PRT Korban Perdagangan Orang: Saya Mau Pulang Kampung Saja...
Perjuangan pekerja rumah tangga mendapat payung hukum tak kunjung berujung. DPR belum mengesahkan RUU PPRT menjadi UU.
Sejumlah perempuan datang jauh-jauh dari kampung, mengadu nasib di kota besar sebagai pekerja rumah tangga, untuk mencari nafkah demi keluarga. Namun, yang terjadi sebaliknya. Mereka justru diperlakukan tidak manusiawi.
Nasib malang, salah satunya, menimpa Isabela Pule (20), perempuan asal Kefamenanu, Timor Tengah Utara (TTS), Nusa Tenggara Timur. Pada Kamis (15/2/2024) lalu, kisah tentang Isabela viral di media sosial setelah temannya menemui secara diam-diam di rumah majikannya untuk memberi makanan.
Dalam video tersebut, terlihat Isabela yang bertubuh kecil dan kurus berdiri di atas tembok sebuah rumah. Temannya menyodorkan makanan seraya bertanya sudah berapa hari dia tidak makan.
Pascaviral, kasus Isabela kini ditangani kepolisian. Isabela akhirnya dikeluarkan dari rumah majikan dan dibawa ke Wisma NTT di Jakarta, didampingi keluarga sekampungnya. Ia juga menjalani pemeriksaan kesehatan dan dimintai keterangan oleh polisi.
”Saya enggak mau kerja lagi, saya mau pulang kampung saja,” ujar Isabela saat dihubungi Kompas, Kamis (29/2/2024) malam.
Saat ini, kondisi Isabela sudah jauh lebih baik dibandingkan saat dikeluarkan dari rumah majikannya. Ia sudah bisa makan teratur dan berkomunikasi dengan orang lain, juga mulai bisa tertawa. ”Awal datang dia hanya diam saja,” kata Hendry Donald Izaac, Kepala Badan Penghubung Provinsi NTT di Jakarta.
Isabela adalah PRT yang diduga menjadi korban perdagangan orang. Ia tertarik menjadi PRT di Jakarta setelah membaca informasi lowongan kerja di Facebook.
Dari informasi di tersebut, ia kemudian menghubungi seorang perempuan bernama Sela yang mengunggah lowongan kerja itu. Setelah bertemu, Isabela sepakat menerima pekerjaan itu dengan upah Rp 1 juta per bulan.
Selanjutnya, Sela bertemu dengan orangtua Isabela untuk meminta izin membawa Isabela ke Jakarta bekerja sebagai pengasuh bayi. Semua biaya perjalanan dan akomodasi dari Kefamenanu ke Jakarta ditanggung pemberi kerja di Jakarta.
Begitu tiba di Jakarta, Isabela dijemput oleh seorang perempuan bernama Yanti dan dibawa ke rumahnya selama seminggu untuk diajari bagaimana melakukan pekerjaan rumah tangga. Setelah itu, dia dikirim ke Bangka Belitung untuk bekerja dengan orangtua Yanti.
Di Bangka Belitung, Isabela bekerja selama enam bulan. Karena tak kunjung digaji, Isabela menanyakan gajinya, namun oleh majikan dijawab bahwa dia tidak memiliki gaji karena mempunyai utang senilai Rp 15 juta. Pada bulan ketujuh, Isabela dikirim lagi ke Jakarta untuk bekerja di rumah Catherine, saudara dari Yanti, yang tinggal di Jakarta Barat. Malangnya, ia juga tidak pernah menerima gaji selama 11 bulan.
Baca juga: Siti Khotimah, Pekerja Rumah Tangga yang Disiksa Majikan, Berjuang Mencari Keadilan
Di rumah Catherine, anak bungsu dari empat bersaudara tersebut mulai mengalami kekerasan dari Catherine yang tinggal bersama anaknya, Stefani, seorang dokter. Setiap kali dianggap melakukan kesalahan atau bekerja lambat, Isabela langsung dipukul oleh Catherine.
Selama lima bulan tinggal bersama majikannya, Isabela hanya diberi makan sekali sehari. ”Saya makan sore hari, tidur di garasi atau dapur, pakai tikar, tidak ada selimut. Saya cuma pakai kain dari kampung,” ujarnya.
Puncak kekerasan Catherine adalah tindakannya menggunduli rambut Isabela. ”Alasannya, kalau rambut panjang bisa kena makanan,” tambah Isabela yang kemudian menceritakan pada teman PRT dari Sumba tentang kekerasan yang dialami hingga akhirnya viral di media sosial.
Isabela sekarang mendapatkan pendampingan hukum. Pemerintah Provinsi NTT juga memberikan dukungan dan mendorong penegakan hukum kasus ini sampai tuntas.
Kasus Isabela hanyalah salah satu dari banyak kasus kekerasan pada PRT yang terungkap ke publik. Sepanjang Februari 2024, setidaknya ada tiga kasus kekerasan PRT yang terungkap. Hanya selang beberapa hari, kembali terungkap lima PRT yang berusaha kabur dari rumah majikannya di Jatinegara Timur, Jakarta Timur.
Kelima PRT tersebut diduga disekap dan disiksa majikan mereka sehingga kemudian nekat melarikan diri dengan cara memanjat dan menerobos pagar, lalu melompat keluar rumah hingga terluka. Dua di antara PRT korban itu berusia 17 tahun. Kasusnya kini dalam penyelidikan kepolisian.
Mencuatnya kasus demi kasus kekerasan terhadap PRT menunjukkan betapa lemah posisi PRT. Ketiadaan regulasi yang memberikan pengakuan atas pekerjaan mereka membuat PRT terus menjadi sasaran kekerasan dan eksploitasi, bahkan korban perdagangan orang.
Warisan DPR dinanti
Pasca-Pemilihan Umum 2024, para PRT kembali meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk berhenti menyandera Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Pimpinan dan anggota DPR yang akan mengakhiri periodenya pada akhir 2024 didesak segera mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 27 Ayat (2), yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Karena itulah, para PRT berharap, di akhir periodenya, DPR meninggalkan warisan berharga bagi PRT. Sampai sekarang, PRT masih menjadi warga negara yang rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi karena ketiadaan payung hukum atas pekerjaannya.
Ketiadaan regulasi yang memberikan pengakuan atas pekerjaan mereka membuat PRT terus menjadi sasaran kekerasan dan eksploitasi, bahkan korban perdagangan orang.
Jika DPR periode sekarang tidak membahas dan mengesahkan RUU PPRT, maka perjuangan pengusungan RUU yang berlangsung hampir 20tahun itu dikhawatirkan akan kembali ke titik nol. Karena tidak pernah dituntaskan, maka setiap habis periode DPR, proses legislasi RUU PPRT harus diulang lagi dari awal.
”Semakin lama RUU PPRT ditunda, maka semakin panjang daftar PRT yang menjadi korban, disiksa, dan dieksploitasi majikan. Kasus penyiksaan PRT tak berhenti,” ujar Lita Anggraini, Koordinator Nasional Advokasi Jaringan Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Rabu (28/2/2024).
Baca juga: DPR Didesak Berhenti Menyandera RUU Perlindungan PRT
Kasus Isabela dan lima PRT di atas merupakan gambaran perbudakan modern yang dialami PRT di Tanah Air. Data yang dikompilasi Jala PRT menunjukkan, terdapat 3.308 kasus kekerasan PRT sepanjang 2021 sampai dengan Februari 2024. Rata-rata PRT mengalami multikekerasan, yaitu kekerasan psikis, fisik, ekonomi, serta perdagangan manusia.
Maka, kehadiran RUU PPRT tidak bisa lagi terus ditunda. Apalagi, hampir 20 tahun di DPR, RUU PPRT mengalami berbagai proses kajian, studi banding, dialog, revisi dan pembahasan, hingga posisi terakhir disahkan menjadi RUU inisiatif DPR pada 21 Maret 2023.
Bahkan, pemerintah sudah mengirimkan surat presiden (surpres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM) pada April dan Mei 2023. Artinya, tinggal selangkah lagi DPR membahas bersama pemerintah dan mengesahkannya. Namun, hingga setahun berlalu, RUU tersebut kembali mangkrak di DPR. RUU inisiatif, surpres, dan DIM belum menunjukkan tanda-tanda bahwa RUU akan dibahas dan disahkan.
Karena itulah, pekan lalu, puluhan organisasi perempuan yang tergabung dalam Barisan Perempuan untuk UU PPRT mendesak pimpinan DPR, ketua fraksi, dan anggota DPR segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT menjadi UU PPRT.
Baca juga: Perjuangan Panjang PRT Menggapai Kemerdekaan
Pemerintah harus melakukan tindakan tegas atas praktik-praktik perdagangan manusia terhadap PRT yang dilakukan para penyalur. ”Apakah korban tidak penting bagi DPR? Sementara prinsip kemanusiaan adalah tanpa kekerasan. Apakah karena PRT, maka kasus kekerasan dianggap wajar?” ujar Ajeng Astuti dari Jala PRT saat membacakan pernyataan Barisan Perempuan untuk UU PPRT.
Khotimun Sutanti dari Asosiasi LBH APIK Indonesia menegaskan, saat RUU tidak disahkan, maka DPR membiarkan PRT dalam perbudakan dan sebagai pekerja yang dianggap tidak berhak mendapatkan kemerdekaan dalam bekerja. Menunda pengesahan RUU PPRT akan semakin menempatkan 5 juta lebih PRT yang mayoritas perempuan, warga miskin, dan penopang perekonomian nasional sebagai warga yang terus-menerus ditinggalkan. ”Seolah-olah dianggap wajar mengalami kekerasan dan perbudakan modern. Bahkan, kasus terakhir tidak dianggap sebagai kasus perdagangan orang, kekerasan dalam rumah tangga, hanya dianggap sebagai kasus ketenagakerjaan, kemudian dikembalikan dan diselesaikan sendiri oleh PRT dan pemberi kerja,” kata Khotimun.
Karena itu, para PRT terus menaruh asa pada DPR agar tidak lupa dengan nasib PRT. Berharap proses RUU PPRT berlanjut dan disahkan pada masa persidangan DPR yang akan dibuka kembali pekan depan.