logo Kompas.id
HumanioraMemperebutkan Gen Z dan...
Iklan

Memperebutkan Gen Z dan Milenial

Generasi Z dan kaum milenial, pemilik suara terbanyak dalam pemilu, menjadi kelompok rentan disinformasi.

Oleh
AHMAD ARIF
· 4 menit baca
Tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bergandengan tangan di panggung pada sesi akhir Debat Putaran Ke-5 Calon Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (4/2/2023). Debat capres putaran kelima ini bertema seputar kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bergandengan tangan di panggung pada sesi akhir Debat Putaran Ke-5 Calon Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (4/2/2023). Debat capres putaran kelima ini bertema seputar kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi.

Disinformasi telah menimbulkan ancaman besar terhadap demokrasi karena bisa menghambat kemampuan warga negara untuk membuat keputusan yang tepat. Generasi Z dan kaum milenial, pemilik suara terbanyak dalam pemilu kali ini, menjadi kelompok paling rentan disesatkan informasi dan gambaran keliru.

Pemilu 2024 kali ini merupakan momen anak muda. Dari sekitar 204,8 juta daftar pemilih tetap, lebih dari 116,5 juta atau 56 persen merupakan generasi Z dan kaum milenial. Generasi Z, yang lahir tahun 1995 hingga 2000-an, memiliki hak pilih sebesar 22,8 persen. Sementara suara kelompok milenial, yang lahir pada 1980 hingga 1994, sebesar 33,6 persen.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Dengan proporsi ini, para pemilih muda ini bakal sangat menentukan hasil pemilu. Posisi strategis anak muda ini membuat para kontestan melakukan berbagai cara untuk memperebutkan suara mereka.

Media sosial, yang identik dengan dunia anak muda, menjadi medan perang para kandidat. Jika bicara kontestasi presiden, semua kandidat memiliki akun media sosial dan selama bulan-bulan terakhir ini mayoritas sangat aktif.

Platform berbasis audiovisual, seperti Tiktok yang sangat populer di kalangan muda, dibanjiri gambar dan video kontestan, terutama pasangan capres-cawapres nomor urut 2, yang menampilkan diri sebagai sosok gemoy dan suka berjoget, seolah meniru gaya anak muda di platform ini. Belakangan, pasangan capres-cawapres nomor urut 1 dan 3 rajin tampil live di platform ini, menjadikan Tiktok sebagai medan pertempuran utama, menggeser dominasi platform X. Sementara itu, Facebook yang penggunanya menua sepertinya tidak lagi banyak dimanfaatkan oleh para kandidat dan timnya untuk berkampanye, berbeda dengan dua pemilu sebelumnya.

Para kontestan ini sepertinya menyadari bahwa anak-anak muda ini cenderung enggan membicarakan isu-isu politik secara serius, bahkan cenderung apatis.

Tak hanya membicarakan politik, di platform Tiktok, paslon presiden-wapres nomor urut 2 juga mendiskusikan persoalan sehari-hari, mulai dari soal kucingnya hingga percintaan. Intinya, para pasangan ini berupaya dengan segala cara untuk merebut suara anak-anak muda, yang dianggap memiliki kecenderungan mudah berubah, tergantung informasi yang ramai diperbincangkan.

Para kontestan ini sepertinya menyadari bahwa anak-anak muda ini cenderung enggan membicarakan isu-isu politik secara serius, bahkan cenderung apatis. Ini juga bisa tergambarkan dari kecenderungan mereka mengakses konten hiburan, seperti film, musik, komedi, olahraga, dan gaya hidup, dibandingkan dengan konten-konten politik. Dalam preferensi politik, anak-anak muda ini juga cenderung berfokus pada gaya dan kepribadian calon daripada substansi kebijakan.

Iklan

Di tegah kondisi ini, gaya kampanye salah satu calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, dengan menggelar dialog langsung bersama anak muda ”Desak Anies”, yang kemudian juga diikuti oleh calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, dengan ”Tabrak Prof”, telah memberi angin segar. Anak-anak muda yang selama ini seolah-olah jauh dari isu-isu politik menjadi tampil di depan.

Sisi positif lain, banyak informasi yang beredar di media sosial merupakan tema-tema serius. Kontestasi politik ini telah membuat anak-anak muda terpapar masalah transisi energi, food estate, hilirisasi, hingga persoalan stunting (tengkes). Masalahnya, isu-isu kerap dijejalkan secara sepotong-sepotong, dan kerapkali dibubuhi narasi dari tim pendengung paslon, yang kerapkali bias, bahkan menyesatkan.

Baca juga: Persona Politik Pemilih Muda

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi memberikan paparan dalam seminar bertajuk ”Potensi Penyebaran Misinformasi dalam Pemilu 2024” di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
KOMPAS/IQBAL BASYARI

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi memberikan paparan dalam seminar bertajuk ”Potensi Penyebaran Misinformasi dalam Pemilu 2024” di Jakarta, Rabu (12/7/2023).

Bicara risiko misinformasi, kaum milenial dan generasi Z ternyata merupakan kelompok paling rentan. Studi psikolog Univeristy of Cambridge di jurnal Behavior Research Methods pada Juni 2023 menyimpulkan, remaja dan anak muda lebih rentan tertipu informasi sesat dibandingkan dengan kelompok orang yang lebih tua. Semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang untuk berselancar di internet, semakin besar kemungkinan mereka terkecoh dengan informasi palsu itu.

Hasil survei di Amerika Serikat, yang melibatkan 8.000-an peserta ini, cenderung bertentangan dengan anggapan umum yang kerap menilai boomer yang lebih tua dan kurang paham digital lebih mungkin tertipu oleh berita palsu.

Namun, laporan studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Council of Canadian Academies pada 2023 lalu juga memperkuat hasil-hasil ini dan mencerminkan tren internasional: anak-anak muda yang banyak berselancar di dunia digital rentan terjerat misinformasi. Sekitar 40 persen responden survei ini menggunakan media sosial selama empat jam atau lebih per hari, dan 73 persen mengikuti setidaknya satu pesohor media sosial yang telah menyatakan pandangan antisains.

Sebagai gambaran dampaknya, pada tahun 2022 terdapat sekitar 3,9 juta orang berusia 18 hingga 24 tahun di Kanada. Jika hasil ini diekstrapolasi ke seluruh populasi di negara ini, berarti hampir 3 juta anak muda mengikuti pesohor yang memiliki pandangan antisains.

Dalam kontestasi politik saat ini, pesohor menjadi garda depan para politikus oportunis yang hendak memanfaatkan suara anak-anak muda yang cenderung labil dalam memilih. Padahal, sebagai kelompok pemilih mayoritas, pemilih muda memiliki potensi besar untuk memengaruhi hasil pemilihan umum.

Baca juga: Pemilih Muda, Penentu Masa Depan Pemilu 2024?

Kita berharap para pemilih muda bisa menentukan pilihan dengan cerdas sehingga tidak dimanfaatkan oleh politikus yang hanya mencari dukungan sementara untuk mendapatkan kekuasaan. Di tangan anak-anak muda ini, masa depan Indonesia ke depan bakal ditentukan.

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000