Pemilih Muda, Penentu Masa Depan Pemilu 2024?
Pemilu 2024 tidak bisa dilihat hanya dari partisipasi anak muda ”an sich”. Sebab, hal ini berkelindan dengan tanggung jawab semua pihak. Pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, terlebih penyelenggara pemilu.

Pemilih muda (generasi Z dan milenial) kerap kali menjadi fokus para pihak saban pemilu menjelang. Mungkin karena proporsi pemilih muda (berusia 17-39 tahun) diprediksi mendekati 60 persen (survei CSIS, 2022) dan berpotensi menjadi penentu kemenangan pada kontestasi politik di 2024. Bahkan, angka tersebut sering dihubung-hubungkan sebagai muasal masa depan demokrasi Indonesia akan membaik.
Tulisan ini melihat sejauh mana peran serta penyelenggara pemilu dalam konteks partisipasi pemilih muda. Lantas, apakah angka mayoritas tersebut bisa menunjukkan kemelekan politik pemilih muda.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masing-masing telah melaksanakan program yang nyaris sama. Program tersebut menyasar pemilih muda kebanyakan. KPU dengan program Relawan Demokrasi (Relasi) sejak 2014, sementara Bawaslu mengagas program Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) sejak 2018. Tujuannya demi meningkatkan partisipasi pemilih hingga memastikan peningkatan kualitas pemilu dalam hal mewujudkan demokrasi beritegritas dan substansial.
Baca Juga: Era Baru Pemilih Muda
Sayangnya, cita-cita luhur tersebut tidak didukung dengan kontinuitas dan konsistensi. Desain program tersebut sepertinya tidak dirancang dengan serius. Pembentukan Relasi masih bersifat momentum, hanya ketika menjelang pemilu atau pilkada. Sementara SKPP, sejak digagas hingga mencetak ribuan kadernya, belum juga menunjukkan pengaruh signifikan untuk mendorong kualitas dan kesadaran politik pemilih muda.
Di sisi lain, di era digitalisasi saat ini kerap kali ditemukan anak muda masih sangat terdampak dengan rutinitas yang beyond dari isu politik. GridGames (2021) menemukan bahwa sekitar 71 persen dari total populasi milenial suka bermain gim video dan 81 persen dari generasi Z adalah gamers.
Sementara itu, jika dikomparasikan, Center for Strategic and International Studies (CSIS) mencatat, pada 2022, anak muda yang gemar dalam aktivitas politik menggunakan sosial media untuk menyampaikan pendapatnya ada 17,7 persen. Kemudian hanya 6,0 persen yang menyuarakan secara langsung atau tatap muka.

Pendapat responden survei CSIS terkait karakter pemimpin yang diharapkan oleh pemilih muda berusia 17-39 tahun.
Selain jauh dari diskursus politik, problem partisipasi anak muda tidak berdiri tunggal. Banyak faktor yang mendorongnya. Mulai dari kinerja penyelenggara pemilu, regulasi pemilu, individu penyelenggara pemilu yang kurang kompeten, serta kerja-kerja pendidikan pemilih yang tidak berkelanjutan. Akibatnya, partisipasi publik kurang, bahkan terancam hilang.
Seturut dengan itu, teman-teman Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) menemukan 17 persen pemilih milenial menganggap bahwa kendala yang mereka alami pada Pemilu 2019 adalah kurangnya informasi yang diberikan oleh penyelenggara pemilu.
Ibarat obat, pendidikan pemilih sangat mujarab untuk memproteksi masalah laten elektoral. Misalnya masih marak politik uang (money politic), politisasi indentitas, dan politisasi SARA. Tanggung jawab untuk mendesiminasikan pendidikan pemilih tak boleh parsial. Pendidikan pemilih harus di-trigger oleh penyelenggara pemilu sebagai the guardian of democracy meskipun dalam pendidikan politik wajib dilakukan oleh partai politik (UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik).
Selain jauh dari diskursus politik, problem partisipasi anak muda tidak berdiri tunggal. Banyak faktor yang mendorongnya.
Setidaknya kerja-kerja luhur tersebut telah dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil. Salah satu yang menaruh perhatian pada isu tersebut ialah Jaringan Pendidikan Pemilih untuk rakyat (JPPR). M Afifuddin (baca: Mengawasi (Pilkada) Saat Pandemi, 2021) menyebut, pada 1999 tercatat ada 66 lembaga dalam negeri yang menjadi pemantau pemilu. Pada Pemilu 2004, jumlah menurun menjadi 30 lembaga dan menyusut lagi pada Pemilu 2009 menjadi 24 lembaga.
Bukan hanya lembaga pemantaunya yang berkurang, jumlah relawan dan aktivitas pemantaunya pun berkurang. Pada Pemilu 1999, tidak kurang dari puluhan ribu relawan pemantau pemilu yang tergabung dalam puluhan lembaga pemantau yang didanai oleh banyak negara dan lembaga donor ikut mengawasi jalannya penyelenggaraan pemilu.
Studi Surbakti dan Suprianto (2013) mencatat beberapa lembaga, seperti KIPP, Forum Rektor, UNFREL, APPI, JAMPII, KPP, KP3KD, dan 15 perwakilan negara yang tergabung dalam lembaga Observation Unit European Union, dan lembaga pemantau internasional, seperti NDI, The Carter Certer, Asia Network For Free Election (Anfrel) National Citizen Movement For Free Election (Namfrel), dan Internasional Republican Institute (IRI).

Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik menyerahkan sertifikat kepada perwakilan lembaga pemantau, lembaga survei, dan lembaga hitung cepat Pemilu 2014 di Gedung KPU, Jakarta, Sabtu (29/3/2014). KPU memberikan sertifikat kepada 19 lembaga pemantau pemilu dan 56 lembaga survei dan hitung cepat yang telah terdaftar dan terakreditasi oleh KPU.
Dalam hal pendekatan berbasis metode digitalisasi, JPPR sejak Pemilu 2014 sudah menggunakan teknologi informasi dan media sosial sebagai sarana pendidikan pemilih dan pemantauan pemilu. Facebook, Twitter, BBM, WA, Youtube menjadi beberapa peranti yang sangat banyak dimintai masyarakat untuk melakukan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari karena relevan dengan kondisi saat itu (baca: Bersama Masyarakat Memantau Pemilu, 2014).
JPPR juga terus mendorong partisipasi rakyat; terutama anak muda. JPPR menginisiasi beberapa program yang mendekatkan JPPR dengan pemilih muda. Mulai dari Halo Pemilih, Pendidikan Pemilih Pemula di Yogyakarta pada 22 Desember, Muda Bicara (saat ini sudah episode 5), Gerakan Zilenial Dukung Pemilu Damai (long march), Aksi Pemilu Damai (aksi menuju 1 tahun Pemilu 2024), diskusi media JPPR: Sumbang Suara Kaum Muda dalam Peran Menciptakan Pemilu 2024 Damai yang Bermartabat hingga ”Delakrasi Zilenial Dukung Pemilu Damai, Indonesia Bangkit Berdaya”.
Sebagai modalitasnya, JPPR saat ini memiliki koordinator daerah di level provinsi dan kabupaten/kota yang relatif segmentasi usianya masuk kategori milenial dan generasi Z. Dengan jejaring tersebut, mudah untuk memasifkan gerakan hingga ke tingkat bawah. Hal ini sebagai bukti atau indikator yang dapat dilihat sebagai dampak dari kerja-kerja JPPR. Sebab JPPR secara keanggotaan merupakan volunter dan merupakan salah satu lembaga yang nonpartisan.
Program pendidikan pemilih wajib dikolaborasikan dengan organisasi masyarakat sipil yang kredibel dan ahli dalam kerja-kerja dimaksud.
Mengacu pada apa yang dilakukan JPPR tersebut, untuk bisa lebih mengupayakan pendidikan pemilih dengan efektif, harus dilakukan beberapa hal. Pertama, adanya pembagian peran antara penyelenggara pemilu dan organisasi masyarakat sipil.
Program pendidikan pemilih wajib dikolaborasikan dengan organisasi masyarakat sipil yang kredibel dan ahli dalam kerja-kerja dimaksud. Hal ini dilakukan agar kemudian penyelenggara pemilu memiliki porsi lebih pada wilayah administrasif dan lebih efektif mendorong kepastian hukum pemilu.
Kedua, ada program khusus yang dirancang untuk alumnus SKPP. Alumnus SKPP disebar di beberapa non-goverment organization (NGO) kepemiluan di tingkat pusat untuk magang (bisa juga istilah lain). Setelah dianggap cukup secara pengetahuan dan pengalaman, alumnus tersebut bisa kembali ke daerah masing-masing dengan misi menata bangunan partisipasi masyarakat yang demokratik.
Baca Juga: Memperkuat Partisipasi Politik Anak Muda
Ketiga, untuk Relasi harus diprogramkan secara kontinu. Sebab, program Relasi adalah gerakan sosial yang dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih dalam menggunakan hak pilih. Relawan demokrasi menjadi mitra KPU dalam menjalankan agenda sosialisasi dan pendidikan pemilih berbasis kabupaten/kota (rumah pemilu). Dengan demikian, kita bisa mengukur tingkat keberhasilan dengan melihat dampak di lapangan secara konkret serta bisa menginventaris mana saja kelompok masyarakat terjaring dalam misi membangun demokrasi.
Terakhir, Pemilu 2024 tidak bisa hanya dilihat dari partisipasi anak muda an sich. Sebab, hal ini berkelindan dengan tanggung jawab semua pihak. Pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, terlebih penyelenggara pemilu (pemangku kepentingan pemilu).
Artinya, angka mayoritas pemilih muda belum tentu bisa menggaransi masa depan pemilu lebih demokratis. Sementara itu, secara bersamaan, masih banyak kebijakan yang kerap justru mengabaikan hak-hak dan aspirasi pemilih muda.
Guslan Batalipu, Anggota Sekretariat Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (Seknas JPPR)

Guslan Batalipu