Inovasi menjadi jalan bagi generasi muda melestarikan budaya. Pengembangannya jangan mengabaikan pelestarian lingkungan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Generasi muda sejatinya pewaris kekayaan budaya bangsa. Namun, di tengah gempuran budaya asing, banyak anak muda justru semakin tercerabut dari akar budayanya. Melalui berbagai inovasi, para kawula muda bergairah meretas jalan melestarikan budaya lokal.
Sebuah gerai mungil di pojok lobi utama Jakarta Convention Center mencuri perhatian pengunjung Pameran International Handicraft Trade Fair (Inacraft), Rabu (28/2/2024). Tas anyaman berbahan pandan laut atau lais, tenun yang menggunakan pewarna alami atau ecoprint, dan beragam produk bambu dengan motif flora pada relief Candi Borobudur menjadi magnet bagi pengunjung untuk singgah, termasuk Ibu Negara Iriana Joko Widodo.
Beragam kreasi kerajinan tangan itu merupakan buah kreativitas alumni program Kemah Budaya Kaum Muda (KBKM) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Program ini menjadi inkubator yang mewadahi anak muda untuk mengkreasikan aplikasi dan prakarya guna menjawab berbagai masalah dalam pemajuan kebudayaan.
Lalu lalang pengunjung pameran tidak membuyarkan konsentrasi Syauqiya Aina Salsabila (25) menjelaskan unsur budaya dalam produk tas anyaman daun lais. Alumnus program KBKM 2023 itu mengatakan, keikutsertaan mereka dalam Pameran Inacraft bukan sekadar berjualan, melainkan juga melestarikan budaya anyaman lais dari Belitung Timur.
“Budaya menganyam lais diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15. Dahulu, tanaman lais tumbuh liar. Sekarang sudah banyak warga yang menanamnya di pekarangan belakang rumah,” ujarnya.
Syauqiya bukan orang Belitung. Ia lahir di Majalengka, Jawa Barat. Hidupnya berpindah-pindah mengikuti penempatan tugas ayahnya yang bekerja sebagai hakim.
Menamatkan sekolah dasar di Kota Bontang, Kalimantan Timur, Syauqiya melanjutkan pendidikan sekolah menengah di Tasikmalaya. Kemudian ia kuliah strata 1 di Bandung dan strata 2 di Bogor, Jabar.
“Hidup berpindah-pindah membuat saya seperti terasing dari budaya lokal. Itulah alasan saya tertarik pada kebudayaan meskipun saat ini kuliah di bidang manajemen bisnis,” ucapnya.
Keikutsertaannya dalam program KBKM mengenalkannya dengan budaya anyaman lais. Bersama sejumlah mahasiswa lainnya dari berbagai perguruan tinggi, ia mengikuti residensi selama satu bulan di Belitung Timur.
Karena dianggap lebih praktis, banyak penenun beralih ke pewarna pabrik. Yang paling mengkhawatirkan adalah hilangnya kearifan lokal untuk membuat pewarna alami yang telah diwariskan turun-temurun.
Mereka hidup bersama perajin lais. Berbagai persoalan ditemukan, salah satunya menurunnya minat generasi muda pada budaya itu. Mayoritas perajin anyaman lais merupakan perempuan berusia 50 tahun ke atas, bahkan lanjut usia.
Selain itu, produknya minim sentuhan inovasi. Warnanya monoton karena hanya mengandalkan warna dasar daun lais yang sudah kering. Tikar anyaman lais dijual dengan harga Rp 50.000-Rp 100.000 per lembar.
Syauqiya dan sejumlah rekannya berkolaborasi bersama perajin anyaman lais untuk berinovasi menghasilkan produk baru. Mereka tergabung dalam komunitas Sahabat Lais. Anyaman lais diberi warna dan dikombinasikan dengan kain dan sulaman. Kemudian mereka mengkreasikannya menjadi tas dan dompet.
Inovasi ini mendongkrak harga produk anyaman lais menjadi Rp 255.000–Rp 299.000. Sejumlah perajin di Belitung Timur juga mulai menerapkan inovasi itu sehingga memberikan nilai tambah pada produk budaya tersebut.
“Dengan adanya nilai tambah ini, kami berharap anak-anak muda di Belitung Timur kembali melirik budaya anyaman lais. Budaya ini bukan cuma warisan masa lalu dari leluhur, melainkan juga bisa menjadi sandaran masa depan mereka,” katanya.
Tekad Aenun Jariyah (23) melestarikan pewarnaan alami pada tenun Sasak berawal dari kekhawatiran. Saat ini, mayoritas penenun Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, memakai pewarna sintetis. Padahal penggunaan pewarna alami lebih ramah lingkungan.
“Karena dianggap lebih praktis, banyak penenun beralih ke pewarna pabrik. Yang paling mengkhawatirkan adalah hilangnya kearifan lokal untuk membuat pewarna alami yang telah diwariskan turun-temurun,” jelasnya.
Bahan pewarna alami dihasilkan dari berbagai tumbuhan, seperti kayu jati, biji asam, kunyit, kayu secang, dan daun indigofera. Tak hanya di kain, Aenun dan rekan-rekannya yang tergabung dalam komunitas Muktesa Ecoprint juga menggunakan pewarna alami untuk menggambar motif pada tumbler dan mug.
“Anak muda sekarang kan suka membawa tumbler. Jadi, jika pewarna alami dipakai melukis tumbler, tentu semakin banyak generasi muda yang mengetahuinya. Pengetahuan ini menjadi pintu masuk untuk melestarikannya,” ucapnya.
Komunitas Bambori dari Magelang, Jawa Tengah, alumni KBKM 2022, membuat beragam produk berbahan bambu, seperti cangkir, jam dinding, dan puring. Mereka menyematkan motif flora yang ada pada relief Candi Borobudur di setiap produknya.
Beberapa motif yang digunakan adalah pohon siwalan, lotus, dan talas. Penggunaan motif ini sekaligus menjadi edukasi budaya bagi masyarakat tentang keberagaman relief Candi Borobudur.
Koordinator Tim Kerja KBKM Siti Utami Haryanti menuturkan, program KBKM merupakan platform inkubasi yang melatih anak muda berinovasi dalam kebudayaan dengan pendekatan science, technology, engineering, art, mathematics (STEAM). Pesertanya berusia 18-25 tahun. Program ini digelar sejak 2019 dan telah menjangkau lebih dari 5.000 pemuda.
“Tujuan utamanya adalah melestarikan budaya. Inovasi membuka ruang bagi generasi muda untuk terlibat. Hal ini diawali dengan membuat mereka tertarik sehingga termotivasi untuk mengembangkannya,” ucapnya.
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kemendikbudristek Restu Gunawan mengatakan, salah satu tantangan pelestarian kebudayaan adalah membuat produk kebudayaan menjadi kekinian dan kontekstual sehingga diminati generasi muda. Tanpa inovasi, produk budaya akan dianggap jadul sehingga kurang dilirik.
“Inovasi menjadi kunci. Namun, yang tidak kalah penting, pelestarian budaya juga diselaraskan dengan pelestarian lingkungan. Sebisa mungkin produk yang dikembangkan bisa mengurangi polusi,” ujarnya.