Kuliah Membuat ”Napas” Perempuan di Pedalaman Lebih Panjang
Peluang kerja bagi perempuan sarjana di pedalaman lebih terbuka. Mereka bisa melompati kerja-kerja informal.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
Di wilayah terpencil sangat terbatas pilihan pekerjaan bagi perempuan yang tak kuliah. Contohnya para perempuan di Nias (Sumatera Utara) dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Jejang karier mereka mentok menjadi penjaga toko barang harian sambil menunggu lamaran orang.
Apabila bermukim di daerah pertanian, mereka harus siap mengolah hasil ladang. Mengupas pinang atau ”menyadap” pohon karet. Namun, ”napas” mereka bisa lebih panjang apabila bersatus sebagai sarjana. Berbagai pilihan pekerjaan pun terbuka di depan mata.
Karni Gulo (26) mengingat lagi teman-teman sekolahnya dulu. Ia masuk kampus pada 2016. Ketika itu, teman perempuannya masih sedikit yang melanjutkan studi ke pendidikan tinggi. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Mereka rerata tamat SMP atau SMA. Setelah lulus, mereka menunggu setahun dua tahun kemudian menikah. ”Kalau tak kuliah, mungkin nasib saya akan begitu juga. Menikah lalu jadi petani karet,” ujar warga Saloo, Ulu Moro’o, Nias Barat, Sumatera Utara, ini, Jumat (8/3/2024).
Sedikitnya perempuan yang lanjut ke pendididkan tinggi di Saloo ketika itu, kata Karni, bukan tanpa alasan. Penghasilan utama warga di sana adalah bertani. Mereka merasa cukup menyekolahkan anak sampai bisa baca tulis lalu membantu orangtua di ladang.
Bagi keluarga dengan ekonomi pas-pasan, kalau harus memilih, otomatis diutamakan cowok untuk kuliah. Karena memang begitu adatnya. Kebiasaan dari dulu, cowok diutamakan.
Karni termasuk beruntung karena terlahir dari keluarga guru. Ibu dan almarhum ayahnya tidak membedakan anak-anaknya. Ia paling bontot dari empat bersaudara, dua lelaki dan dua perempuan. Semuanya lulus pendidikan tinggi.
Untuk menyekolahkan Karni dan tiga anak lain, ibunya tak bisa mengandalkan gaji saja karena tak cukup. Selain menerima gaji dari negara, ibunya juga beternak babi, ayam, dan punya sepetak kebun karet. ”Kalau dipikir-pikir, kayak enggak mungkin (bisa wisuda semua),” kenangnya.
Karni lulus kuliah pada 2021. Tahun berikutnya ia menjadi tenaga honorer di Kantor Bupati Nias Barat, Sumatera Utara. Awal tahun ini, kontraknya berakhir. Namun, bukan berarti dia menganggur. Kini, dia berstatus sebagai anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS). ”Habis ini saya menunggu tes PNS dulu. Kalau tak lulus, mungkin bakal cari kerja di rantau,” ujarnya lagi.
Menurut warga Desa Muara Sikabaluan, Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Rima Melati (21), tidak banyak opsi bagi perempuan yang tidak kuliah di kampungnya. Paling banter menjadi pekerja informal sembari menanti dilamar orang.
Kerja jagain toko yang menjual barang harian.
Orangtua Rima tak ingin anaknya bernasib seperti itu. Karena itulah, Rima didorong untuk meneruskan pendidikan sampai ke jenjang universitas. ”Kerja jagain toko yang menjual barang harian,” kata Rima.
Warga Siberut Tengah, Kepulauan Mentawai, Maria Divia (28), juga merasakan manfaat kuliah. Sarjana Pendidikan Matematika ini pernah direkrut sebagai fasilitator sekolah di sebuah sekolah dasar di Tuapeijat. Dia bekerja selama sebulan di akhir 2021. Tugasnya mengajar dan melihat perkembangan peserta didik, terutama siswa yang kurang mampu.
Dia menerima upah Rp 3,5 juta selama satu bulan. Namun, bukan hanya ini yang membuatnya senang. Yang tak kalah membanggakan adalah nama dan gelarnya tertera dalam sepucuk sertifikat keluaran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang bekerja sama dengan Universitas Andalas.