Perkuat Ahli Lokal Agar Proyek Genomik Tidak Bias Etnik
Indonesia dengan keragaman etniknya memerlukan tenaga ahli lokal agar data genomik yang dikumpulkan tidak menjadi bias.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemeriksaan genomik manusia sebaiknya dilakukan di laboratorium dan oleh tenaga ahli dalam negeri agar tidak terjadi bias etnik dalam menganalisis data genomik seseorang. Indonesia sendiri masih perlu penguatan tenaga ahli dan peralatan pemeriksa genomik demi mewujudkan praktik kedokteran yang presisi.
Situasi ini disebabkan karena adanya perbedaan pola genomik pada setiap etnik di dunia. Genetik etnik orang Eropa berbeda dengan Asia, apalagi Indonesia dengan keragaman etnik yang besar. Pemeriksaan genomik di dalam negeri akan membuat hasil analisis data genomik lebih tepat dan menghasilkan pemetaan genomik yang lebih presisi.
Dokter spesialis penyakit dalam, konsulen penyakit endokrin, metabolik, dan diabetes, Sidartawan Soegondo, mencontohkan, orang Asia Timur yang menderita diabetes tipe 2 memiliki rata-rata indeks massa tubuh yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien diabetes keturunan Eropa. Selain itu, lemak tubuh orang Asia Timur lebih besar dan biasanya berada di rongga perut (lemak visceral).
”Walaupun diabetes di dunia itu sama, tetapi ternyata ada perbedaan. Diabetesnya Asia dan Eropa itu berbeda sehingga pemetaan genomik penting untuk menentukan tindakan dan obat yang akan diberikan,” kata Sidartawan dalam diskusi genomik yang digelar Prodia di Hotel JW Marriot, Jakarta, Sabtu (17/2/2024).
Perbedaan genomik juga bisa disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup seseorang berbeda-beda. Risiko penyakit yang sudah ada dalam genetik seseorang bisa menjadi lebih parah jika dia hidup di lingkungan dan dengan gaya hidup yang tidak baik.
Dokter spesialis saraf, Valentinus Besin, menambahkan, dalam kasus penyakit stroke juga memerlukan data genomik yang akurat agar dokter bisa memberikan diagnosis, tindakan, dan obat yang tepat. Dia mengungkapkan, banyak pasien stroke yang kambuhan walau rutin perawatan dan mengonsumsi obat karena tindakan dan obat yang diberikan sama dengan pasien lainnya.
”Sering kali obat stroke itu mahal, tetapi tidak manjur. Padahal, ada variasi genetik antarorang dalam hal metabolisme obat. Jadi, bukan obatnya yang salah, melainkan kerentanan genetik setiap orang itu berbeda,” kata Valentinus.
Oleh sebab itu, dia berharap pemerintah dengan menggandeng swasta untuk terus mengumpulkan data genomik manusia Indonesia sebanyak-banyaknya agar praktik kedokteran lebih presisi. Pemeriksaan dan analisis data genomik juga harus dilakukan di dalam negeri.
”Hati-hati pada bias etnis, obat dan tindakan tidak bisa disamaratakan lagi seperti dulu,” ucapnya.
Ketua Umum Asosiasi Genomik Indonesia (AGI) Ivan Rizal Sini menyoroti masih kurangnya tenaga ahli, khususnya ahli bioinformatika lokal, yang bisa menganalisis data genomik manusia Indonesia. Sejauh ini, beberapa laboratorium penyedia layanan genomik masih bekerja sama dengan ahli dari luar negeri.
”Kita belum punya ahli yang banyak untuk kebutuhan pengolahan data bioinformatika di Indonesia. Kalau hanya mengandalkan saintis yang fokusnya pada aspek klinis, informasi tersebut tidak bisa diterjemahkan saat kita menganalisis,” papar Ivan.
Keamanan data genomik penting agar pemerintah bisa meyakinkan masyarakat bahwa data genomik mereka tidak disalahgunakan dan merugikan negara.
Keterbatasan ahli ini juga bisa mengancam ke keamanan data genomik manusia Indonesia. Pengumpulan genomik manusia Indonesia atau Biomedical Genome Science Initiative (BGSI) yang tengah digarap Kementerian Kesehatan saat ini pun masih melibatkan pihak luar negeri, seperti bantuan dana dari Global Fund, Panin Bank, dan East Venture, serta bekerja sama dengan sejumlah institusi, termasuk Ilumina dan Institut Genom Beijing, China.
Keamanan ini penting agar pemerintah bisa meyakinkan masyarakat bahwa data genomik mereka tidak disalahgunakan dan merugikan negara. Target proyek ini adalah mengumpulkan 10.000 genom Indonesia dari tahun 2022 hingga 2024.
Direktur Bisnis dan Pemasaran Prodia Indriyanti Rafi Sukmawati menjamin semua data genomik dari pasien mereka tidak akan disalahgunakan. Sebab, datanya digunakan oleh pasien sendiri untuk meningkatkan kualitas kesehatannya masing-masing. Tenaga ahli yang mereka punya juga 100 persen dilakukan oleh orang Indonesia.
”Kami mengerjakan dan menyimpan di Indonesia, serta dikerjakan oleh orang Indonesia, jadi data itu tidak akan keluar. Kita punya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan Undang-Undang Kesehatan yang menjamin keamanan itu,” tutur Indriyanti.
Sejak 2018, Prodia melalui layanan Prodia Genomics sudah melayani pemeriksaan CArisk yang membantu seseorang mengetahui risiko terhadap 13 jenis kanker. Prodia juga terus mengembangkan layanan genomik untuk mengetahui risiko penyakit lainnya, seperti diabetes, hipertensi, jantung, autoimun, tulang, otot dan sendi, kulit dan rambut, serta pola hidup yang cocok berdasarkan profil genomik.