Mayoritas Orang Indonesia Memaksa Tetap Berkendara Saat Mengantuk
Sebanyak 79 persen orang pernah mengemudi saat mengantuk dan 39 persen di antaranya nyaris berujung kecelakaan fatal.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelalaian manusia menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan lalu lintas tertinggi di moda angkutan jalan, pelayaran, kereta api, ataupun penerbangan. Banyak kecelakaan terjadi karena kondisi pengemudi yang kurang fit hingga mengantuk, tetapi tetap memaksakan diri berkendara.
Riset pemodelan intensi dan perilaku mengemudi saat kondisi mengantuk yang dilakukan Rani Rahmadiyani dan Ari Widyanti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2023 mengungkapkan, 79 persen responden mereka setidaknya pernah mengalami satu kali pengalaman mengemudi dalam keadaan mengantuk. Sebanyak 32 persen di antaranya pernah nyaris mengalami kecelakaan fatal akibat mengemudi dalam keadaan mengantuk tersebut.
Korban jiwa terbanyak masih berusia produktif yang berpotensi mengakibatkan kemiskinan di masyarakat.
Penelitian dilakukan dengan menyebar kuesioner kepada 217 responden yang terdiri dari 115 laki-laki dan 112 perempuan dengan usia rata-rata 31 tahun. Mereka semua sudah memiliki surat izin mengemudi.
”Alasan paling umum terjadinya kantuk dalam berkendara adalah kurangnya kesadaran akan rasa kantuk (32 persen), keinginan untuk segera tiba di tempat tujuan (29 persen), dan kurangnya ketersediaan tempat istirahat yang layak sepanjang jalur perjalanan (15 persen),” tulis Rani dalam jurnalnya, dikutip dari Sciencedirect, Sabtu (9/3/2024).
Para responden yang mengaku nyaris mengalami kecelakaan fatal itu mengungkapkan bahwa mereka tidak sadar tertidur dalam sekejap (microsleep). Microsleep merupakan periode tidur singkat kurang dari 30 detik yang terjadi karena hanya sebagian kecil dari otak seseorang yang mampu menerima stimulasi akibat mengantuk.
Dokter spesialis saraf dari Universitas Indonesia, Winnugroho Wiratman, menjelaskan, microsleep bisa dialami oleh siapa saja yang kelelahan dan kurang tidur. Namun, orang dengan kualitas tidur buruk, penderita demensia, dan orang dengan cedera kepala dan lansia lebih rentan terhadap microsleep.
Tanda awal microsleep meliputi tatapan mata yang kosong, kepala yang menunduk tanpa kesadaran, tubuh yang tersentak, dan hilangnya ingatan tentang aktivitas 1–2 menit lalu. Adapun gejala microsleep, misalnya, adalah sering menguap, daya ingat kabur, sering berkedip, dan sulit membuka mata. Seseorang yang mengalami tanda ataupun gejala tersebut disarankan untuk menunda aktivitas dan agar tidur sejenak selama 15–20 menit.
”Tenang saja, microsleep bukanlah sebuah penyakit. Tidurlah sejenak, tidak perlu khawatir, dan bergegas ke apotek untuk membeli obat,” kata Winnugroho.
Berkendara dalam kondisi mengantuk meningkatkan risiko kecelakaan sebesar 4-6 kali dibandingkan dalam keadaan waspada. Rasa kantuk mempunyai efek negatif yang memperlambat reaksi, hilangnya konsentrasi, dan mengambil keputusan yang buruk.
Penelitian dari ITB selaras dengan data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri yang menunjukkan, ada 152.008 kasus kecelakaan sepanjang 2023 yang mengakibatkan 27.896 korban jiwa. Penyebab kecelakaan di jalan terbanyak disebabkan faktor manusia, yakni 61 persen.
Mulai dari mengantuk, melebihi batas kecepatan, ceroboh saat berbelok diikuti ceroboh dalam hal aturan lajur, ceroboh saat menyalip, melampaui batas kecepatan, melakukan aktivitas lain, mengabaikan hak jalur pejalan kaki, dan gagal memberi isyarat.
Korban jiwa terbanyak masih berusia produktif, antara lain berusia 15-19 tahun sebanyak 24 persen, 20-24 tahun (20 persen), dan 25-29 tahun (11 persen). Ini berpotensi mengakibatkan kemiskinan di masyarakat semakin meningkat karena tulang punggung keluarga meninggal dunia.
”Pengembang dan riset terus berkembang untuk keselamatan berkendara, terutama roda dua. Baru tahun ini juga kami masukkan ilmu pengetahuan tentang keselamatan berlalu lintas di jalan dalam kurikulum SD, SMP, SMA pada mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila,” kata Kepala Korlantas Polri Inspektur Jenderal Aan Suhanan.
Data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) juga menunjukkan, ada 17 kali kecelakaan lalu lintas angkutan jalan akibat kelalaian manusia sepanjang 2020-2023. Di perairan, ada 8 kali kecelakaan pelayaran; dan di jalur kereta api ada satu kali peristiwa kecelakaan pada periode yang sama.
Sementara itu, di udara, walaupun moda angkutan penerbangan masih menjadi moda teraman, faktor kelalaian manusia juga menjadi penyebab kecelakaan. Terakhir, investigasi KNKT mengungkapkan bahwa jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ182 di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 2021 disebabkan oleh gangguan mekanik pada sistem throttle yang tidak dipantau dengan benar oleh pilot.
Terbaru, laporan KNKT mengungkapkan bahwa pilot dan kopilot Batik Air BTK6723 tertidur selama 28 menit hingga salah jalur saat menerbangkan pesawat Airbus A320 rute Kendari-Jakarta pada 25 Januari 2024. Insiden ini disebabkan kopilot yang kelelahan karena sebelumnya sibuk mengurus anak dan sang pilot pun ikut tertidur di dalam kokpit.
Beruntung si pilot terbangun dan membangunkan rekannya lalu mengembalikan pesawat ke rute yang benar. Tidak ada korban dalam insiden ini. Sebanyak 153 penumpang dan pesawat bisa mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta.