Junjung Etika Akademik dalam Penggunaan Kecerdasan Buatan
Kecerdasan buatan mempunyai sejumlah keterbatasan. Penggunaan kecerdasan buatan di bidang pendidikan perlu diikuti kehati-hatian dan tetap menjunjung etika akademik.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligencemembawa kemudahan di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Namun, hasil kecerdasan buatan di bidang pendidikan mempunyai potensi tidak akurat dan plagiarisme sehingga etika akademik harus tetap dijunjung dalam pemanfaatannya.
Salah satu produk kecerdasan buatan (AI) yang populer di kalangan akademisi adalah ChatGPT, chatbot yang dikembangkan OpenAI. Teknologi ini mampu menjawab pertanyaan yang diajukan dengan cepat dan membuat konten dari data-data yang dihimpunnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Dina W Kariodimedjo, mengatakan, hasil ChatGPT merupakan bentuk plagiarisme jika penggunanya tidak menyebutkan sumbernya. Selain itu, menyalin karya orang lain tanpa memberikan keterangan sumber berdampak negatif terhadap proses pembelajaran.
”Sangat perlu meningkatkan kesadaran, khusunya tentang bantuan AI yang digunakan untuk penulisan karya ilmiah. Tujuan utamanya adalah tetap menjunjung etika dan menghindari plagiarisme,” ujarnya dalam webinar Penulisan Ilmiah dalam Pusaran Artificial Intelligence, Selasa (14/3/2023).
Menurut Dina, kebanyakan kode ChatGPT tidak mudah terlacak oleh pendeteksi plagiarisme. Akibatnya, dosen akan kesulitan mengidentifikasi karya yang ditulis AI atau bukan.
Oleh sebab itu, etika akademik juga harus ditanamkan kepada mahasiswa. Dengan begitu, setiap proses pembelajaran berjalan tanpa kecurangan dan pencurian karya karena menekankan kejujuran akademik.
”Ini PR (pekerjaan rumah) dan tantangan kita bersama agar praktik penggunaan AI di Indonesia bisa lebih baik,” katanya.
Aplikasi AI juga menimbulkan kekhawatiran akan informasi yang tidak akurat. Penggunaannya perlu hati-hati agar karya yang dihasilkan melalui bantuan AI tidak mengandung misinformasi.
Etika akademik juga harus ditanamkan kepada mahasiswa. Dengan begitu, setiap proses pembelajaran berjalan tanpa kecurangan dan pencurian karya karena menekankan kejujuran akademik.
Dina menyebutkan, ChatGPT dapat dipakai pada tahap awal penelitian seperti dalam merumuskan masalah dan mencari referensi sumber penelitian. Namun, ketika memasuki pencarian dan pengolahan data yang lebih spesifik, chatbot sebaiknya tidak digunakan dalam menyusun karya ilmiah.
”Karena hal ini cukup baru di Indonesia, universitas perlu mengkaji indikator-indikator plagiarisme dalam penggunaan AI supaya aturan mainnya lebih jelas,” ujarnya.
Ketidakakuratan hasil AI mungkin terjadi karena bergantung pada data-data yang dihimpun dari berbagai sumber. Mesin AI bekerja berdasarkan statistik dan bisa melakukan ekstrapolasi. Jadi, keputusan AI bergantung pada data-data yang diolah (Kompas, 8/3/2023).
Pendiri dan Chief Executive Officer (CEO) BrainCorp Romi Satria Wahono menuturkan, tidak selamanya jawaban mesin AI seperti ChatGPT mempunyai akurasi tinggi. Mesin AI membuat pola yang akurat berdasarkan data-data yang digunakan, tetapi belum tentu dengan konten yang dihasilkan.
”ChatGPT kadang-kadang menulis jawaban yang kelihatannya benar, tetapi ternyata salah atau tidak masuk akal. Jadi, mungkin ada halusinasi,” katanya.
Jadi, AI masih memiliki sejumlah keterbatasan. Bias algoritma dapat terjadi, salah satunya, dalam merespons perintah untuk mendeskripsikan seseorang.
”Dari pembahasan (tentang AI), semua akan kembali ke afektif, moral kita. Makanya di kampus dosen tidak cuma mengajarkan kognitif dan psikomotorik, tetapi juga afektif. Ketiga hal ini harus seimbang,” ujar Romi.
Sebelumnya, Ketua Indonesia Artificial Intelligence Society (IAIS) Lukas mengatakan, konten yang dihasilkan oleh ChatGPT dan beberapa chatbot lainnya masih bisa dikenali. Pada umumnya, kalimatnya deklaratif dan berupa laporan. Belum sampai menganalisis persoalan. Namun, teknologinya diyakini terus berkembang sehingga kemampuannya semakin kompleks.