Perbandingan Jejak Emisi Para Calon Presiden Selama Kampanye
Selama masa kampanye, tiga pasangan calon presiden meninggalkan jejak emisi sangat besar karena penerbangan privat.
Selama masa kampanye, para calon presiden dan wakilnya berkeliling negeri menemui warga dan menabur janji, termasuk keseriusan memerangi krisis iklim. Namun, mereka meninggalkan jejak panjang emisi karbon dioksida karena mayoritas perjalanan memakai penerbangan privat dan data menunjukkan, pasangan capres dan cawapres nomor 2 menyumbang emisi terbesar.
Para peneliti Trend Asia, lembaga sipil terkait isu lingkungan, telah memantau ketiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden untuk melihat dampak aktivitas selama kampanye terhadap lingkungan. Mereka fokus menghitung emisi karbon dioksida (CO2) dari penerbangan yang digunakan tiap paslon, terutama yang memakai pesawat jet pribadi atau penerbangan privat, helikopter, dan pesawat komersial sewaan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Metode pemantauan data penerbangan ini dilakukan dengan mencocokkan jadwal dan lokasi kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2024 dari masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (paslon) dengan bandara ataupun lapangan terdekat untuk melihat kedatangan dan keberangkatan pesawat tersebut.
Baca juga: Emisi Karbon 1 Persen Orang Terkaya Setara Dua Pertiga Penduduk Termiskin di Dunia
Pemantauan dilakukan sejak kampanye dimulai pada 28 November 2023 sampai 4 Februari 2024 atau selama 69 hari kampanye, sekitar 92 persen hari kampanye. Jumlah perjalanan udara yang dianalisis sebanyak 235 kali dengan berbagai tipe pesawat dengan total jarak tempuh 174.108,37 kilometer (km). Semuanya merupakan penerbangan domestik.
”Tidak semua perjalanan dapat dianalisis karena keterbatasan data penerbangan dan adanya upaya menyembunyikan data pesawat yang digunakan di domain publik. Kami menduga data penerbangan tersebut lebih banyak dari data yang tersaji untuk publik,” kata Zakki Amali, Manajer Riset Trend Asia.
Zakki mengingatkan, data yang berhasil dikumpulkan dan dianalisis ini hanyalah puncak gunung es emisi penerbangan kandidat.
Puncak gunung es emisi itu pun ternyata sangat besar. Analisis Trend Asia menemukan, dalam kurun waktu 92 persen hari kampanye, jejak emisi CO2 yang ditinggalkan ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden ini mencapai 1.276.342 kilogram (kg) dari pemakaian penerbangan. Sebagian besar penerbangan ini didominasi menggunakan jet privat.
Tidak semua perjalanan dapat dianalisis karena keterbatasan data penerbangan dan adanya upaya menyembunyikan data pesawat yang digunakan di domain publik. Kami menduga data penerbangan tersebut lebih banyak dari data yang tersaji untuk publik.
Jumlah total estimasi emisi CO2 penerbangan tiga paslon selama kampanye ini setara dengan emisi penerbangan yang dihasilkan 37.539 orang di Indonesia atau lebih banyak dari emisi penerbangan yang dihasilkan seluruh penduduk Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, dengan asumsi emisi penerbangan per kapita di Indonesia sebanyak 34 kg.
Paslon 2 tertinggi
Menurut temuan Trend Asia, paslon 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, terpantau melakukan 65 kali penerbangan selama kampanye dengan sejumlah tipe pesawat dan total jarak tempuh 55.202,56 kilometer (km). Dengan menganalisis pemakaian bahan bakar sesuai tipe pesawat, bahan bakar jet yang dihabiskan mencapai 132.731 kilogram (kg) dengan emisi karbon 418.103 kg.
Paslon 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, terpantau melakukan 63 penerbangan dengan jarak tempuh 42.733,05 km. Bahan bakar yang dihabiskan diperkirakan 142.404 kg dan emisi karbon sebesar 448.573. Jumlah bahan bakar dan emisi merupakan paling besar dibandingkan dua paslon lain.
Baca juga: Emisi Energi Fosil dan Deforestasi Indonesia 10 Besar Terburuk di Dunia
Sementara itu, paslon 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, melakukan 107 penerbangan dengan jarak tempuh 76.172,76 km. Adapun bahan bakar yang pakai 130.053 kg dan emisi karbon sebesar 409.667.
Zaki mengatakan, tingginya emisi paslon 2, sekalipun jarak tempuhnya paling pendek karena pilihan jenis pesawat. ”Terutama karena mereka banyak menggunakan pesawat tipe Boeing 737, yang besar kapasitas dan emisinya," kata dia. Pesawat tipe ini bisa menampung ratusan penumpang.
Sebaliknya, paslon 3, sekalipun jarak tempuh perjalanan paling jauh, bahan bakar yang dihabiskan paling sedikit karena jenis pesawat yang kerap dipakai relatif lebih kecil, yaitu Hawker H25B yang memiliki kapasitas delapan kursi penumpang. Sementara paslon 1, lebih sering menggunakan Bombardier GLEX dengan kapasitas 19 kursi penumpang.
Ketimpangan dari penerbangan privat
Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry mengatakan, dari analisis yang dilakukan timnya, terlihat jejak karbon dari tiga paslon dalam pemakaian pesawat amat tinggi sehingga jelas berkontribusi memperparah pemanasan global. ”Apalagi pemakaian private jet jelas menunjukkan gaya hidup mahal dan mewah para paslon, sementara rakyat menghadapi kesusahan,” ujarnya.
Menurut Ahmad Ashov, seharusnya para paslon ini bisa memakai pesawat komersial atau moda alternatif lain yang mungkin dan lebih rendah emisi untuk mengurangi jejak karbon selama kampanye sekaligus untuk menunjukkan komitmen serta arah transisi energi ke depan.
Menurut Zakki, besarnya emisi yang dikeluarkan para paslon ini juga menunjukkan ada ketimpangan besar. ”Perjalanan semua paslon ini menghasilkan CO2 setara dengan emisi penerbangan domestik warga satu kabupaten di Papua. Ini sebuah ironi. Para paslon membicarakan masa depan Indonesia di atas private jet, sehingga mereka berjarak dari penderitaan rakyat. Masa depan Indonesia dibicarakan di atas kemewahan yang jauh dari situasi sehari-hari rakyat,” tambah Zakki.
Emisi penerbangan sipil merupakan salah satu sumber utama emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi, khususnya penggunaan jet privat. Laporan International Energy Agency (IEA) tahun 2022 menyebut penerbangan berkontribusi dua persen pada emisi CO2 secara global, di mana jumlah emisi yang dihasilkan dari penerbangan privat lebih tinggi dibandingkan penerbangan komersial.
Hasil studi Transport & Environment (2021) mencatat, polusi per penumpang yang ditimbulkan oleh penerbangan privat lebih banyak 5-14 kali dari penerbangan komersial. Moda penerbangan privat juga 50 kali lebih berpolusi dibanding moda transportasi kereta.
Penerbangan privat memiliki daya rusak lebih besar dibandingkan moda transportasi lain. Ia lebih berpolusi karena emisi penerbangan dihitung berdasarkan jumlah penumpang, makin sedikit jumlah penumpang, maka jejak karbon per individu kian tinggi.
Data ini menunjukkan seharusnya penanganan emisi sektor transportasi seperti penerbangan privat jadi perhatian para kandidat sebagai langkah untuk menekan GRK.
Alasan kepraktisan untuk mengejar jadwal ketat mungkin jadi pertimbangan paslon memilih penerbangan privat. Namun, jika mereka memiliki kesungguhan terkait penurunan emisi, jejak emisi sebenarnya juga bisa dikurangi dengan pemilihan jenis pesawat atau bahkan jika mau menggunakan penerbangan komersial.
Temuan dari Trend Asia ini telah menunjukkan ketimpangan emisi, yang dipertontonkan para calon pemimpin bangsa ini. World Inequality Database (WID) mengungkapkan bahwa pada 2019 terdapat 10 persen populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 11,1 ton karbon dioksida ekuivalen per kapita CO2e dari seluruh sektor.
Pada tahun yang sama, 1 persen populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 38,7 ton CO2e dari seluruh sektor. Sementara itu, dalam periode sama, per kapita di Indonesia menghasilkan 3,3 ton CO2e.
Data jelas menunjukkan emisi dari 10 persen orang terkaya Indonesia 3 kali lipat dari rata-rata emisi nasional dan 1 persen orang terkaya mengeluarkan emisi setara emisi dari 12 individu umum. Jejak karbon dua kelompok ini menunjukkan ketimpangan emisi.
”Data ini menyoroti ketimpangan yang signifikan dalam emisi gas rumah kaca antara kelompok terkaya dan populasi umum di Indonesia. Kelompok-kelompok terkaya memiliki jejak karbon per kapita yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata nasional,” kata Zakki.
Baca juga: Puasa Emisi untuk Bumi
Upaya untuk mengatasi perubahan iklim jelas tak bisa diatasi jika ketimpangan terus terjadi dan para pasangan calon ini seharusnya memberikan contoh, bukan sekadar janji manis. Bagi kalangan kaya, mengurangi emisi adalah soal pilihan gaya hidup. Namun, bagi kalangan miskin, hal ini kadang terkait dengan hidup atau mati.
Selama ini penggunaan jet pribadi telah banyak dikritik para ilmuwan dan aktivis iklim, sebagai gaya hidup para elit yang melecehkan upaya penurunan emisi global. Hal itu karena perjalanan dengan jet pribadi merupakan moda transportasi yang paling menimbulkan polusi, karena menghabiskan banyak bahan bakar, tetapi membawa sedikit penumpang.
Kajian Carole Roberts, peneliti jejak karbon pada transportasi dari University College London, dalam laporannya di The Conversation pada 1 Desember 2023 lalu telah menganalisis banyaknya jejak karbon yang ditimbulkan oleh para delegasi yang datang ke Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Dubai, Uni Emirat Arab, menggunakan jet pribadi.
Menurut dia, untuk perjalanan dari London, Inggris, ke Dubai, jika dengan jet pribadi 11 kali lebih berpolusi dibandingkan pesawat komersial, 35 kali lebih banyak dibandingkan kereta api, dan 52 kali lebih banyak dibandingkan perjalanan dengan bus, bahkan setelah memperhitungkan penerbangan dari Istanbul, Turki.
Ekonom Perancis, Thomas Piketty, dalam wawancaranya di The Guardian, pada 22 November 2023, berpendapat, penggunaan jet pribadi merupakan contoh ketidaksetaraan kelas dan harus diatasi jika kita ingin memitigasi perubahan iklim. Dia menyarankan adanya larangan barang dan jasa yang memiliki emisi gas rumah kaca yang sangat tinggi, seperti jet pribadi.
Selain jejak emisinya tinggi, penggunaan jet pribadi, yang biasanya oleh elite, juga menjadi preseden buruk bagi upaya menurunkan emisi. Menurut Piketty, kita tidak akan bisa mengajak mayoritas orang mendukung upaya penurunan emisi tanpa mengatasi ketimpangan kelas yang dipertontonkan secara vulgar melalui penggunaan pesawat jet pribadi ini.