Kualitas konten kunci keberlanjutan media massa. Pertarungan dengan media sosial dan disrupsi digital perlu adaptasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Media sosial menjadi sumber informasi alternatif dalam beberapa tahun terakhir. Namun, informasi yang disebarluaskan kerap kali mencampuradukkan fakta dengan opini, bahkan hoaks, sehingga berpotensi menyesatkan publik. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi media massa menjaga konten berita bermutu yang menjadi salah satu kunci keberlanjutan media.
Peran media sosial dalam membentuk opini publik menguat seiring dengan penggunanya yang terus meningkat. Pengguna media sosial di Indonesia mencapai 170 juta orang atau 61 persen dari populasi.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengutarakan, saat ini terjadi pertarungan antara media konvensional dan media sosial dalam membentuk opini publik. Bahkan, dengan teknologi digital yang terus berkembang, pengaruh media sosial diprediksi akan semakin besar.
Namun, akurasi informasi yang disebarkan di media sosial sulit dikontrol. Sebab, setiap orang dapat memproduksi dan menyebarkan informasi. Hal ini berbeda dengan media massa yang terikat oleh kode etik jurnalistik. Selain itu, produksi berita melalui berbagai tahapan yang dapat memverifikasi informasi sebelum dipublikasikan.
”Hal ini menjadi tantangan bagi industri pers untuk bisa bertahan. Jangan sampai media konvensional kalah dari media sosial. Kuncinya adalah kualitas (konten). Kalau membuat berita harus akurat,” ujarnya dalam Konvensi Nasional Media Massa: Pers Mewujudkan Demokrasi di Era Digital, pada peringatan Hari Pers Nasional 2024 (HPN 2024), di Jakarta, Senin (19/2/2024).
Adaptasi media massa dalam digitalisasi sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, sebagian besar media konvensional, baik cetak maupun elektronik, juga telah memanfaatkan platform digital sebagai salah satu medium mendistribusikan kontennya.
Menurut Tito, pemberitaan media massa masih obyektif karena berpegangan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain sebagai media informasi, pers mempunyai fungsi pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Selain itu, pers berkewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Pers juga melayani hak jawab dan hak koreksi.
Tito menambahkan, pers berperan penting dalam memperkuat demokrasi, salah satunya mengawasi proses pemilihan umum. Namun, ia mengakui, masih ada birokrat yang alergi terhadap pers karena kurang memahami paradigma kebebasan pers.
”Masih banyak pers berkualitas. Namun, ada juga yang baru dapat (informasi) sepotong langsung dilempar (dipublikasikan). Hal ini membentuk persepsi beberapa birokrat bahwa beritanya dianggap tidak akurat. Ini dianggap sama rata. Padahal tidak begitu,” jelasnya.
Selain kedalaman konten, verifikasi berlipat sangat krusial dalam menghasilkan konten berita berkualitas. Sebab, sering sekali akurasi informasi dikorbankan demi mengejar kecepatan memublikasikan berita.
Sementara Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menuturkan, produk jurnalistik harus menerapkan prinsip cover both side atau memberitakan secara berimbang. Namun, tidak jarang media massa mengutip informasi dari media sosial tanpa dibarengi dengan konfirmasi berarti.
Selain kedalaman konten, verifikasi berlipat sangat krusial dalam menghasilkan konten berita berkualitas. Sebab, sering sekali akurasi informasi dikorbankan demi mengejar kecepatan memublikasikan berita.
”Tidak mengonfirmasi pada sumber (berita) tentu berpotensi melanggar kode etik jurnalistik. Jelas ini merugikan. Terus terang hal-hal seperti itu tidak kita harapkan,” ujarnya.
Digitalisasi membuat pertumbuhan jumlah media semakin pesat. Namun, hal itu belum dibarengi dengan profesionalisme perusahaan pers dan profesionalisme jurnalis. ”Media online begitu mudah dibentuk, tetapi tidak diikuti profesionalisme. Di sisi lain, masih banyak regulasi yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan,” ujarnya.
”Publisher rights”
Selain konten berkualitas, dukungan ekosistem media yang sehat sangat krusial bagi keberlanjutan media. Digitalisasi telah mengubah perilaku masyarakat mengakses informasi. Hal ini turut memengaruhi bisnis media di Tanah Air.
Sejumlah media menutup edisi cetaknya dan beralih ke platform daring. Bahkan, beberapa media di antaranya diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) sejumlah jurnalis dan pekerja media lainnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan, sebagai salah satu pilar demokrasi, pers perlu terus didukung di tengah disrupsi teknologi digital. Pemerintah berupaya menghadirkan kebijakan afirmatif untuk mendorong fair playing field (arena yang adil) antara media Tanah Air dan perusahaan platform digital.
”Langkah ini dilakukan untuk memastikan disrupsi digital tidak semakin menggerus keberlangsungan industri media. Salah satu kebijakannya berupa rancangan peraturan presiden mengenai publisher rights (hak penerbit). Insya Allah sebentar lagi kita akan menyambut disahkannya regulasi ini oleh Presiden (Joko Widodo),” jelasnya.
Presiden dijadwalkan menghadiri puncak peringatan HPN 2024 di Ancol, Jakarta, Selasa (20/2/2024). Presiden akan mengumumkan pengesahan peraturan presiden yang telah diwacanakan lebih dari tiga tahun lalu tersebut.
”Mohon agar memaknai publisher rights sebagai langkah maju yang perlu dilanjutkan dengan langkah-langkah berikutnya. Perusahaan pers terus melakukan inovasi di segala lini untuk merespons peluang serta tantangan di masa mendatang yang sangat progresif serta dinamis,” ujarnya.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Hendry Ch Bangun mengatakan, sebagian pekerjaan wartawan telah diambil alih oleh mesin. Hanya jurnalis serta media yang terus berinovasi dan meningkatkan kapasitasnya yang mampu beradaptasi.
”Kita berharap besok (Selasa) presiden akan merilis perpres publisher rights yang sudah lama ditunggu sehingga kita mempunyai setitik harapan. Tentu tidak semua akan mendapatkan apa yang diharapkan. Namun, minimal ada campur tangan negara membantu kehidupan pers,” ujarnya.