Perundungan Anak Terjadi di Mana Saja, Sudah Saatnya Masyarakat Ambil Tindakan
Perundungan kian mengkhawatirkan. Anak-anak perlu dilindungi agar tidak menjadi korban ataupun pelaku.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus perundungan anak terus terjadi. Belum selesai penanganan kasus perundungan di Binus School Serpong, Tangerang, Banten, dan penganiayaan yang menewaskan santri di Pesantren Al-Hanifiyyah, Kediri, Jawa Timur, kini terungkap kasus perundungan di Batam, Kepulauan Riau.
Kasus di Batam diketahui setelah viral di media sosial karena aksi perundungan tersebut direkam dalam video dan tersebar di medsos, Sabtu (2/3/2024). Dalam video tersebut, seorang anak perempuan tengah dipukul, ditendang, bahkan disundut rokok.
Kasus di Batam menunjukkan perundungan bisa terjadi di mana saja. Perundungan bisa menimpa anak-anak dalam berbagai situasi, tidak hanya anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah tetapi juga anak-anak yang putus sekolah.
Karena itu, masyarakat diminta aktif mencegah kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anak-anak. Terungkapnya kasus kekerasan demi kekerasan menjadi alarm keras agar semua pihak meningkatkan kepedulian untuk melindungi anak-anak agar tidak menjadi korban dan terlibat kejahatan.
”Kami mengimbau keluarga, sekolah, dan masyarakat melakukan pencegahan agar perundungan anak, termasuk kasus di Batam, tidak terjadi lagi kepada anak-anak,” ujar anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, Minggu (3/3/2024).
Pasca-viralnya video itu, Polresta Batam, Rempang, Galang (Barelang) mengusut kasus yang terjadi di belakang sebuah tempat makan di kompleks pertokoan Lucky Plaza, Kecamatan Lubuk Baja, Rabu (28/2/2024) sekitar pukul 14.00.
Menurut kepolisian, ada dua anak yang menjadi korban dalam peristiwa itu, yaitu SR (17) dan EF (14). Mereka dipukul oleh empat perempuan, yakni Na (18), RS (14), M (15), dan AK (14).
Kasus tersebut berawal dari informasi RS yang menyebut korban EF mencuri barang. RS kemudian mengajak tiga temannya mengeroyok EF yang bersama dengan SR.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar menyatakan, seperti kasus perundungan lainnya, kasus ini mendapat perhatian dari Kementerian PPPA.
Sejak kasus itu terungkap, Tim Layanan SAPA 129 Kementerian PPPA berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Batam untuk memberi pendampingan dan layanan bagi korban. ”Kami memantau proses hukum di Polresta Balerang,” kata Nahar.
Menurut Nahar, dari informasi yang dihimpun UPTD PPA Batam, sejauh ini motif kasus kekerasan tersebut karena para pelaku merasa sakit hati pada korban yang diduga mengambil barang milik pelaku hingga pelaku kesal.
Akibat penganiayaan tersebut, korban mengalami luka bekas rokok di tangan kiri dan dagu, bekas cakar dan lebam di bagian leher, bengkak di bagian kepala bekas cakar di bagian punggung dan bengkak di bagian pipi kiri.
Fase remaja
Dari aspek psikologi, menurut Nahar, kasus perundungan yang melibatkan para remaja di Batam menunjukkan kerentanan anak-anak di fase remaja mengalami kekerasan. Ketidakmatangan anak mengelola konflik dalam pertemanannya membuat mereka memilih jalan pintas agar rasa tak nyaman tidak berlarut-larut.
Motif kasus kekerasan tersebut karena para pelaku merasa sakit hati pada korban yang diduga mengambil barang milik pelaku hingga pelaku kesal.
Salah satu jalannya yakni menggunakan kekerasan fisik, seperti yang terjadi dengan remaja di Batam, rasa sakit hati memicu para remaja tersebut melakukan kekerasan.
Di sisi lain, adanya rasa solidaritas dalam pertemanan membuat seorang remaja mudah tergugah emosinya jika melihat temannya tersakiti. Hal ini bisa memicu terjadinya perundungan secara berkelompok.
Diyah mengungkapkan, dari informasi yang diperoleh KPAI, anak-anak yang menjadi korban ataupun sebagai pelaku dipastikan semuanya telah putus sekolah. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka berkelompok.
”Anak korban saat ini dalam proses rehabilitasi dan persiapan reintegrasi sosial karena orangtua berharap anak masih bisa sekolah kembali. Namun, hal ini masih pada tahap analisis kondisi anak mengingat hampir delapan bulan tidak bersekolah,” ujar Diyah.
Selain itu, KPAI bersama Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Batam melakukan pendampingan dan pengawasan atas kasus tersebut. Hal ini bertujuan untuk memastikan anak korban dan anak yang berkonflik dengan hukum terpenuhi hak sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.