Demi Pendidikan, Orangtua di Mentawai Sekolahkan Anak Perempuan ke Luar Pulau
Orangtua di Mentawai tak ingin anak perempuannya sengsara karena tak berpendidikan. Perempuan Mentawai mesti berdaya.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Berada di daerah terpencil seperti di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat tak menyurutkan sejumlah orangtua untuk memberikan pendidikan terbaik untuk anak perempuannya. Bahkan, ada yang sampai menyekolahkan anaknya ke luar Pulau Mentawai.
Warga Dusun Pokai, Desa Muara Sikabaluan, Siberut Utara, Kepulauan Mentawai Rima Melati (21) contohnya. Setelah tamat SD, Rima melanjutkan sekolah di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat dan tinggal terpisah dari orangtua.
Orang Mentawai yang ingin ke Padang Panjang harus naik kapal dulu ke Kota Padang. Lalu, dilanjutkan dengan perjalanan darat selama dua jam. Padang Panjang menjadi salah satu pusat pendidikan di Ranah Minang.
Di dusun Pokai ketika itu, iklim pergaulan remaja belum begitu ramah terhadap siswa perempuan. "Makanya saya disekolahkan di Padang Panjang,” ujar Rima yang kini mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Walau tinggal di daerah terpencil, jangan sampai pemikiran ikut terpencil
Beruntung, Padang Panjang bukan kota yang asing bagi Rima. Ibunya berasal dari kota ini, sedangkan ayahnya asli Mentawai. Setiap libur semester atau setelah menerima rapor, Rima baru pulang dan bertemu keluarganya di Siberut Utara. Karena mendapat pendidikan SMP dan SMA yang relatif baik, Rima pun bisa diterima di Universitas Andalas.
“Orangtua bilang, perempuan harus punya cita-cita. Pendidikan harus tinggi. Walau tinggal di daerah terpencil, jangan sampai pemikiran ikut terpencil,” katanya, mengingat pesan orangtuanya.
Kerja keras untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak juga dilakukan orangtua Maria Divia (28). Warga Siberut Tengah ini anak kedua dari empat bersaudara. Dua tahun lalu, dia mendapatkan gelar sarjana pendidikan dari Universitas Eksakti, Padang.
Kakak sulungnya yang juga perempuan merupakan lulusan Universitas Andalas dan kini bekerja di sebuah mal di Sumatera Selatan. Sementara si bungsu, kini juga sedang kuliah di salah satu universitas swasta di Padang.
“Hanya saudara nomor 3 yang terhenti sekolahnya. Itupun karena dianya yang tidak mau,” ujar Divia.
Orangtua Divia bukan dari kalangan terdidik. Ibu dan ayahnya merupakan peladang. Mereka menguliahkan anaknya dari hasil kebun kopi cokelat dan pinang. Karena itu, Divia dan saudara sangat maklum jika uang jajan yang dikasih sangat minimalis.
Tetapi ayah saya tak begitu, karena dia tak ingin anaknya sengsara
Divia saat kuliah hanya dikasih sekitar Rp 500.000 per bulan, sudah termasuk biaya kos. Untuk menambal kekurangan biaya operasional, dia kuliah sembari nyambi jadi tukang cuci piring di rumah makan dan jadi buruh cuci di binatu (laundry).
“Ayah saya termasuk yang berpikir maju. Kalau bisa anaknya bisa sarjana semua,” ujarnya.
Bagi beberapa keluarga di Mentawai, lanjut Divia, masih berlaku anggapan untuk menomorduakan anak perempuan. Menyekolahkan anak perempuan terlalu tinggi dianggap tidak ada gunanya. Sebab, setelah menikah ia akan tinggal bersama keluarga suami dan menjadi milik orang lain.
“Tetapi ayah saya tak begitu, karena dia tak ingin anaknya sengsara,” tambahnya.
Divia mencontohkan anak-anak dari saudara ayahnya. Saudara ayahnya punya enam anak, tiga di antaranya perempuan. Dari tiga anak itu, hanya satu yang sampai tamat SMP.
“Dari keluarga ayah, hanya kami yang sarjana. Yang lain tidak ada,” jelasnya.
Di Mentawai, posisi perempuan secara tradisional memang agak rentan. Setelah menikah, mereka tinggal bersama keluarga suami. Dalam istilah Divia, ia telah menjadi “milik orang”.
Saat bersama keluarga suami pun posisi perempuan tetap lemah karena ia tak berhak atas kepemilihan lahan dan rumah keluarga.
Budaya patriarki ini berakar kuat dalam masyarakat Mentawai. Menurut antropolog Tarida hernawati, ini terjadi karena sejarah kehidupan masyarakat adat Mentawai yang sangat bergantung pada sumber daya alam.
”Karena hutan dianggap dunia gelap, penguasaan lahan dan hutan diberikan kepada laki-laki. Dulu perempuan dilindungi, tidak masuk hutan. Masalahnya, zaman sudah berubah, pengelolaan lahan tidak seperti dahulu, ada banyak perubahan seiring perkembangan zaman,” kata Tarida (Kompas, 22 Juli 2023).
Catatan Redaksi:
Di artikel ini, khususnya di paragraf keempat, kalimatnya mengalami perubahan. Dari semula ,“Bukannya ingin menjelekkan kampung sendiri, tapi memang di dusun saya (Pokai) masih banyak anak sekolah hamil di luar nikah waktu itu. Makanya saya disekolahkan di Padang Panjang" menjadi Di dusun Pokai ketika itu, iklim pergaulan remaja belum begitu ramah terhadap siswa perempuan. "Makanya saya disekolahkan di Padang Panjang.” Terima kasih. Redaksi.