Warga dilibatkan dalam pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi untuk melestarikan budaya.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
MUARO JAMBI, KOMPAS — Revitalisasi dan penataan Kawasan Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi di Provinsi Jambi melibatkan warga dengan tetap menjaga ekosistem alam. Hal ini sebagai upaya pemajuan budaya dengan menjaga pelestarian nilai budaya dan menyejahterakan warga.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Fitra Arda mengutarakan, Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi perlu ditata lebih baik. Sebab, area situs ini lebih luas dan membutuhkan kajian.
”Kita tidak hanya mengembangkan sebagai cagar budaya, tetapi juga kekuatan alam karena banyak endemik tumbuhan khas,” kata Fitra dalam temu media yang diadakan Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendibudristek di KCBN Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, pada Sabtu hingga Minggu (4/2/20234).
”Revitalisasi akan ada perlindungan fisik cagar budaya dan alam yang membedakan dengan kawasan lain. Di sini alamnya amat asli dan alami sehingga akan dipertahankan,” ujarnya.
Adapun KCBN Muaro Jambi memiliki luas lahan 3.981 hektar dan berstatus warisan budaya nasional sejak tahun 2013. Ada 11 candi utama, tetapi diperkirakan ada 82 reruntuhan tertimbun dalam gundukan (menapo).
Area ini membentang sepanjang 7,5 kilometer dari barat ke timur tepian Sungai Batanghari sebagai sungai terpanjang di Sumatera.
Fitra mengutarakan, kegiatan revitalisasi KCBN Muaro Jambi untuk menata area ini sebagai pusat pendidikan, terutama dengan belajar dari alam, dan pusat sumbu imajiner.
Revitalisasi akan ada perlindungan fisik cagar budaya dan alam yang membedakan dengan kawasan lain. Di sini alamnya amat asli dan alami sehingga akan dipertahankan.
Penataan dilakukan pada sejumlah kawasan candi dan tinggalan lain agar terhubung. Selain itu, pemugaran dilakukan untuk penguatan pada nilai-nilai dan beberapa tinggalan yang diutamakan, seperti Candi Kuto Mahligai, Candi Parit Duku, Candi Gedong, Candi Kedaton, dan Candi Astano.
Ajak masyarakat
Menurut Fitra, ekosistem ekonomi kerakyatan berbasis kekayaan budaya tak benda juga diperkuat. Pada Februari nanti, perwakilan warga di sekitar KCBN Muaro Jambi akan diajak ke Vietnam untuk belajar pengelolaan area candi sekitar Sungai Mekong yang tumbuh jadi destinasi wisata dengan nilai budayanya.
Sebulan terakhir, desa-desa di sekitar KCBN Muaro Jambi dilanda banjir sepuluh tahunan. Kondisi alam ini menunjukkan potensi air dan wisata perahu yang bisa dikembangkan di kawasan ini yang dikelola masyarakat.
”Kekhasan sebagai wisata alam ini sebagai kekuatan yang membedakan situs ini dari tempat lain. Hal ini akan digarap dengan pendanaan tahun 2024 dan berlanjut beberapa tahun ke depan,” ucapnya.
Landskap perdesaan akan dipertahankan. ”Saat ini narasi utama dari kawasan ini sedang disusun sehingga mempunyai persepsi yang sama dalam pembangunan kawasan ini ke depan untuk menyejahterakan masyarakat,” kata Fitra.
Sementara Kepala Unit Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Agus Widiatmoko mengutarakan, pelibatan warga, antara lain, ialah pengelolaan ribuan pohon duku di KCBN Muaro Jambi pada tahun 2023. Kegiatan tersebut bisa menghasilkan pendapatan negara bukan pajak sekitar Rp 700 juta.
Kemudian Pasar Dusun Karet (Paduka) dikembangkan untuk destinasi kuliner di kawasan ini. Karena dilanda banjir, pasar apung dikembangkan dengan menyewakan perahu dan menjual kuliner di atas perahu. Sebagian besar dikelola para perempuan.
”Keterlibatan masyarakat ini terasa sekali saat pembebasan lahan KCBN seluas 100 hektar. Dalam tujuh bulan pembebasan lahan bisa dilaksanakan. Mungkin di Indonesia, baru di KCBN Muaro Jambi pembebasan lahan bisa berlangsung cepat karena masyarakat mendukung,” kata Agus.
Para warga yang bergiat di Paduka mendapat pelatihan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan menggandeng salah satu bank pada 2023. Ada sekitar 30 warga dibawa ke Pasar Papringan di Temanggung, Jawa Tengah.
Mereka menginap dan ikut berdagang hingga membuat makanan tradisional tanpa pengawet serta belajar peduli lingkungan dengan tidak memakai plastik.
”Para pedagang menjual makanan tradisional dan berpakaian adat. Pasar Paduka yang tadinya sebagai pelengkap untuk membantu dapur warga kini berkembang menjadi salah satu destinasi bagi yang ingin menikmati kuliner khas Muaro Jambi,” kata Agus.
Pelibatan masyarakat juga dilakukan saat sekitar KCBN Muaro Jambi dilanda banjir. Di sekitar Candi Astano, yang berubah jadi ”sungai” berkedalaman sekitar 1 meter karena meluapnya Sungai Batanghari, diubah jadi pasar apung. Warga menyewakan perahu kepada pengunjung atau menjual makanan di atas perahu.
”Desa terendam dengan rumah panggung warga. Kondisi banjir membuat mata pencarian terhambat hingga memunculkan pasar apung. Dengan kekuatan media sosial, pasar apung diminati. Ini bagian untuk melestarikan tradisi bahari dan membalikkan pikiran jika banjir jadi susah,” kata Agus.
Secara terpisah, Kasmawati, warga Desa Muaro Jambi yang menjadi panitia Pasar Paduka (pasar apung), menuturkan, warga mendapat manfaat dari penataan KCBN Muaro Jambi. Warga bersedia diatur dan dilibatkan karena memperoleh manfaat dari pengembangan kawasan Muaro Jambi .
Menurut Kasmawati, satu bulan terakhir warga yang diajak untuk memulai pasar apung menyediakan 66 perahu. Awalnya pendapatan total Rp 450.000 per hari, kini sudah bisa lebih dari belasan juta rupiah saat akhir pekan.
Warga didampingi untuk mengembangkan potensi wisata di kawasan Muaro Jambi. Kasmawati pernah diajak ke Dieng dan Bali untuk melihat praktik baik pengelolaan wisata di sana.
”Setelah pulang, saya ajak warga mengembangkan budaya disiplin dan antre. Biasanya warga susah diajak disiplin, maunya rebutan dan kini mulai mau antre,” ujarnya menambahkan.