Angka Pernikahan Turun, Perspektif Perkawinan Berubah Tak Lagi Sakral
Fenomena menurunnya angka perkawinan dan bergesernya perspektif pada perkawinan terjadi pada kelompok usia muda.
Perkawinan sejatinya memiliki nilai yang sakral. Dalam berbagai ajaran agama pun telah menjelaskan hal itu. Pernikahan memiliki kedudukan yang sangat penting, tidak sekadar menyatukan dua insan, tetapi juga untuk menyempurnakan ajaran agama.
Akan tetapi, perspektif tersebut kini semakin berubah. Hal tersebut terutama terjadi pada kelompok usia muda. Perkawinan tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Perkawinan justru dianggap sebagai beban dengan kewajiban utama memiliki keturunan.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, mengungkapkan, nilai di masyarakat dalam memandang perkawinan telah berubah. Perkawinan bukan lagi dianggap sakral, melainkan hanya dianggap sebagai kebutuhan biologis. Padahal, jika perkawinan hanya dipandang sebagai kebutuhan biologis, itu bisa dilakukan tanpa adanya ikatan perkawinan.
”Ada perubahan nilai di masyarakat soal perkawinan. Perkawinan itu dianggap sebagai kebutuhan biologi, kebutuhan seksual, yang bisa dilakukan tanpa adanya ikatan. Sementara ada pandangan pula bahwa perkawinan itu kewajiban utamanya memiliki keturunan. Akibat dari pandangan itu, mendorong generasi muda enggan untuk memiliki ikatan perkawinan,” katanya, Kamis (7/3/2024).
Mengutip data Statistik Indonesia 2024 dari Badan Pusat Statistik, angka perkawinan di Indonesia menunjukkan adanya tren penurunan. Pada 2023 tercatat setidaknya ada 1,5 juta perkawinan yang dilaporkan. Jumlah itu merupakan jumlah terendah dari laporan perkawinan dalam sepuluh tahun terakhir.
Selain itu, rata-rata usia perkawinan di Indonesia juga semakin tua. Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan, rata-rata usia perkawinan pada 2012 sekitar 20 tahun, sementara pada 2023 menjadi 22,3 tahun.
Prioritas
Derajad menyampaikan, angka perkawinan yang semakin turun serta bergesernya usia perkawinan juga disebabkan adanya perubahan kebutuhan di masyarakat, terutama di usia muda. Globalisasi telah membuat perspektif kebutuhan ekonomi menjadi semakin maju.
Baca juga: Sekarang Makin Banyak Orang Muda Enggan Menikah
Kebutuhan dasar tidak sekadar sandang, pangan, dan papan, tetapi lebih dari itu. Banyak generasi muda yang memiliki prioritas dalam hal pendidikan yang lebih tinggi, rekreasi untuk berkunjung ke berbagai negara, ataupun hal lain yang dapat menunjang eksistensi dirinya. Berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, status perkawinan menjadi salah satu bentuk eksistensi diri yang perlu dicapai.
Hal itu pula yang menjadi pertimbangan Annisa Azzahra (27) yang kini bekerja sebagai person in charge (PIC) digital creative di Madania School, Bogor. Sejak kuliah, perkawinan bahkan sudah bukan menjadi prioritasnya. Menurut dia, meningkatkan eksistensi diri jauh lebih bermakna bagi dirinya. Hal itu termasuk untuk pendidikan serta kariernya.
”Saya merasa saat ini lebih baik hidup untuk diri sendiri dulu. Saya juga harap bisa stabil secara finansial untuk ke diri saya untuk mimpi-mimpi saya pribadi. Daripada menikah dengan orang yang salah, lebih baik saya hidup sampai tua dengan peliharaan saya dan cari uang yang banyak untuk nantinya punya yayasan pendidikan bagi anak-anak,” katanya.
Baginya, menikah juga tidak menjamin ia akan merasa sepi ataupun agar masa tuanya ada yang merawat. Selain itu, pengalamannya dengan pasangan yang pernah selingkuh membuat ia semakin ragu untuk menikah. Banyak pula informasi di media sosial yang memperlihatkan pernikahan yang tidak menyenangkan.
”Jadi cukup berdikari saja,” ujar Anissa yang kini sedang berencana untuk mengambil beasiswa untuk pendidikan S-2.
Ada perubahan nilai di masyarakat soal perkawinan. Perkawinan itu dianggap sebagai kebutuhan biologis, kebutuhan seksual, yang bisa dilakukan tanpa adanya ikatan.
Serupa dengan Anissa, keputusan untuk tidak segera menikah juga disampaikan oleh Praend Adidarma (33). Karyawan BUMN di Malang ini mengungkapkan, menikah bukan menjadi prioritasnya saat ini. Ia lebih mementingkan untuk berfokus pada pekerjaannya. Selain itu, banyak harapannya yang belum tercapai. ”Itu tepatnya untuk membeli momen atau hal-hal yang dulu belum bisa dibeli,” ucapnya.
Keengganan Praend untuk segera menikah disebutkan pula karena ia menilai dirinya belum mampu menjalankan fungsi keluarga bagi pasangan dan anaknya nanti. Fungsi itu seperti komunikasi, kemampuan untuk menyelesaikan masalah, pengelolaan finansial, kecerdasan emosi dan psikologis, kesiapan sarana tempat tinggal, juga fungsi lainnya.
Derajad mengatakan, fenomena penurunan angka perkawinan serta keengganan generasi muda untuk menikah perlu disikapi dengan bijak. Tokoh agama dan tokoh masyarakat perlu lebih banyak berperan untuk membangun nilai-nilai sosial dan budaya di masyarakat.
Kondisi saat ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat lebih banyak dibangun dari informasi di media sosial, seperti Instagram dan Tiktok. Padahal, informasi di media sosial tidak dapat dikontrol. Hal ini diperburuk dengan sikap orangtua yang kini juga tidak banyak memiliki kontrol pada anaknya.
Keseimbangan penduduk
Derajad berharap angka perkawinan yang terus menurun dapat diantisipasi dengan baik oleh pemerintah. Angka perkawinan yang turun dikhawatirkan juga turut berdampak pada penurunan angka kelahiran. Akibatnya, jumlah penduduk semakin berkurang sehingga tidak lagi terjadi keseimbangan penduduk. Apalagi, banyak generasi muda yang enggan memiliki anak atau yang dikenal dengan konsep childfree.
Baca juga: Pernikahan Menjadi Beban dan Bukan Lagi Prioritas Orang Muda Indonesia
”BKKBN diharapkan tidak hanya mengontrol kelahiran, tetapi juga memastikan keseimbangan penduduk di Indonesia. Bagaimanapun jumlah penduduk sangat berpengaruh pada kekuatan bangsa,” ujarnya.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, angka TFR (total fertility rate) atau jumlah anak rata-rata yang akan dilahirkan oleh seorang perempuan selama masa reproduksi di Indonesia pada 2023 telah mencapai 2,1. Itu artinya, setiap perempuan rata-rata memiliki dua anak.
Jumlah itu sebenarnya sudah mencapai angka yang ideal, seperti yang ditargetkan bisa tercapai pada 2024 ini. Akan tetapi, tugas berat saat ini memastikan agar angka tersebut bisa terjaga, bukan semakin menurun.
”TFR ini harus seimbang, kalau bisa jangan kurang dari 2,1. Jika kurang dari itu, jumlah penduduk bisa semakin berkurang. Itu bisa menjadi ancaman. Sebab, agar bisa terlepas dari kondisi middle income trap, kita harus punya jumlah SDM yang besar,” katanya.
Menurut Hasto, angka kelahiran yang rendah dapat berisiko pula menyebabkan potensi bonus demografi tidak dapat dicapai secara optimal. Ketika angka kelahiran menurun, penduduk usia muda akan menurun, sementara kelompok usia tua menjadi lebih banyak. Hal ini dapat membuat Indonesia melewati potensi bonus demografi untuk mencapai cita-cita sebagai negara maju.
Baca juga: Bukan Cinta yang Melanggengkan Pernikahan
Karena itu, Hasto mengatakan, BKKBN berupaya agar angka kelahiran di Indonesia bisa tetap terjaga. Intervensi pada angka kelahiran ini dilakukan dengan pendekatan yang berbeda di setiap daerah.
”Kondisi TFR di setiap daerah berbeda-beda. Di Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, dan Maluku itu TFR-nya tinggi, sementara di Bali, Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur itu TFR-nya rendah. Jadi kebijakan tidak bisa one fit for all. Masing-masing harus ada kebijakan yang berbeda,” tuturnya.