Pemulihan Stroke Lebih Buruk di Lingkungan Permukiman yang Buruk
Kondisi tempat tinggal dikaitkan dengan tingkat keberhasilan pemulihan stroke. Faktor sosial ekonomi turut menentukan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas tempat tinggal turut memengaruhi kesehatan, termasuk pada tahapan pemulihan. Penelitian terbaru yang dilaporkan American Stroke Association menyebutkan, penyintas stroke di lingkungan permukiman buruk mengalami pemulihan dua kali lebih buruk dibandingkan penyintas yang tinggal di lingkungan lebih baik.
Permukiman dengan kondisi ekonomi buruk itu meliputi tingkat pengangguran tinggi, pendapatan kecil, pendidikan rendah, dan kualitas perumahan yang kurang layak. Para peneliti menemukan korelasi antara hasil pemulihan dan faktor sosial ekonomi para penyintas stroke.
Peneliti klinis di Departemen Neurologi Yale School of Medicine, Amerika Serikat, Leah Kleinberg, mengatakan, pasien stroke dengan latar belakang sosial ekonomi berbeda sering sekali mempunyai status fungsional atau kemampuan beraktivitas yang sama saat keluar dari rumah sakit. Namun, pada masa pemulihan, hasilnya sangat bervariasi.
Sebagai peneliti klinis, Kleinberg tidak sekadar menyelesaikan pengobatan bagi penyintas stroke. Bersama sejumlah rekannya, ia mengeksplorasi lebih jauh mengenai pemulihan para pasien tersebut dalam jangka panjang.
”Kami menemukan pasien di daerah yang paling tidak beruntung secara ekonomi memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk mendapatkan hasil kurang baik dibandingkan dengan pasien di daerah dengan tingkat pengangguran lebih sedikit, kualitas perumahan lebih baik, serta tingkat pendapatan dan pendidikan lebih tinggi,” ujarnya, dilansir dari Eurekalert.org, Kamis (1/2/2024).
Dalam studi ini, para peneliti memakai data kajian longitudinal studi cedera otak akut dan Indeks Deprivasi Area (ADI) Yale pada blok sensus AS tahun 2020. Kemudian, mereka membandingkan hasil di antara para penyintas stroke berdasarkan faktor-faktor yang merugikan secara sosial ekonomi.
Penelitian ini akan membantu meningkatkan kesadaran tentang betapa penting faktor penentu sosial kesehatan, seperti variabel klinis dan informasi kesehatan, bagi para penyintas stroke.
ADI mengevaluasi lingkungan tempat tinggal berdasarkan tingkat pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan kualitas perumahan yang spesifik untuk setiap kode pos. Panduan ini dikembangkan lembaga administrasi dan kesehatan yang menginformasikan pemberian layanan kesehatan serta kebijakan bagi daerah-daerah dengan perekonomian yang kurang baik.
Studi tersebut melibatkan 2.164 penyintas stroke dengan usia rata-rata 69 tahun. Peneliti mengamati kesehatan mereka dalam masa perawatan tiga bulan, enam bulan, dan kemudian setiap tahun setelah keluar dari rumah sakit.
Penyintas yang tinggal di daerah dengan deprivasi sedang dan tinggi masing-masing memiliki risiko 44 persen dan 107 persen lebih besar untuk mendapatkan hasil pemulihan yang tidak menguntungkan. Mereka tidak dapat mengurus keperluan mereka sendiri tanpa bantuan dari orang lain.
”Kami berharap penelitian ini akan membantu meningkatkan kesadaran tentang betapa penting faktor penentu sosial kesehatan, seperti variabel klinis dan informasi kesehatan, bagi para penyintas stroke,” katanya.
Direktur Program Penelitian Kardiovaskular Universitas Alabama Elizabeth A Jackson menyebutkan, riset itu mendukung bukti-bukti sebelumnya yang menunjukkan bahwa kesenjangan kesehatan lebih banyak terjadi di daerah-daerah dengan tingkat kerentanan sosial lebih tinggi. Mempertimbangkan peran faktor-faktor penentu sosial sangat krusial dalam meningkatkan kesehatan kardiovaskular.
”Akses terhadap layanan berkualitas, makanan bergizi, perumahan yang stabil, serta kebutuhan kesehatan dasar lain sangat penting bagi orang yang baru pulih dari stroke,” ucapnya.