Siap Menang dan Siap Kalah dalam Pemilu
Menang dan kalah adalah adat pertandingan. Meski semua orang ingin menang, banyak orang tidak siap kalah dalam pemilu.
Menang dan kalah adalah adat pertandingan, termasuk pemilu. Mereka yang kalah perlu legawa dan yang menang harus merangkul semuanya. Bagaimanapun, pemilu hanyalah proses untuk mencapai tujuan bangsa yang lebih besar. Karena itu, tak perlu menyikapi hasil pemilu dengan emosional, apalagi sampai memicu perpecahan di masyarakat.
Hari ini, Rabu (14/2/2024), sebanyak 204,8 juta pemilih akan menggunakan hak pilihnya. Mereka akan memilih calon presiden-wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah, serta DPR Daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tidak semua calon bakal menang, sehingga semua pihak perlu bijak menyikapi hasil pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Saat tahapan pemilu dimulai, Komisi Pemilihan Umum selalu menggelar deklarasi “Siap Menang, Siap Kalah”. Nyatanya tidak semua orang, baik yang menjadi peserta maupun pendukungnya, siap menghadapi hasil pemilu. Semua orang tentu ingin menang, tetapi tidak semua orang siap dan sanggup menerima kekalahan.
“Wajar jika setiap orang ingin menang, mendapatkan yang mereka maui karena semua orang, tentu memiliki keinginan dan harapan,” kata Wakil Ketua I Himpunan Psikologi Indonesia DKI Jakarta yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Tri Iswardani di Jakarta, Sabtu (10/2/2024).
Semua orang juga memiliki ego yang membuat mereka selalu berharap keinginannya terpenuhi atau terwujud. Ditambah dengan harga diri yang membuat seseorang tidak ingin terlihat lemah dan dianggap bernilai dalam lingkungannya, membuat keinginan untuk menang itu seringkali berusaha dilaksanakan dengan cara apapun.
Namun, manusia itu pada dasarnya lemah. Manusia seringkali merasa mampu mengatur segala hal dalam hidupnya, merasa bisa mengendalikan apapun yang ada di sekitarnya. Padahal sejatinya manusia hanya bisa berusaha keras untuk bisa mewujudkan keinginannya dan mereka tidak bisa memastikan 100 persen hasilnya.
Manusia juga cenderung memercayai bahwa pikiran atau pendapatnya adalah yang paling benar. Akibatnya, saat hasil tidak sesuai harapan, ketika ekspektasi tidak terealisasi, seringkali memunculkan stres, kepanikan, hingga putus asa. Ekspektasi itu akhirnya mengungkung pikiran dan perasaan manusia hingga membuat mereka merasa tidak berdaya.
Peneliti psikologi positif dan pendidikan yang juga Ketua Program Studi Psikologi Program Sarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Hazhira Qudsyi, Senin (12/2/2024) mengatakan semua orang boleh memiliki ekspektasi. Namun, semua orang harus belajar mengelolanya agar menghasilkan keseimbangan antara harapan dan logika.
Roda hidup membuat semua orang memiliki peluang untuk menang dan kalah dalam semua hal. Tidak ada orang yang bisa menang segalanya atau kalah selamanya. Karena itu, setiap orang perlu memiliki kesadaran bahwa apapun yang mereka perjuangkan sama-sama mempunyai potensi untuk berhasil atau gagal.
“Kesadaran ini akan membuat manusia tetap bisa berharap sambil berusaha melakukan yang terbaik, sekaligus menyiapkan diri menghadapi hal terburuk yang bisa saja terjadi,” tambahnya.
Baca juga: Memilih Presiden Ideal
Ekspresi
Saat hasil pemilu nanti diumumkan, lumrah jika mereka yang menang akan merasa senang dan puas karena apa yang diusahakannya memberikan hasil sesuai dengan yang diinginkan. Perasaan menang itu akan menjadi tidak wajar jika diekspresikan berlebihan sehingga berpotensi merusak atau mengganggu diri sendiri dan orang lain, seperti menghina, merendahkan, merisak yang kalah, atau pesta pora tiada berkesudahan.
Sebaliknya, sedih, kecewa, kesal, dan marah juga menjadi ekspresi normal bagi mereka yang mengalami kekalahan atau kegagalan. Ketidakpuasan tentu ada saat menghadapi kenyataan yang tidak sesuai harapan. Agar kekecewaan ini tidak berlarut-larut, penting bagi setiap orang untuk bisa mengendalikan pikiran dan emosi mereka.
“Dengan mengelola ekspektasi, maka kita sedang belajar mengendalikan pikiran kita,” ujar Hazhira.
Manusia hanya bisa mengendalikan apa yang ada dalam pikiran dan tindakannya. Semua hal yang berasal dari luar diri mereka adalah hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Semakin manusia mencoba mengendalikan apa yang ada di luar diri itu, termasuk mengontrol pilihan seseorang atau hasil pemilu, maka semakin besar pula risiko mereka mengalami frustasi dan sakit hati.
Penting untuk memiliki pola pikir yang berorientasi pada proses atau usaha, bukan terfokus pada hasil. Orang dengan pola pemikiran seperti ini lebih bisa menerima kegagalan, berpotensi lebih rendah untuk terpuruk, serta lebih mampu mengendalikan ekspektasinya.
Meski tidak bisa mengelola apa yang ada di luar diri mereka, tetapi manusia bisa mengendalikan penilaiannya atas semua hal yang diluar kendali mereka. Meski kenyataannya kalah, mereka bisa memandang kekalahan itu secara positif yang memberdayakan dirinya.
Selain itu, penting untuk memiliki pola pikir yang berorientasi pada proses atau usaha, bukan terfokus pada hasil. Orang dengan pola pemikiran seperti ini lebih bisa menerima kegagalan, berpotensi lebih rendah untuk terpuruk, serta lebih mampu mengendalikan ekspektasinya.
Tri berharap, pemenang pemilu nantinya tidak mentang-mentang, tidak merasa paling hebat, apalagi sampai merendahkan yang kalah. Kemenangan atau kekalahan yang mereka hadapi tidak sepenuhnya berasal dari usaha mereka karena ada faktor-faktor lain dalam hidup yang tidak bisa mereka kendalikan.
“Mereka yang menang seharusnya bisa merangkul yang kalah termasuk pendukungnya. Sementara mereka yang kalah perlu mendukung yang menang. Toh tujuan mereka yang menang atau kalah nya sama,” tambahnya.
Mengakui kekalahan
Meski demikian, menerima kekalahan itu bukan perkara mudah. Namun, demi kesehatan mental dan keberlanjutan hidup, maka kita harus siap menghadapi kenyataan. Agar bisa menghadapi kekalahan dengan tegar, penting untuk bisa mengakui kekalahan itu. Kesadaran ini justru akan menghindarkan kita dari emosi-emosi yang tidak memberdayakan.
Namun, mengakui kesalahan itu akan lebih sulit jika kita merasa ada kecurangan dalam proses pemilu yang berlangsung. Perasaan dicurangi ini perlu disampaikan dengan cara-cara yang benar dan telah disepakati undang-undang, melalui lembaga resmi yang dibentuk negara, serta dengan cara-cara yang santun. Jangan lupa siapkan bukti-bukti pendukung yang kuat, bukan sekedar opini atau ujaran orang lain semata.
“Jangan lupa lihat kiri-kanan, cek dan ricek dengan segala prasangka yang dimiliki. Jangan-jangan apa yang dianggap curang itu sejatinya hanya persepsi kita,” kata Tri.
Setiap orang pasti tidak suka dicurangi. Namun perasaan itu jangan sampai membuat kita tidak sadar dengan kondisi diri dan sekitar sehingga dimanfaatkan atau dimanipulasi orang lain demi kepentingan mereka.
Penyangkalan hasil pemilu, tidak terima dengan kenyataan dengan alasan apapun, sejatinya juga tidak memberi keuntungan apapun bagi kita. Penyangkalan hanya membuat emosi dan tenaga terbuang sia-sia. Ketidakmampuan menghadapi kenyataan juga hanya membuat kita hidup dalam imaji dan sulit bergerak maju.
Setelah mengakui kekalahan, lanjut Hazhira, tidak ada salahnya memberi selamat kepada lawan atau kompetitor yang mengalahkan kita. Tindakan ini memang berat, tetapi cara ini menjadi langkah penting yang membantu kita mengakui kekalahan secara lebih tulus sekaligus membantu kita menyadari kenyataan yang terjadi dan membuat kita tidak terjebak dalam angan-angan semu.
Selanjutnya, kita bisa mengambil hikmah atau melihat sisi positif dari kekalahan kita. Meski gagal, pasti banyak hal positif bisa dipetik dari peristiwa itu. Bisa jadi, kekalahan itu hanyalah keberhasilan yang tertunda, penyelamat dari musibah di masa depan yang tidak disangka, atau menjadi pelajaran hidup berharga untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi diri.
Hal lain yang tak kalah penting adalah menghadiahi diri sendiri meskipun gagal. Usaha dan kerja keras yang telah kita lakukan patut dihargai dengan cara apapun sepanjang tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Hadiah untuk diri itu, tambah Hazhira, bisa saja dilakukan dengan sederhana, melalui kalimat-kalimat afirmasi yang menghargai usaha kita, keberanian kita mengalahkan rasa takut, hingga menantang kemampuan sendiri.
Baca juga: ”Kompas” Sajikan Laporan Langsung Proses dan Hasil Hitung Cepat Pemilu 2024
Menata hidup kembali
Ketidakmampuan kita mengakui kekalahan sama saja dengan memaparkan kita pada berbagai masalah emosi dan gangguan psikologis. Ketidaksanggupan menghadapi kekalahan akan membuat kita mudah marah, sensitif, bahkan rendah diri. Stres yang berlarut-larut akan memicu depresi dan berbagai gangguan mental emosional lain.
Meski demikian, Tri mengatakan bahwa gangguan mental yang dialami sebagian calon anggota legislatif (caleg) maupun pendukungnya, sejatinya bukanlah disebabkan oleh pemilunya. Sejak semula, mereka umumnya telah memiliki kondisi psikologis tertentu yang membuatnya tidak bisa tahan dengan stres atau tekanan yang besar.
Stres yang mereka alami umumnya disebabkan mereka harus menanggung kerugian besar atau menghadapi masalah lebih rumit akibat kegagalannya berkompetisi dalam pemilu. Banyak caleg harus menjual aset mereka habis-habisan atau berhutang ke berbagai pihak demi menang pemilu. Hilangnya sumber daya itu menimbulkan banyak dampak lanjutan yang tak kalah pelik, termasuk konflik dalam rumah tangga dan keluarga.
Jika kita sudah bisa mengakui kekalahan, maka tahap berikutnya yang harus dilakukan adalah menata kembali hidup. Bagi yang menang akan mendapat tugas dan tanggung jawab baru, sedangkan yang kalah bisa kembali fokus mencapai tujuan dan cita-cita hidup lainnya yang tertunda.
“Mereka yang menang harus siap menjadi pemimpin seluruh rakyat, termasuk rakyat yang tidak memilih atau mendukung mereka pada pemilu,” kata Tri. Sedangkan yang kalah perlu memberi dukungan untuk yang menang dan kesediaan bekerja sama dengan yang menang.
Kerukunan dan persatuan bangsa harus selalu diutamakan. Karena itu, pemimpin baik dari kelompok yang menang atau kalah, harus mampu membangun perdamaian di tengah masyarakat, bukan malah membuat retorika yang memecah pelah bangsa. Apapun posisinya, semua orang tetap memiliki peran dan bisa berkontribusi aktif dalam membangun negara.