Isu Kebudayaan Termarjinalkan dalam Debat Capres
Debat terakhir calon presiden Pemilu 2024 tidak banyak membahas isu kebudayaan. Ketiga capres juga minim terobosan.
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan isu kebudayaan termarjinalkan dalam debat terakhir calon presiden Pemilu 2024. Gagasan capres tentang kebudayaan juga tidak mendalam. Namun, masih ada harapan untuk menyiapkan peta jalan pembangunan berbasis kebudayaan.
Isu kebudayaan terpinggirkan dalam debat capres yang digelar di Jakarta Convention Center, Minggu (4/2/2024) malam. Ketiga capres, yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, lebih sering membahas tema kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan teknologi informasi ketimbang kebudayaan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Yang disampaikan capres sebatas permukaan. Gagasannya tidak mendalam. Para capres belum banyak mengupas inti dari kebudayaan. Pembahasannya masih seputar anggaran, fasilitas, dan kegiatan,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso, Senin (5/2/2024), di Jakarta.
Menurut Bondan, perdebatan ketiga capres ”terjebak” dalam pembahasan seni budaya. Padahal, kebudayaan memiliki makna jauh lebih luas dan sentral karena menyangkut pola hubungan dalam aktivitas sehari-hari.
”Tokoh pendidikan nasional seperti Ki Hadjar Dewantara juga termasuk budayawan karena mengkreasikan landasan pendidikan di Tanah Air. Hal seperti ini tidak terpikirkan dalam perdebatan capres,” ujarnya.
Berbagai persoalan mendasar, salah satunya infiltrasi budaya, juga luput dari perdebatan. Selain itu, disrupsi teknologi terhadap eksistensi budaya lokal minim dibahas.
Baca juga: Isu Kementerian Kebudayaan dan Kebebasan Berekspresi Mencuat dalam Debat
”Padahal, ancaman ini lebih fundamental dari pembahasan semalam. Sepertinya pemahaman mereka tentang persoalan kebudayaan juga masih pada permukaan,” ujarnya.
Dalam debat tersebut, moderator membacakan pertanyaan dari panelis mengenai pandangan dan sikap pasangan calon presiden-calon wakil presiden terhadap komersialisasi budaya dan proses destruktif terhadap tumbuhnya kebudayaan yang responsif. Prabowo mendapatkan kesempatan pertama untuk menjawab pertanyaan itu.
Berbagai persoalan mendasar, salah satunya infiltrasi budaya, juga luput dari perdebatan. Selain itu, disrupsi teknologi terhadap eksistensi budaya lokal minim dibahas.
Prabowo mengatakan, pihaknya merencanakan dana abadi kebudayaan untuk memberi dukungan kepada pelaku budaya di semua bidang. Menurut dia, pemerintah harus berada di depan dalam menjaga dan melestarikan budaya. Selain itu, juga memberi ruang untuk berinovasi dan berkreasi bagi pelaku seni budaya.
Ganjar dan Anies diminta untuk menanggapi jawaban Prabowo. Ganjar menekankan peran birokrat cukup hanya memfasilitasi kegiatan budaya. Pelaku seni dan budayawan diberikan kebebasan mengekspresikan kreativitasnya. Ia mengatakan, pemerintah tidak perlu takut pada ekspresi dan kreativitas pelaku seni budaya.
Anies menyampaikan, kebudayaan bukan hanya menyangkut satu sektor pembangunan. Menurut dia, seluruh sektor pembangunan justru bertujuan untuk membangun kebudayaan. Oleh karena itu, perlu dibentuk kementerian kebudayaan. Prabowo yang merespons pernyataan ini setuju dengan rencana pembentukan kementerian tersebut.
Masih ada harapan
Bondan mengatakan, pemaparan ketiga capres menunjukkan mereka kurang mendalami isu kebudayaan. Namun, masih ada harapan presiden terpilih dapat membuat peta jalan pembangunan berlandaskan kebudayaan bangsa.
”Ibaratnya mereka tahu ada sesuatu yang harus dituntaskan, tetapi enggak tahu cara masuknya. Jadi, masih ada harapan. Pemimpin memang tidak harus menguasai semua hal. Namun, dia harus paham bidang apa yang perlu didalami, salah satunya kebudayaan,” jelasnya.
Menurut Bondan, kesadaran pemimpin tentang pentingnya kebudayaan sangat penting. Dengan begitu, mereka bisa membuat payung hukum untuk menjalankan strategi kebudayaan melalui berbagai terobosan.
”Kesadaran ini perlu diamplifikasi. Fokus pada apa yang mereka wacanakan. Apalagi, selama ini jarang sekali pembicaraan tentang kebudayaan dalam debat calon pemimpin bangsa,” katanya.
Debat capres mengenai isu kebudayaan juga memantik perhatian pelaku kebudayaan di akar rumput. Mereka berharap, perhatian terhadap budaya tidak sebatas wacana, tetapi juga disertai aksi nyata dengan membantu budayawan di daerah.
Baca juga: Potensi Kebudayaan Belum Dioptimalkan
Zul Padli, Ketua Yayasan Pemaos Sabda Jati (Pesaja) yang bergerak dalam melestarikan seni budaya suku Sasak di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menyampaikan, selain dukungan operasional, pegiat budaya juga memerlukan pendampingan teknis agar bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Menurut dia, hal itu masih minim dilakukan.
”Pegiat budaya di daerah adalah ujung tombak pelestarian kebudayaan. Kalau minim perhatian, budaya lokal terancam terus tergerus. Semoga pemimpin yang akan datang bisa lebih peduli,” ujarnya.