Pemanfaatan Warisan Budaya Masih Abaikan Pelestarian
Konsep pengelolaan warisan budaya secara berkelanjutan memang selalu digaungkan. Slogan-slogannya pun ikut diadopsi. Namun, dalam praktiknya, masih belum banyak terlihat.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warisan budaya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui sektor wisata. Namun, sering kali pengelolaannya dilakukan dengan tidak bertanggung jawab. Pemanfaatannya masih mengabaikan aspek pelestarian.
Pengajar arkeologi Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo, mengatakan, pengelolaan warisan budaya semestinya dilakukan secara inklusif dengan melibatkan sejumlah pihak. Namun, di saat bersamaan, semua pihak juga mengemban tanggung jawab untuk ikut melestarikannya.
Dibutuhkan perubahan paradigma agar pemanfaatan warisan budaya tidak semata-mata untuk kepentingan finansial. Tanpa perubahan cara pandang tersebut, aspek pelestarian dan pariwisata dalam mengelola warisan budaya akan selalu dipertentangkan. Apalagi, berbagai kesepakatan global mendukung pengelolaan yang berkelanjutan.
Daud menuturkan, tujuan utama mengelola warisan budaya adalah mengomunikasikan nilai-nilai dan melestarikannya. Masyarakat setempat juga harus dilibatkan dalam mewujudkan tujuan ini. Namun, sering kali cara seperti ini dianggap akan menghalangi tujuan finansial.
”Cara pandang materialistis ini masih sering menghantui kegagalan menjalankan kesepakatan global tentang pengelolaan berkelanjutan. Masyarakat tidak dihiraukan dan pelestariannya diabaikan,” ujarnya dalam dialog Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) bertajuk ”Melindungi Budaya, Mengembangkan Pariwisata” di Plaza Insan Berprestasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Jakarta, Kamis (26/10/2023).
Pengelolaan warisan budaya secara berkelanjutan memang selalu digaungkan. Slogan-slogannya pun ikut diadopsi. Namun, dalam praktiknya, masih belum banyak terlihat.
Daud menjelaskan, dalam paradigma baru, pelestarian warisan budaya bukan sekadar masalah kebendaan atau peninggalan arkeologi. Namun, turut mewariskan nilai budaya yang dibuktikan dengan kegunannya bagi masyarakat.
Oleh sebab itu, warisan budaya tidak hanya milik pemerintah dan pelestari. Masyarakat pun harus dilibatkan agar pengelolaannya lebih inklusif.
”Kita harus mengajak banyak orang sehingga terwujud keterbukaan. Pelestarian itu tidak cuma untuk pelestarian itu sendiri, tetapi melibatkan kepentingan masa kini dan mendatang. Itu yang kadang-kadang terlupakan,” ujarnya.
Tujuan utama mengelola warisan budaya adalah mengomunikasikan nilai-nilai dan melestarikannya. Masyarakat setempat juga harus dilibatkan dalam mewujudkan tujuan ini. Namun, sering kali cara seperti ini dianggap akan menghalangi tujuan finansial.
Kelembaman
Menurut Daud, mengubah paradigma dalam mengelola warisan budaya masih terkendala oleh ego sektoral. Hal ini membuat cara-cara kreatif untuk memanfaatkan warisan budaya tanpa melupakan pelestariannya menjadi sulit dilakukan.
”Syaratnya adalah menghilangkan kelembaman berpikir. Istilah anak sekarang itu pikiran yang tidak mau move on atau mengubah cara berpikir,” katanya.
Pergeseran cara pandang ini perlu didorong untuk menjadi kesadaran bersama. Jika tidak, aspek pelestarian dan wisata dalam mengelola warisan budaya akan terus berbenturan.
”Ada istilah pariwisata berkelanjutan dan bertanggung jawab. Slogan itu juga digunakan di Indonesia, seakan-akan diadopsi. Namun, karena kelembaman berpikir, semua itu hanya menjadi gimmick,” ucapnya.
Daud mencontohkan, dari aspek pariwisata, Candi Borobudur di Jawa Tengah dikunjungi banyak wisatawan. Di sisi lain, nilai-nilainya mulai bergeser sehingga lebih banyak dikenal sebagai lokasi wisata saja.
”Borobudur itu berhasil secara kebendaan, tetapi nilai-nilainya itu sekarang ke mana? Kita tidak tahu,” ujarnya.
Pelaku seni budaya dari Perhimpunan Pegiat Angklung Indonesia, Gunawan Endang, menyebutkan, pelindungan terhadap warisan budaya mesti melibatkan semua pihak. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestariannya sehingga status warisan budaya tak benda UNESCO tidak dicabut.
”Ini juga menyangkut harkat dan martabat kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaganya,” katanya.
Gunawan berharap KKI bisa merekomendasikan langkah-langkah konkret dalam melindungi warisan budaya. Untuk pelestarian angklung, misalnya, dibutuhkan keputusan menteri yang menetapkan angklung sebagai alat musik pendidikan.
Menurut Ketua Program Yayasan Bambu Lingkungan Lestari Nurul Firmansyah, upaya menjaga warisan budaya bisa diselaraskan dengan pelestarian lingkungan. Pihaknya, misalnya, mempunyai program penanaman bambu di Flores, Nusa Tenggara Timur, yang melibatkan warga adat di sana.
”Bambu ditanam sekali dan bisa dipanen terus-menerus sehingga memperbaiki kualitas lingkungan. Berbeda dengan kayu yang sekali tanam, ditebang, baru harus ditanam kembali,” ucapnya.
KKI 2023 digelar sepanjang 23-27 Oktober. Kongres lima tahunan ini dirancang untuk menjadi forum strategis dalam mendorong koordinasi efektif, mengumpulkan aspirasi, dan menjaring rekomendasi konkret untuk penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemajuan Kebudayaan 2025-2029.
Kegiatan ini diikuti ribuan pelaku seni budaya dari sejumlah daerah. Kongres menggelar 50 ruang dialog dengan beragam topik, di antaranya penguatan ruang budaya inklusif, regenerasi kebudayaan, penataan kelembagaan kebudayaan, strategi pendanaan berkelanjutan, serta kebudayaan dan kedaulatan pangan.