kepentingan idealis ataukah kepentingan pragmatis yang mau dipilih?
Ignatius Haryanto, Anggota Ombudsman Kompas
Jika memiliki pendapat tentang pemberitaan Kompas, silakan kirim pendapat Anda ke e-mail: ombudsman@kompas.id.