Bumi Lebih Panas 1,5 Derajat Celsius dalam 12 Bulan Berturut-turut
Selama 12 bulan berturut-turut, Bumi mengalami suhu lebih panas 1,5 derajat celsius dibandingkan era praindustri.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama 12 bulan berturut-turut, Bumi telah mengalami suhu lebih panas 1,5 derajat celsius dibandingkan era praindustri 1850-1900. Kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam catatan sejarah ini menjadi peringatan bagi umat manusia untuk segera mengambil langkah mengurangi emisi karbon.
Rekor suhu global selama setahun ini dilaporkan layanan Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa pada Kamis (8/2/2024). Menurut pencatatan mereka, pada Februari 2023 hingga Januari 2024 terjadi pemanasan rata-rata 1,52 derajat celsius di atas standar abad ke-19.
Menurut data Copernicus, bulan lalu adalah bulan Januari terpanas yang pernah tercatat, menjadikannya sebagai bulan kedelapan berturut-turut dengan suhu bulanan tertinggi dalam sejarah. Rata-rata suhu udara permukaan 13,14 derajat celsius, mencapai 0,7 derajat celsius di atas rata-rata bulan Januari pada 1991-2020, dan 0,12 derajat celsius di atas suhu terpanas bulan Januari yang terekam pada 2020. Suhu Januari 2024 mencapai 1,66 derajat celsius lebih hangat dibandingkan perkiraan rata-rata bulan Januari pada 1850-1900.
”Tahun 2024 dimulai dengan bulan yang memecahkan rekor lainnya, bukan hanya ini merupakan bulan Januari terpanas yang pernah tercatat, tetapi kita juga baru saja mengalami periode 12 bulan dengan suhu lebih dari 1,5 celsius di atas periode referensi praindustri,” kata Deputi Direktur C3S Samantha Burgess dalam siaran pers.
Fenomena El Nino yang masih berlangsung hingga saat ini dinilai berkontribusi terhadap rekor kenaikan suhu. Hal ini juga menjadikan kondisi saat ini kemungkinan terpanas dalam 100.000 tahun terakhir.
Data Copernicus menunjukkan, suhu pada Januari 2024 jauh di atas rata-rata terekam di Afrika barat laut, Timur Tengah dan Asia Tengah, serta Kanada bagian timur dan Eropa selatan. Namun, suhu berada di bawah rata-rata terjadi di beberapa bagian Eropa utara, Kanada bagian barat, dan wilayah tengah Amerika Serikat.
Meskipun sebagian dunia mengalami Januari 2024 dengan curah hujan yang luar biasa tinggi, sebagian besar wilayah Amerika Utara, Tanduk Afrika, dan Semenanjung Arab mengalami kondisi lebih kering. Di Chile, yang dilanda gelombang panas dan kekeringan musim panas parah, kondisi kering telah membantu memicu kebakaran hutan.
Kondisi tersebut terus berlanjut hingga Februari, dengan kebakaran mulai Jumat (2/2/2024) yang melanda lingkungan di wilayah pesisir Valparaiso selama akhir pekan yang menyebabkan lebih dari 130 orang tewas. ”Suhu kita mencapai 1,5 derajat celsius dan kita telah melihat dampaknya, dampak sosial dan dampak ekonominya,” kata Johan Rockstrom, dari Potsdam Institute for Climate Impact Research, kepada AFP.
Menurut Rockstrom, kenaikan suhu 1,5 derajat celsius adalah angka yang sangat besar dan sangat merugikan dalam hal gelombang panas, kekeringan, banjir, badai yang semakin parah, hingga kelangkaan air di seluruh dunia. ”Itulah yang telah ditunjukkan tahun 2023 kepada kita,” katanya.
Beberapa bulan terakhir telah terjadi serangan ekstrem di seluruh dunia. Beberapa kejadian itu berupa kekeringan dahsyat yang melanda lembah Amazon, suhu musim dingin yang terik di beberapa bagian Eropa selatan, kebakaran hutan yang mematikan di Amerika Selatan, dan rekor curah hujan di California.
Sebelumnya, Persetujuan Paris (Paris Agreement) telah mengamanatkan agar kita mencegah kenaikan suhu melebihi ambang batas 1,5 derajat celsius untuk menghindari dampak kehancuran akibat krisis iklim menjadi sulit ditahan. Sekalipun kenaikan suhu saat ini belum bisa dipastikan bersifat jangka panjang, konsistensi suhu selama 12 bulan terakhir yang sudah melebihi ambang ini menjadi alarm bahaya.
”Ini jelas merupakan peringatan bagi umat manusia bahwa kita bergerak lebih cepat dari yang diperkirakan menuju batas 1,5 derajat celsius yang telah kita sepakati,” kata Rockstrom.
Lautan yang lebih panas berarti lebih banyak kelembaban di atmosfer yang menyebabkan cuaca semakin tidak menentu.
Menurut dia, suhu kemungkinan akan turun kembali setelah El Nino berakhir. Saat ini, El Nino, yang menghangatkan permukaan laut di Pasifik selatan sehingga menyebabkan cuaca lebih panas secara global, telah mulai melemah di Pasifik khatulistiwa. Namun, suhu permukaan laut terus memecahkan rekor.
Rockstrom mengatakan, ”Tahun 2023 adalah tahun di mana dinamika lautan menjadi sangat kacau, hal ini di luar perkiraan.”
Laut menutupi 70 persen Bumi dan menjaga permukaan Bumi tetap layak huni dengan menyerap 90 persen kelebihan panas yang dihasilkan oleh polusi karbon dari aktivitas manusia sejak awal era industri. Lautan yang lebih panas berarti lebih banyak kelembaban di atmosfer yang menyebabkan cuaca semakin tidak menentu, seperti angin kencang dan hujan lebat.
Emisi terus meningkat
Kenaikan suhu ini merupakan konsekuensi dari emisi yang menyebabkan pemanasan global, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil, terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, para ilmuwan mengatakan bahwa emisi karbon global seharusnya turun hampir setengahnya pada dekade ini.
Menurut data Climate Action Tracker (CAT), pada Desember 2023, masih terdapat kesenjangan besar tingkat emisi pada tahun 2030 yang diproyeksikan dalam komitmen penurunan emisi nasional (NDC), yang berisi target penurunan emisi gas rumah kaca, dengan tingkat tindakan pemerintah saat ini, dan tingkat yang lebih rendah sesuai dengan batas suhu Persetujuan Paris.
Menurut CAT, tolok ukur emisi dari jalur yang kompatibel dengan 1,5 derajat celsius sebesar 27 GtCO2e pada 2030. Melihat kondisi saat ini, kesenjangan emisi dan NDC 2030 mencapai 19-22 GtCO2e dan 24-27 GtCO2e pada 2030 untuk kebijakan dan tindakan saat ini. Kecuali emisi global segera diturunkan ke angka nol, dunia akan segera melampaui batas keselamatan yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris secara permanen.