Daftar PRT yang mengalami penyiksaan dan diskriminasi terus bertambah. DPR terus menyandera RUU PPRT hampir 20 tahun.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Di tengah hiruk-pikuk suasana Pemilihan Umum 2024, semenjak Kamis (15/2/2024) lalu, di media sosial viral video Isabela Elu (20), pekerja rumah tangga asal Nusa Tenggara Timur yang bekerja di Jakarta Barat yang kelaparan dan diberi makan oleh temannya. Isabela diduga dikurung dan tidak diberi makan oleh majikannya.
Dalam video tersebut terlihat Isabela yang bertubuh kecil dan kurus berdiri di atas pagar beton sebuah rumah. Seorang perempuan menyodorkan makanan seraya bertanya sudah berapa hari dia tidak makan. Isabela tampak ketakutan saat temannya merekam pembicaraan mereka. Ketika temannya bertanya sejak kemarin dia tidak makan, Isabela mengiyakan.
” Berapa hari tidak makan. Kau kasihan kau begini dikurung. Dari kemarin tidak makan, betul? Bos tidak ada? Kasihan kau sudah kurus, tinggal tulang saja,” tanya teman Isabela dalam rekaman video yang diduga direkam pada Rabu (13/2/2024).
Polisi langsung menanggapi viralnya video tersebut dan mendatangi Isabela. Pihak Kepolisian Polda Metro Jakarta Barat menyatakan masih menyelidiki kasus tersebut setelah menerima laporan itu. Polisi mendatangi tempat Isabela bekerja, seperti yang diviralkan di akun Instagram ntt.update.
Tak hanya kasus Isabela, awal pekan ini, Senin (12/2/2024), juga terungkap lima PRT yang berusaha kabur dari rumah majikannya di wilayah Jatinegara Timur, Jakarta Timur. Para PRT yang diduga mengalami penyekapan dan penganiayaan itu nekat menerobos pagar berduri demi menyelamatkan diri.
Peristiwa yang terjadi pada Senin dini hari itu terungkap saat ada warga melihat mereka sedang melarikan diri dari rumah majikannya. Para PRT kemudian diselamatkan dan kini mendapatkan pendampingan dan layanan kesehatan karena di antara mereka ada yang terluka.
Jaringan Advokasi PRT (JALA PRT) juga menerima informasi penyiksaan terhadap lima PRT. Dua dari lima PRT tersebut masih tergolong anak-anak berusia 17 tahun.
”Mereka bekerja di Jatinegara, ada yang mengalami penyiksaan fisik, tubuhnya disetrika dan tidak digaji, bahkan bekerja sampai dini hari. Sekarang mereka di rumah aman,” papar Koordinator Nasional JALA PRT Lita Anggraini, Sabtu (17/2/2024).
Peristiwa kekerasan pada PRT justru terjadi bersamaan dengan perayaan Hari PRT Nasional yang digelar setiap tanggal 15 Februari. Peristiwa penyiksaan terhadap lima PRT itu mengingatkan akan sebuah peristiwa yang sama juga terjadi di Surabaya, Jawa Timur, 23 tahun yang lalu.
Saat itu, PRT Sunarsih dan empat PRT lainnya disekap dan disiksa majikannya. Penyiksaan itu menyebabkan Sunarsih meninggal pada 12 Februari 2021. ”Sunarsih-Sunarsih lain terus bermunculan. PRT terus menjadi korban perbudakan modern,” kata Lita.
Di tengah kasus-kasus penyiksaan terhadap PRT, hingga kini PRT masih terus berjuang mendapatkan pengakuan hukum atas status pekerjaan mereka. Hampir 20 tahun Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (PPRT) masih saja di tangan DPR.
Meskipun bolak-balik masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), bahkan sudah sampai ke tahap paripurna, hingga kini pembahasan RUU PPRT pun tak kunjung dijadwalkan DPR. RUU itu terus tersandera di DPR.
Berbagai cara telah dilakukan PRT bersama organisasi JALA PRT dan organisasi perlindungan perempuan, termasuk didukung Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), serta organisasi agama dan mahasiswa.
Sejumlah PRT mengalami upah tidak dibayar, dipecat, atau dipotong upah oleh majikan ketika sakit dan tidak dapat bekerja.
Aksi demi aksi di depan gedung DPR pun telah dilakukan. Bahkan, aksi puasa dan mogok makan, serta merantai diri juga dilakukan para PRT. Namun, hingga kini RUU PPRT terhenti, tidak jelas kapan dibahas dan disahkan.
”Sudah 20 tahun. Kami berharap setelah pemilu, pada Februari ini ketika DPR bersidang lagi, mereka akan segera membahas dan mengesahkan UU PPRT. Jangan sandera nasib PRT. Sudah selayaknya Indonesia memelopori perlindungan PRT, memenuhi hak-hak PRT, dan membebaskan mereka dari perbudakan modern,” ujar Lita.
Dukungan diberikan Komnas Perempuan untuk pengesahan RUU PPRT. Tahun 2024 merupakan titik kritis bagi pembahasan RUU PPRT. Sebab, jika pada tahun ini tidak ada yang dibahas dan disepakati di dalam pembahasan Tingkat I DPR, RUU PPRT akan menjadi non-carry over. ”Itu artinya proses RUU PPRT harus dimulai dari nol lagi,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani.
Diskriminasi dan ketidakadilan
Padahal, semakin lama RUU PPRT disahkan, semakin panjang daftar kekerasan yang dialami PRT. Situasi yang dialami PRT semakin memburuk. Lemahnya posisi PRT membuat mereka terus menerus berada dalam lingkaran kekerasan.
Berdasarkan data JALA PRT, pada 2018-2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT. Mayoritas kasus berupa kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi dalam situasi kerja. Sejumlah PRT mengalami upah tidak dibayar, dipecat, atau dipotong upah oleh majikan ketika sakit dan tidak dapat bekerja.
Ketika jatuh sakit, PRT harus membayar sendiri biaya perawatan karena tidak mendapat jaminan kesehatan. Meskipun bertahun-tahun bekerja, sering tidak ada kenaikan upah. Bahkan ketika mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), mereka tidak menerima pesangon. Kehadiran UU PPRT diharapkan menjadi pengakuan atas status ketenagakerjaan PRT.
Perjuangan PRT untuk mendapatkan keadilan saat menjadi korban kekerasan pun berliku-liku. Dari catatan JALA PRT, hingga kini hanya 15 persen pelaku yang mendapat hukuman sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), selebihnya pelaku mendapat hukuman ringan atau bebas.
”UU PKDRT yang disahkan sejak 2004 dalam implementasinya belum mampu memberikan pelindungan terhadap PRT atas pelanggaran hak yang dilakukan oleh pemberi kerja,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi.
Karena itu, presiden dan wakil presiden, serta para anggota DPR yang terpilih pada Pemilu 2024 diharapkan memberikan perhatian pada nasib lebih dari 5 juta PRT di Tanah Air. Para PRT adalah bagian dari warga negara Indonesia yang berhak mendapat pengakuan atas profesinya.