Rehabilitasi Mangrove Baru Mencapai 130.000 Hektar dari Target 600.000 Hektar
Mangrove mampu menahan abrasi dan menyimpan karbon sehingga bisa mereduksi emisi karbon di atmosfer.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rehabilitasi hutan mangrove di Indonesia belum optimal. Pada 2021, Presiden Joko Widodo menargetkan rehabilitasi sekitar 600.000 hektar hutan mangrove hingga 2024. Namun, saat ini realisasinya baru mencapai 130.000 hektar.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan, luas hutan mangrove Indonesia mencapai 3,36 juta hektar atau sekitar 23 persen dari total luas hutan mangrove dunia. Selain menahan abrasi, mangrove juga berfungsi menyimpan karbon yang dapat mereduksi emisi karbon di atmosfer.
Pemerintah menargetkan rehabilitasi sekitar 600.000 hektar hutan mangrove hingga 2024. ”Target itu untuk seluruh lanskap. Jangan dibayangkan yang 600.000 hektar itu adalah pohon (mangrove) yang ditanam satu-satu. Sampai dengan tahun lalu, (rehabilitasi) sudah 130.000-an hektar. Tahun ini akan lebih banyak lagi,” ujarnya seusai menanam mangrove di Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk, Sabtu (17/2/2024).
Penanaman mangrove juga dilakukan oleh Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Hendry Ch Bangun beserta sejumlah pejabat di Kementerian LHK dan pengurus PWI pusat ataupun daerah. Kegiatan ini merupakan rangkaian acara Hari Pers Nasional 2024.
Siti menuturkan, rehabilitasi mangrove sangat penting karena mampu menyimpan karbon dengan baik. Kemampuannya dalam menyimpan karbon mencapai empat kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hutan tropis daratan.
”Itu untuk bagian atas. Kalau di bagian akarnya (kemampuan menyimpan karbon) bisa delapan kali lipat. Jadi, manfaatnya sangat baik,” ucapnya.
Setelah menanam mangrove, Siti bersama pengurus PWI menyusuri hutan mangrove di pesisir utara Jakarta tersebut menggunakan perahu motor. Kawasan itu juga menjadi tujuan wisata, khususnya bagi masyarakat Ibu Kota dan sekitarnya.
Siti berharap penanaman mangrove dapat dilakukan lebih intensif. Menurut dia, pers berperan penting dalam membantu pemerintah menyampaikan sejumlah program yang berdampak kepada masyarakat.
Luas hutan mangrove Indonesia mencapai 3,36 juta hektar atau sekitar 23 persen dari total luas hutan mangrove dunia. Selain menahan abrasi, mangrove juga berfungsi menyimpan karbon sehingga dapat mereduksi emisi karbon di atmosfer.
”Saya berterima kasih kepada pers ketika kami memperkenalkan program Perhutanan Sosial. Awalnya susah untuk mengajak masyarakat. Itu banyak terbantu oleh pers. Begitu juga dalam soal sampah dan gambut. Yang tidak kalah penting saat ini adalah mengenai perubahan iklim,” tuturnya.
Hendry Ch Bangun mengatakan, penanaman mangrove di TWA Angke Kapuk tidak sekadar menghijaukan kawasan tersebut. Namun, upaya itu juga telah menjadikan hutan mangrove sebagai tempat pemulihan dari kejenuhan atau healing bagi masyarakat.
”Kalau istilah zaman sekarang itu hidden gem (permata tersembunyi). Hanya sekitar 30 menit dari Kelapa Gading, orang-orang bisa menyaksikan keindahan alam seperti ini,” ujarnya.
Melestarikan lingkungan
Hendry berharap penanaman mangrove tersebut dapat menjadi inspirasi dalam melestarikan lingkungan. Selain mangrove, pihaknya juga menanam pohon di hutan kota Jakarta.
”Pers juga harus ke arah sana. Dunia ini bicara lingkungan, hijau, dan udara bersih. Saya kira hal ini sangat baik bagi insan pers untuk terlibat melestarikan lingkungan,” ujarnya.
Pers didorong untuk lebih masif memberitakan upaya pelestarian lingkungan. Sebab, hal itu berdampak terhadap kehidupan di masa depan, termasuk bagi generasi penerus bangsa.
”Meskipun barangkali tidak seksi, tetapi merupakan hal yang sangat penting. Jadi, dalam pers, ada dua hal yang membuat sesuatu menjadi berita, yaitu menarik dan penting,” ujarnya.
Rehabilitasi hutan mangrove mendukung pemulihan ekosistem di sekitarnya. Selain tutupan vegetasi semakin bertambah, hutan mangrove juga meningkatkan kualitas habitat satwa liar.
Penyuluh kehutanan yang juga pemandu di TWA Angke Kapuk, Rizki Prima, menuturkan, pada 1997 sekitar 90 persen tanaman mangrove di kawasan itu rusak karena tambak ikan ilegal. Saat itu, tutupan mangrove hanya sekitar 9,9 hektar.
Penanaman mangrove lalu dimulai pada 2006. Tutupan vegetasi pun melonjak menjadi 49,9 hektar pada 2021. Perbaikan ekosistem membuat berbagai satwa liar ditemukan lagi di kawasan tersebut.
”Ada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang ditemukan kembali setelah menghilang selama 21 tahun. Ada juga berang-berang (Aonyx cinereus) yang ditemukan kembali setelah 35 tahun,” katanya.