logo Kompas.id
HumanioraFitofarmaka, Obat Herbal...
Iklan

Fitofarmaka, Obat Herbal Menuju Kemandirian Bidang Farmasi

Potensi pengembangan obat fitofarmaka di Indonesia sangat besar. Namun, pemanfaatannya masih terbatas.

Oleh
DEONISIA ARLINTA
· 4 menit baca
Indah Tri Lestari, peneliti di Laboratorium Farmakologi, Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat, Senin (29/1/2024), meneliti serum buah merah dari Papua untuk intervensi bagi penderita neuropati diabetik atau kerusakan saraf akibat penyakit diabetes.
KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA

Indah Tri Lestari, peneliti di Laboratorium Farmakologi, Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat, Senin (29/1/2024), meneliti serum buah merah dari Papua untuk intervensi bagi penderita neuropati diabetik atau kerusakan saraf akibat penyakit diabetes.

Keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh Indonesia tak terelakkan. Setidaknya ada 28.000 spesies tumbuhan hidup di Indonesia. Sekitar 80 persen tumbuhan obat di dunia pun diperkirakan ada di Indonesia.

Dari berbagai macam tumbuhan yang telah ditemukan, sebanyak 9.600 tumbuhan sudah teridentifikasi sebagai tanaman obat. Namun, baru 4.410 simplisia atau bahan alami yang digunakan untuk bahan baku obat yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (Kompas, 13/5/2017).

Karena itu, potensi pengembangan obat baru dari bahan alam di Indonesia sangat besar. Itu termasuk pada pengembangan obat fitofarmaka. Saat ini, 95 persen bahan baku obat di Indonesia masih diimpor. Hal ini menjadi ironi jika melihat sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sebenarnya sangat berlimpah.

Ketua Departemen Ilmu Farmasi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Adisti Dwijayanti dihubungi di Jakarta, Sabtu (9/3/2024), mengatakan, obat fitofarmaka merupakan obat herbal atau obat yang dikembangkan dari bahan alam yang sudah teruji khasiat dan keamanannya. Berbeda dengan jamu dan obat herbal lainnya, obat fitofarmaka sudah teruji secara lengkap, baik uji praklinik maupun uji klinik atau pengujian pada hewan coba dan pada manusia.

Baca juga: Memahami Manfaat dan Risiko Obat Herbal

”Obat fitofarmaka ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, sama seperti dengan penggunaan obat konvensional atau oleh awam sering disebut obat kimia. Obat fitofarmaka yang sudah beredar memiliki khasiat yang sudah teruji dan mampu bersaing dengan obat konvensional,” tuturnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/bNulbE8ZBvCbl4WJqsnMeFAj8p8=/1024x2673/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F10%2F13%2F20211011-H30-TimC-Fitofarmaka-mumed-01_1634058327_jpg.jpg

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah disebutkan, fitofarmaka merupakan salah satu jenis obat bahan alam. Fitofarmaka didefinisikan sebagai obat bahan alam yang digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, maupun pemulihan kesehatan.

Fitofarmaka telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik serta bahan baku dan produk jadinya telah terstandardisasi. Proses pengujian ini yang berbeda dengan obat herbal lain, seperti jamu dan obat herbal terstandar. Pada jamu dan obat herbal terstandar tidak dilakukan uji klinik untuk memastikan keamanan dan khasiatnya.

Akan tetapi, sekalipun potensi pengembangan sumber daya alam sangat besar serta aturan terkait sudah tersedia, pengembangan fitofarmaka di Indonesia masih terbatas. Saat ini, baru ada 22 produk fitofarmaka yang sudah diproduksi di Indonesia.

Berbeda dengan jamu dan obat herbal lainnya, obat fitofarmaka sudah teruji secara lengkap, baik uji praklinik maupun uji klinik atau pengujian pada hewan coba dan pada manusia.

Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, berdasarkan bahan dan fungsinya, dari 22 produk tersebut dapat terbagi dalam enam jenis obat. Itu meliputi, kombinasi ekstrak herba seledri dan ekstrak daun kumis kucing untuk menurunkan tekanan darah; fraksi atau bagian dari ekstrak kulit kayu manis untuk meringankan gangguan lambung; fraksi dari ekstrak campuran daun bungur dan kulit kayu manis sebagai terapi kombinasi untuk pasien diabetes melitus tipe 2; ekstrak herba meniran untuk memperbaiki sistem imun, kombinasi ekstrak ikan gabus, buah jeruk, dan rimpang kunyit untuk meningkatkan kadar albumin; serta ekstrak cacing tanah untuk memperlancar sirkulasi darah.

Iklan

Kemandirian

Adisti menyampaikan, dokter dapat meresepkan obat fitofarmaka dan memberikan obat tersebut kepada pasien sesuai indikasi. Pasien juga bisa meminta obat fitofarmaka sebagai pilihan dari pengobatan yang dibutuhkan.

Dekan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor I Ketut Adnyana menunjukkan dua produk suplemen yang bersumber dari bahan alam Indonesia di ruang kerjanya di Kota Bandung, Jawa Barat,  Senin (29/1/2024). Kedua produk buatan ITB telah dipasarkan ke apotek setelah mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA

Dekan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor I Ketut Adnyana menunjukkan dua produk suplemen yang bersumber dari bahan alam Indonesia di ruang kerjanya di Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (29/1/2024). Kedua produk buatan ITB telah dipasarkan ke apotek setelah mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Sama seperti dengan obat konvensional, obat fitofarmaka harus diberikan sesuai dengan indikasi medis dari pasien. Obat fitofarmaka juga memiliki kontraindikasi dan efek samping yang harus diperhatikan, Itu sebabnya, penggunaan obat fitofarmaka harus sesuai dengan anjuran dokter.

Dalam penggunaan fitofarmaka, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dapat merujuk pada formularium fitofarmaka yang sudah terbitkan oleh Kementerian Kesehatan. Formularium fitofarmaka telah diterbitkan pada 2022.

Baca juga: Keragaman Hayati Tinggi, Optimalkan Pemanfaatan Ekstrak Bahan Alam

”Fitofarmaka dibuat dari bahan alam Indonesia sehingga diharapkan dapat digunakan oleh masyarakat kita sendiri agar kita dapat mencapai kemandirian obat. Obat yang dikembangkan dari bahan alam juga ada di negara lain, tetapi dengan terminologi yang berbeda yang tidak selalu disebut fitofarmaka,” ujar Adisti.

Menurut dia, pemanfaatan fitofarmaka harus terus didorong. Selain pendanaan, pengadaan fitofarmaka di fasilitas pelayanan kesehatan, sosialisasi mengenai khasiat dan keamanan produk fitofarmaka di Indonesia perlu senantiasa dilakukan kepada dokter. Dengan begitu, para dokter pun tidak ragu ataupun enggan untuk memberikan obat fitofarmaka kepada pasien.

Tidak hanya itu, sosialisasi dan edukasi juga perlu dilakukan secara masif di masyarakat. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui obat fitofarmaka. Tidak banyak pula yang mengetahui perbedaan obat fitofarmaka dengan obat herbal lainnya. Fitofarmaka bukan jamu ataupun obat tradisional.

https://cdn-assetd.kompas.id/jgY7godJc4lxDh43Tt2f3GVvHYY=/1024x854/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F10%2F13%2F20211011-H30-TimC-Fitofarmaka-mumed-02-01_1634060634_jpg.jpg

Secara terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Lucia Rizka Andalusia menyampaikan, pandemi Covid-19 semakin menyadarkan berbagai pemangku kepentingan akan pentingnya resiliensi atau kemandirian obat dan bahan baku obat. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi bahan baku obat, termasuk bahan baku untuk fitofarmaka.

Dengan preferensi masyarakat yang semakin banyak menggunakan produk berbasis alam, fitofarmaka dapat menjadi keunggulan tersendiri untuk dikembangkan di dalam negeri dibandingkan dengan obat kimia. Fitofarmaka bisa menjadi pendamping dari obat modern atau bahkan bisa menjadi substitusi untuk beberapa jenis obat kimia.

Karena itu, penelitian terhadap obat bahan alam Indonesia ke arah fitofarmaka menjadi penting. Fitofarmaka memiliki potensi yang sangat besar untuk diterima di pasar lokal dan global sebagai produk ekspor.

Meski begitu, menurut Rizka, pemanfaatan fitofarmaka masih harus didorong oleh pemerintah melalui perluasan penggunaan fitofarmaka di banyak sarana pelayanan kesehatan di Indonesia. Itu termasuk melalui integrasi penggunaan herbal dengan pengobatan konvensional. Pemanfaatan fitofarmaka dinilai bisa semakin luas apabila penggunaan obat bahan alam bisa masuk dalam formularium nasional (fornas) pada program Jaminan Kesehatan Nasional.

Baca juga: Industri Fitofarmaka Butuh Riset dan Pengembangan

”Peningkatan pemanfaatan fitofarmaka pada pelayanan kesehatan akan sangat berkontribusi pada upaya percepatan menuju kemandirian bangsa dalam kemandirian obat dan bahan baku obat. Untuk itu, masuknya obat herbal ke dalam fornas atau daftar obat yang dapat masuk ke dalam e-Catalog dan dibeli oleh fasilitas pelayanan kesehatan serta pemerintah daerah perlu terus kita dorong percepatan realisasinya,” katanya.

Editor:
ICHWAN SUSANTO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000