Regulasi Kecerdasan Artifisial Menjadi Kebutuhan Fundamental
Regulasi teknologi AI menjadi kebutuhan dasar untuk memastikan pengembangannya berpegang pada etika dan keamanan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain mendatangkan kemudahan, pesatnya pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence juga membawa berbagai potensi ancaman, seperti bias, misinformasi, pelanggaran privasi, plagiarisme, serta otomatisasi yang bisa menggantikan beberapa sektor pekerjaan. Regulasi teknologi AI menjadi kebutuhan fundamental untuk memastikan pengembangannya berpegang pada etika dan keamanan.
Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dudi Hidayat mengatakan, membangun tata kelola dan regulasi etika menjadi tantangan pemanfaatan kecerdasan artifisial di Indonesia. Hal ini perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk membentuk regulasi yang menjadi solusi, bukan justru mengancam eksistensi AI.
Indonesia perlu mengakselerasi pembentukan regulasi tersebut di tengah semakin masifnya penggunaan teknologi AI di sejumlah sektor, seperti informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi, pendidikan, kesehatan, serta pertahanan. ”Kebutuhan regulasi etika itu fundamental untuk bisa memastikan AI yang dikembangkan sesuai dengan etika,” ujarnya dalam seminar ”Menuju Etika dan Regulasi AI di Indonesia” yang digelar di Jakarta, Senin (5/2/2024).
Saat ini Indonesia sudah memiliki strategi nasional kecerdasan artifisial. Hal ini mencakup beberapa tujuan, yaitu mewujudkan eksosistem kecerdasan artifisial yang kondusif, pemanfaatan kecerdasan artifisial dalam pengambilan keputusan yang kredibel, dan kecerdasan artifisial yang berorientasi pada manusia. Pemerintah juga sedang menyiapkan peraturan presiden mengenai hal itu.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Surat ini ditujukan kepada pelaku usaha aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial pada penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup publik dan privat. Penyelenggaraan teknologi AI memperhatikan etika yang meliputi inklusivitas, kemanusiaan, keamanan, aksesibilitas, transparansi, kredibilitas dan akuntabilitas, pelindungan data pribadi, pembangunan dan lingkungan berkelanjutan, serta kekayaan intelektual.
Menurut Dudi, penerbitan surat edaran itu menjadi langkah maju dalam mengatur pengembangan AI di Tanah Air. Namun, penggunaan AI meliputi sektor yang lebih beragam, termasuk pendidikan.
Membangun tata kelola dan regulasi etika menjadi tantangan pemanfaatan kecerdasan artifisial di Indonesia. Hal ini perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk membentuk regulasi yang menjadi solusi, bukan justru mengancam eksistensi AI.
”Ini lebih khas lagi. Kita belum ada regulasinya, padahal sudah cukup mendesak. Sering kali dalam teknologi yang cepat berkembang seperti AI regulasinya keteteran,” ucapnya.
Dudi menambahkan, salah satu tantangan pada masa mendatang adalah membentuk kelembagaan yang efektif mengimplementasikan kebijakan AI. Lembaga ini dibutuhkan guna memastikan regulasi yang dibuat bisa diterapkan dengan baik.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria dalam sambutannya secara virtual mengatakan, pemanfaatan AI perlu dibarengi tata kelola yang baik. Tata kelola itu diharapkan merespons kebutuhan perlindungan konsumen dari intrusi terhadap privasi, menjamin persaingan usaha yang sehat, dan memitigasi risiko hilangnya pekerjaan yang digantikan oleh AI.
Selain itu, urgensi tata kelola AI di tingkat multilateral menjadi krusial untuk menjembatani ketimpangan akses terhadap AI antara negara maju dan berkembang. Dengan begitu, manfaat AI dapat dirasakan oleh semua orang tanpa terkecuali.
”Kementerian Kominfo telah merilis surat edaran tentang etika kecerdasan artifisial pada 19 Desember 2023. Surat edaran itu diharapkan menjadi panduan umum nilai, etika, dan tanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengembangan AI,” ujarnya.
Kolaborasi produktif
Nezar menuturkan, untuk menghadirkan ekosistem pemanfaatan AI yang aman, pihaknya membutuhkan kolaborasi produktif dari berbagai pemangku kepentingan. Para akademisi diharapkan memberikan masukan mengenai arah pengembangan tata kelola dan regulasi AI.
”Alih-alih dilihat sebagai ancaman, pemanfaatan dan pengembangan teknologi AI seharusnya dapat kita upayakan untuk menghadirkan kehidupan lebih baik bagi peradaban manusia,” ujarnya.
Rektor Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya Prof Yuda Turana mengatakan, teknologi kecerdasan artifisial akan menjadi keseharian manusia. Oleh sebab itu, Indonesia diharapkan tidak sekadar menjadi pengguna, tetapi juga mengembangkan teknologi tersebut dengan berbagai inovasi.
”Saat kita berbicara kecerdasan buatan, masalah etika dan regulasi menjadi sesuatu yang penting. Bukan untuk menghambat kreativitas dalam membuat AI yang baru, melainkan justru mengakselerasi kreativitas itu dalam rambu-rambu yang benar,” ucapnya.