Kenaikan Harga Beras Memperburuk Pemenuhan Gizi Anak di Flores Timur
Dengan kenaikan harga-harga pangan saat ini, termasuk beras, upaya untuk mengatasi ”stunting” bakal lebih sulit.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
FLORES TIMUR, KOMPAS — Pergeseran pola konsumsi dari beragam pangan lokal ke beras telah menjadi beban ekonomi terbesar masyarakat perdesaan di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dengan kenaikan harga beras yang diikuti pangan lain saat ini, sebagian besar pengeluaran masyarakat desa kini tersedot untuk memenuhi kebutuhan beras dan berisiko meningkatkan masalah gizi pada anak.
”Harga beras saat ini paling mahal dari yang saya alami selama hidup. Warga saat ini terbebani luar biasa dengan perkembangan ini,” kata Kepala Desa Mudakeputu, Kecamatan Ile Mandiri, Kabupaten Flores Timur, Yohanes Purin Weking (57), Minggu (3/3/2024).
Menurut Yohanes, harga beras telah mencapai Rp 17.000 per kilogram. Kenaikan harga beras juga diikuti kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lain, termasuk jagung giling yang sudah mencapai Rp 15.000 per kilogram.
Dalam diskusi terfokus Finbargo-Bekal Pemimpin 0.3 dan Berguna, lembaga lingkungan di Larantuka bersama 50 perempuan Desa Mudakeputu menunjukkan, satu keluarga rata-rata harus mengeluarkan Rp 700.000-Rp 1 juga per minggu untuk membeli berbagai barang konsumsi. Beras menjadi sumber pengeluaran terbesar, yakni Rp 200.000-Rp 250.000 per keluarga.
Theodora Dora Weking (40), Kepala Dusun 1, Desa Mudakeputu, mengatakan, kenaikan harga kebutuhan pangan ini telah mengganggu pemenuhan gizi keluarga. Hal ini dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko gizi buruk, bahkan ke depan juga tengkes atau stunting.
”Saat ini di desa kami masih ada 16 anak stunting dan satu anak kurang gizi. Dengan kenaikan harga pangan ini, upaya untuk mengatasi stunting bakal lebih sulit,” katanya.
Anastasia Marselina Dai (35), ibu rumah tangga di Desa Mudakeputu, mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan beras, keluarganya menjual hasil pertanian, seperti sayur mayur dan singkong. Namun, harganya tidak sebanding.
Satu karung singkong sekitar 50 kg hanya laku dijual Rp 20.000. ”Kami harus menghemat untuk membeli lauk pauknya. Ikannya dikurangi, yang penting anak-anak kenyang dulu,” katanya.
Kenapa sekarang harus jual singkong dengan harga murah lalu beli beras yang harganya berkali lipat.
Diskusi dengan warga juga mengungkap tentang lemahnya literasi pangan sehat dan seimbang di kalangan warga. Salah seorang ibu mengatakan, hampir tiap hari dia menyediakan sarapan nasi dengan mi instan untuk anaknya yang masih sekolah dasar.
”Soal stunting dan gizi anak ini biasanya karena pola asuh,” kata Dora.
Fungsional Analis Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Flores Timur Yunus Mukin mengatakan, perubahan pola konsumsi masyarakat membuat Kabupaten Flores Timur mengalami defisit beras yang semakin besar. ”Saat ini kebutuhan beras di Flores Timur sebanyak 30.000-33.000 (ton) per tahun. Sementara produksi beras hanya sekitar 15.000 per tahun,” katanya.
Sebagian besar konsumsi beras di Flores Timur, menurut dia, harus didatangkan dari luar. Dengan kenaikan harga beras seperti ini, sejumlah daerah seperti Flores Timur paling susah.
Padahal, menurut Yunus, Flores Timur memiliki keberagaman sumber pangan lokal. ”Pangan-pangan lokal ini semakin ditinggalkan. Terutama anak-anak muda sudah tidak mengenal lagi pangan-pangan lokal. Ibu-ibu di desa kebanyakan juga maunya instan, tidak mau mengolah lagi pangan lokal,” ujarnya.
Pangan lokal ditinggalkan
Data Badan Pangan Nasional menunjukkan, pergeseran pola pangan di Indonesia diakui terus terjadi. Data tahun 2009 menunjukkan, pola konsumsi pangan di wilayah timur Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Timur, masih beragam. Selain beras, juga masih dominan jagung, ubi kayu, ubi jalar, selain sagu. Namun, pada tahun 2020, konsumsi beras dan terigu semakin mendominasi di Indonesia timur.
Yohanes mengatakan, dengan meningkatnya harga beras saat ini, pihaknya berharap bisa menyadarkan warganya untuk kembali mengonsumsi beragam pangan lokal. Desa di lereng Gunung Ile Mandiri ini sebenarnya memiliki beragam pangan lokal, seperti jagung, sorgum, kacang-kacangan, hingga umbi-umbian.
”Satu sisi masyarakat mengeluh harga beras terus naik, tetapi banyak makanan lokal, terutama umbi-umbian di hutan yang tidak lagi dikonsumsi. Bahkan, singkong juga banyak, dulu ini menjadi makanan pokok kami, diolah menjadi putu. Kenapa sekarang harus jual singkong dengan harga murah lalu beli beras yang harganya berkali lipat,” katanya.
Yohanes mengatakan, tahun ini pihaknya akan mengalokasikan sebagian dana desa untuk penguatan pangan lokal, di antaranya membantu mendanai warga menanam kembali beragam pangan lokal. ”Kami sudah sepakati dalam rapat perencanaan desa untuk alokasikan dana sekitar Rp 100 juta untuk penguatan pangan lokal,” katanya.