Maestro Seni Tradisi Mengukir Jejak Abadi
Usia senja justru membakar semangat sejumlah maestro seni tradisi di Indonesia dalam melestarikan budaya.
Meski menyusuri jalan sunyi, maestro seni tradisi tetap setia merawat kekayaan budaya di penjuru negeri. Mereka ”melumat” keterbatasan di usia senja untuk mengukir jejak abadi kebudayaan agar tak semakin terpinggirkan.
Umur 82 tahun tak mampu memaksa Ayu Manit hanya terbujur di tempat tidur. Duduk di atas kursi roda, gerakan kedua tangannya masih lincah dan lentur mengikuti alunan musik keromong, gendang, dan gong saat menampilkan tari Kain Kromong dalam Panggung Maestro di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (9/3/2024).
Usia tua menggerogoti kekuatan fisiknya, tapi tak memadamkan semangatnya melestarikan seni tradisi dari Mandiangin Tuo, Kabupaten Sarolangun, Jambi, tersebut. Tarian ini diperkirakan telah diperkenalkan sejak 1.800-an tahun sebagai ritual untuk menangkap tirau, makhluk jadi-jadian yang hidup di dua alam.
Meski gerakannya terkesan minimalis karena tidak bisa menggerakkan kakinya, penampilannya sore itu cukup mengejutkan. Sebab, sekitar 10 menit sebelum tampil, Ayu Manit sempat diselimuti karena tidak tahan dengan dinginnya suhu di dalam lokasi pertunjukan.
Ia pun sedikit menggigil. Penari pendampingnya mendorong kursi rodanya ke luar teater. Namun, ia tetap tak melepas selimutnya karena udara di luar ruangan juga cukup dingin sehabis diguyur hujan.
Akan tetapi, kondisi itu tak membuatnya merasa tersiksa. Nenek dengan delapan cicit tersebut justru sangat bersemangat saat menceritakan lika-likunya membawakan tari Kain Kromong sejak berusia 9 tahun. Ia mempelajari seni tradisi itu dari neneknya.
Baca juga : Gairah Kawula Muda Lestarikan Budaya
”Kaki saya tak kuat berdiri, tapi tangan saya masih bisa menari. Kata kakek-nenek kami dulu, seni budaya itu ibarat Pasak Lurah, Payung Negeri. Artinya, dia menjadi kekuatan dalam pemerintahan sekaligus mengayomi negeri. Jadi, kami harus jaga dan mewariskannya,” ujarnya.
Ayu Manit menyadari, gerakannya tak lagi segesit seperti masa mudanya. Ingatannya pun mulai tumpul. Oleh karena itu, sejak puluhan tahun lalu, ia melatih perempuan-perempuan muda di desanya untuk menari tari Kain Kromong.
Minimnya minat generasi muda sekarang terhadap seni tradisi itu membuatnya gelisah. Ia berharap adanya museum budaya yang menyimpan benda-benda seni terkait tarian itu, seperti busana dan alat musik pengiringnya, sehingga dapat menjadi media edukasi bagi generasi muda.
Panggung Maestro menjadi wadah bagi seni tradisi di daerah agar dikenal lebih luas. Selain itu, juga memperkenalkan pegiat budaya yang selama ini setia untuk melestarikannya.
”Saya sudah tua. Selagi masih diberi umur, saya akan berusaha untuk terus menari (tari Kain Kromong). Teman-teman seusia saya dulu yang sama-sama belajar tarian ini sudah tidak ada (meninggal),” ucapnya.
Panggung Maestro 2024 yang digagas Yayasan Bali Purnati berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menampilkan delapan maestro seni tradisi dari Jambi dan Kalimantan Selatan. Satu orang berusia 62 tahun, sisanya berumur di atas 70 tahun.
Terjatuh
Kekuatan fisik menjadi salah satu tantangan utama di atas panggung. Kekuatan kaki sangat krusial dalam menopang keseimbangan tubuh saat bergerak atraktif mengikuti irama musik.
Kendala ini pun dialami Akhmad Riadiy (79) ketika menampilkan seni tradisi ladon dari Kalsel. Ladon merupakan tradisi menari sambil membaca syair yang berkembang di tengah masyarakat Banjar Batang Banyu.
Saat melakukan gerakan memutar, kedua kakinya gemetar karena tidak kuat menopang berat badannya sehingga ia terjatuh.
Panitia acara dan seorang penari pendamping membantunya untuk bangkit. Guru Amat, panggilan akrabnya, kembali berdiri tegak dan disambut tepuk tangan penonton. Ia pun menolak ketika ditawarkan kursi agar ia bisa menari dalam posisi duduk.
”Kaki saya tadi agak terselip. Fisik saya masih kuat untuk bermain ladon. Panggung ini menjadi kesempatan untuk mengenalkan seni tradisi kami kepada orang-orang di Jakarta serta Indonesia secara luas,” tuturnya.
Setelah terjatuh, Guru Amat lebih berhati-hati dalam bergerak. Ia pun berusaha menghindari gerakan yang bertumpu pada satu kaki. Trik ini ampuh untuk menyelesaikan penampilannya tanpa terjatuh lagi.
Selesai acara, sejumlah seniman lain dan penonton menghampiri kakek empat cucu itu untuk menanyakan keadaannya. Ia pun membalasnya dengan mengacungkan kedua jempol tangannya, pertanda kondisinya baik-baik saja.
Guru Amat menuturkan, Panggung Maestro menjadi wadah bagi seni tradisi di daerah agar dikenal lebih luas. Selain itu, acara tersebut juga memperkenalkan pegiat budaya yang selama ini setia untuk melestarikannya.
”Seni tradisi ini bukan sebatas tarian. Dalam ladon, syair yang dipakai sangat beragam dan mengandung banyak nilai, salah satunya menceritakan keindahan alam dan pesan untuk menjaganya,” ucapnya.
Maestro seni betauh dari Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin, Jambi, Siti Aisyah (90), juga menganggap usia hanya angka. Meski harus duduk di atas kotak kayu, nenek tujuh cicit itu mampu mengimbangi gerakan empat penari lain yang usianya jauh lebih muda.
Ino Isah, sapaan akrabnya, sebenarnya sudah tidak ingat lagi tanggal lahirnya. Namun, kerabatnya mengatakan usianya telah mencapai 90 tahun. Meskipun gerakannya lambat, ayunan tangannya masih lincah.
”Saya menari sejak umur 8 tahun. Sampai sekarang juga masih bisa (menari). Asal jangan disuruh lompat saja,” ujarnya, diikuti oleh tawa orang-orang yang berada di dekatnya.
Betauh merupakan seni tradisi kalangan muda-mudi dalam mencari pasangan dengan cara menari saat pergelaran upacara adat. Betauh dipahami sebagai ajakan untuk menari bersama. Namun, biasanya dibatasi oleh tali yang direntangkan sekitar empat langkah.
Baca juga : Isu Kebudayaan Termarjinalkan dalam Debat Capres
”Tujuannya seperti pendekatan di antara anak muda. Saat perempuannya menari, laki-lakinya meletakkan sesuatu, seperti kain, di sekitarnya. Kalau perempuan itu mengambilnya, tandanya dia mau diajak berkenalan. Jadi, enggak ada paksaan,” kata Ino Isah.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Ahmad Mahendra berharap, pertunjukan itu menjadi awal yang baik dalam memberikan panggung bagi para maestro untuk mengekspresikan karya terbaiknya bagi masyarakat Indonesia.
Tak hanya itu, Panggung Maestro juga diharapkan menjadi wadah bagi generasi sekarang dalam mengapresiasi para maestro dan seniman-seniman yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menjaga serta merawat seni tradisi Indonesia.
Dalam keterangan tertulisnya, Endo Suanda, tim artistik Panggung Maestro 2024, menyampaikan, kegiatan tersebut merupakan penghormatan kepada para seniman yang telah mengalirkan energi seni budaya yang didapat dari para pendahulunya kepada generasi penerusnya.
Energi adalah daya hidup, semacam sukma, bukan benda mati. Namun, sukma hanya ada jika raga terjaga.
”Pernyataan ini adalah niat, semacam janji, untuk kita menjadi pewaris aktif dengan memelihara dan memupuk energi itu, hingga akan lahir buah dan biji yang membekali pertumbuhan budaya seterusnya,” ungkapnya.