Prosedur Penerimaan Anak di Panti Asuhan Perlu Diseragamkan
Pembuatan dokumen kependudukan bagi anak-anak di panti asuhan masih sering menghadapi kendala.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Syarat administrasi kependudukan yang harus dipenuhi dalam standar pelayanan bagi anak di panti asuhan perlu diseragamkan. Standar yang saat ini masih beragam menyulitkan proses pembuatan identitas kependudukan bagi anak-anak tersebut.
Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) Prasetyadji dalam acara bertajuk ”Rembugan Standar Prosedur Penerimaan Anak di Panti Asuhan”, di Jakarta, Selasa (20/2/2024), mengatakan, proses pembuatan dokumen kependudukan bagi anak-anak di panti asuhan masih sering menghadapi kendala. Standar formulir pendaftaran serta syarat yang masih beragam di beberapa daerah menyebabkan pembuatan dokumen tersebut sulit dilakukan.
”Karena itu, adanya keseragaman data dalam formulir yang harus disiapkan menjadi sangat penting, baik ketika menerima anak maupun menemukan anak yang orangtuanya tidak diketahui,” tuturnya.
Hak asuh anak sebaiknya tetap di orangtua karena orangtua harus bertanggung jawab pada anak yang dititipkannya.
Prasetyadji menuturkan, data formulir yang beragam di panti asuhan serta persyaratan berbeda-beda di setiap pelayanan kependudukan dan catatan sipil di setiap daerah sering kali membuat proses pembuatan administrasi dokumen kependudukan anak panti asuhan menjadi lama dan sulit. Selain itu, berbagai kondisi yang dihadapi ketika menerima anak di panti asuhan juga turut mempersulit proses pendaftaran tersebut.
Peneliti senior IKI, Eddy Setiawan, menuturkan, sejumlah kendala yang sering dihadapi, antara lain, adanya orangtua yang tanpa kabar setelah menitipkan anaknya di panti asuhan. Persoalan lain yang juga ditemui, adanya anak yang sudah memiliki akta lahir, tetapi sang ibu tidak bisa dihubungi.
Dengan adanya standar dalam syarat administrasi penerimaan anak di panti asuhan serta keseragaman data diharapkan dapat membantu pengelola yayasan panti asuhan ketika akan membuatkan identitas kependudukan pada anak. Hal itu termasuk data untuk pembuatan kartu keluarga, akta kelahiran, dan kartu tanda penduduk (KTP).
Usulan prosedur
Prasetyadji menjelaskan, terdapat beberapa proses yang diusulkan menjadi standar dalam prosedur ketika menerima penitipan anak di panti asuhan. Proses pertama yaitu membuat surat pernyataan yang melampirkan surat keterangan kelahiran dari fasilitas kesehatan, akta kelahiran anak, surat permandian bagi orangtua beragama Katolik atau Kristen, fotokopi kartu keluarga dan KTP kedua orangtua, fotokopi KTP saksi, surat keterangan RT/RW dari daerah asal, serta surat keterangan ketua lingkungan atau wilayah bagi yang beragama Katolik atau Kristen.
Pada surat pernyataan tersebut diwajibkan agar orangtua membubuhkan cap jempol serta cap lima jari kanan dan kiri yang digunakan untuk memudahkan pendataan di dinas kependudukan dan catatan sipil (dukcapil). Selain itu, dibutuhkan pula foto orangtua bersama anak, foto wajah orangtua atau wali yang menyerahkan, serta foto serah terima anak. Surat tersebut wajib ditandatangani di atas meterai Rp 10.000 dengan tanda tangan dari pimpinan panti asuhan, tanda tangan yang menyerahkan anak, dan tanda tangan kedua saksi.
Kemudian, proses kedua dilakukan ketika masa penitipan anak akan diperpanjang. Dalam perjanjian penitipan anak yang diusulkan, pengasuhan anak di panti asuhan dilakukan dalam waktu enam bulan dan hanya dapat diperpanjang satu kali. Jangka waktu ini diharapkan agar orangtua bisa berupaya untuk mempersiapkan diri guna kembali merawat dan membesarkan anak.
”Kenapa harus enam bulan? Itu sebenarnya tergantung filosofi dari tiap-tiap panti asuhan, Hak asuh anak sebaiknya tetap di orangtua karena orangtua harus bertanggung jawab pada anak yang dititipkannya. Jika memang karena alasan ekonomi, diharapkan dalam waktu enam bulan orangtua bisa mengupayakannya,” kata Eddy.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan yakni terkait tata cara ketika panti asuhan menemukan bayi yang orangtuanya tidak diketahui. Hal pertama yang perlu diperhatikan yaitu mengambil foto kondisi bayi pada awal dilihat atau ditemukan. Setelah itu, segera periksa kesehatan bayi ke dokter sekaligus meminta surat keterangan perkiraan kelahiran bayi. Kemudian, lapor ke polisi terdekat dengan saksi guna meminta surat keterangan polisi (BAP) untuk diasuh di panti asuhan.
Ketua Yayasan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) KH Saifullah Ma’shum menuturkan, tata cara (SOP) serta regulasi mengenai penerimaan anak di panti asuhan harus disamakan secara nasional. Tata cara tersebut diharapkan tidak hanya berlaku secara lokal sehingga aturannya berbeda-beda di setiap wilayah.
”Kami mendorong agar dukcapil serta instansi terkait bisa menyepakati standar pelayanan dalam hal pemenuhan identitas kependudukan bagi anak di panti asuhan yang sifatnya nasional dan tunggal. Jadi, tidak ada lagi aturan dan spesifikasi yang berbeda-beda, apalagi yang mempersulit proses pembuatan identitas,” katanya.