Kelas Menengah Pikul Beban Berat Membiayai Anak Kuliah
Biaya kuliah menjadi kendala untuk akses pendidikan tinggi, terutama bagi kelompok masyarakat kelas menengah. Skema pendanaan yang berkeadilan perlu dicari agar tidak menjerumuskan mahasiswa dan keluarganya dalam utang berbunga tinggi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat kelas menengah memikul beban berat membiayai anaknya untuk kuliah. Selain peningkatan pendapatan yang tidak sebanding dengan kenaikan uang kuliah, mereka juga terkendala mengakses bantuan biaya pendidikan dari pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar atau KIP Kuliah.
Kelompok masyarakat kelas menengah membutuhkan pembiayaan yang berkeadilan. Skema pembiayaan menggunakan pinjaman daring bukan solusi karena sangat berpotensi menjerumuskan mahasiswa dan keluarganya dalam jeratan utang berbunga tinggi.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nizam mengatakan, akses ke perguruan tinggi (PT) di Tanah Air berkembang cukup progresif dalam dasawarsa terakhir. Angka partisipasi kasar (APK) PT juga meningkat dari 25 persen pada 2015 menjadi hampir mencapai 40 persen pada 2022.
Akan tetapi, tingginya biaya kuliah masih sering dikeluhkan masyarakat, termasuk kelas menengah. Padahal, pendidikan menjadi salah satu jembatan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Nizam menuturkan, pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia menerapkan prinsip gotong royong. Selain dibebankan kepada mahasiswa, pemerintah juga menggelontorkan bantuan pendidikan, salah satunya melalui KIP Kuliah yang anggarannya mencapai Rp 13 triliun pada tahun lalu.
“Saat ini, sekitar satu juta mahasiswa mendapatkan bantuan KIP Kuliah. Selain itu, tentu yang jadi masalah adalah kelompok masyarakat kelas menengah. Mungkin untuk membiayai kuliah berat sekali, sementara mereka tidak eligible (layak atau memenuhi syarat) untuk mendapatkan KIP Kuliah,” ujarnya dalam diskusi ”Mengupas Skema Terbaik dan Ringankan Pendanaan Mahasiswa” di Universitas Yarsi, Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Nizam menuturkan, KIP Kuliah menetapkan syarat maksimum penghasilan orangtua. Hal inilah yang sering menjadi kendala orangtua dari kelompok kelas menengah untuk mendapatkan bantuan pendidikan tersebut.
Padahal, di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 (tentang Pendidikan Tinggi) disebutkan pendidikan tinggi berasaskan keterjangkauan. Kemudian, disebutkan otonomi pengelolaan perguruan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip nirlaba. Namun, pada kenyataannya, banyak sekali perguruan tinggi yang tidak terjangkau dalam hal pembiayaan.
”Di sinilah kita perlu mencari skema pendanaan yang baik, yang tidak menjadikan mahasiswa terjerat utang seumur hidup seperti terjadi di Amerika Serikat. Di sana, dengan student loan, mahasiswa meminjam uang di bank untuk kuliah. Namun, karena biaya kuliah di sana sangat mahal, utang mereka sangat besar sampai lulus jadi sarjana,” ucapnya.
Menurut Nizam, biaya kuliah di AS mencapai 10-20 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan di Indonesia. Biaya kuliah di negara tetangga, seperti Australia dan Singapura, juga jauh lebih lebih tinggi ketimbang di Tanah Air.
”Di tahun 2020, data dari berbagai sumber, rata-rata biaya PT di Indonesia sekitar 2.000 dollar AS atau sekitar Rp 28 juta per tahun. Kalau dibandingkan dengan Malaysia, itu hanya seperempatnya, sementara di Hong Kong mencapai 12.000 dollar AS per tahun,” paparnya.
Pendidikan sebagai investasi
Nizam mencontohkan negara-negara Skandinavia yang menanggung biaya kuliah sepenuhnya. Hal ini dapat dilakukan dengan penetapan pajak tinggi yang bisa mencapai 50 persen dari penghasilan. Sebab, negara-negara tersebut menganggap pendidikan sebagai investasi bagi seluruh warganya.
Australia menjalankan skema student loan dengan bunga yang rendah. Pembayaran pinjaman dilakukan setelah mahasiswa tersebut bekerja dan menerima penghasilan yang memadai untuk membayar pinjaman melalui pemotongan gaji secara bertahap.
”Di Indonesia, kita sedang mengkaji bagaimana itu bisa diimplementasikan. Mudah-mudahan dengan skema tersebut akses ke perguruan tinggi tidak lagi terkendala oleh kemampuan ekonomi orangtua. Selain itu, mahasiswa juga didorong untuk lebih mandiri dan produktif,” ucapnya.
Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Prof Didin Muhafidin mengungkap ketimpangan peningkatan pendapatan dengan kenaikan biaya kuliah di Indonesia. Ia mengatakan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan biaya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) mencapai 1,3 persen per tahun dan untuk perguruan tinggi swasta (PTS) sekitar 6,9 persen per tahun.
Sementara kenaikan penghasilan orangtua sekitar 3,8 persen per tahun untuk lulusan setingkat SMA dan 2,7 persen per tahun untuk lulusan sarjana. Peningkatan pendapatan yang tidak terlalu signifikan itu juga dipakai untuk menutupi biaya hidup yang terus melonjak.
”Padahal, di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 (tentang Pendidikan Tinggi) disebutkan pendidikan tinggi berasaskan keterjangkauan. Kemudian disebutkan otonomi pengelolaan perguruan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip nirlaba. Namun, pada kenyataannya, banyak sekali perguruan tinggi yang tidak terjangkau dalam hal pembiayaan,” tuturnya.