Para Kandidat Presiden Adu Strategi Atasi ”Stunting”
Program ”stunting” sudah banyak dilakukan. Namun, yang diabaikan adalah penguatan sistem.
JAKARTA, KOMPAS – Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden mengakui pentingnya upaya menurunkan stunting di Indonesia, yang angkanya hingga saat ini masih tertinggi kedua di ASEAN setelah Timor Leste. Namun, ketiga pasangan ini memiliki strategi berbeda untuk mengatasinya.
Upaya untuk mengatasi stunting dari tiga pasangan ini disampaikan oleh tim pakar masing-masing dalam diskusi daring yang diselenggarakan sejumlah organisasi profesi kesehatan masyarakat pada Jumat (2/2/2024). Diskusi diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Gizi Nasional 2024.
Dalam diskusi ini, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar diwakili oleh Fasli Jalal, Rektor Universitas YARSI yang juga pernah menjabat Kepala BKKBN (2013-2015). Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diwakili oleh Sumaryati Aryoso, dokter dan juga politisi Gerindra. Sementara pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD diwakili oleh dokter Putu Agus Wirawan.
”Saat ini stunting terus menurun, di tahun 2013 (37,6 persen) menjadi 21,6 persen pada tahun 2022. Ini perkembangan baik. Tetapi, hal ini masih jauh dari target nasional yang menargetkan 14 persen. Angka ini juga di atas rekomendasi WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sebesar 20 persen. Kita masih harus bekerja keras untuk mengatasi ini,” tutur Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman, yang membuka diskusi.
Fasli Jalal mengatakan, dari 8 misi ”Jalan Perubahan” yang diusung Anies-Muhaimin, misi ke-5 adalah mewujudkan manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif, berakhlak, serta berbudaya. Untuk mewujudkan hal ini, layanan kesehatan harus tanpa diskriminasi, andal, dan efisien.
Menurut dia, beberapa hal yang akan dilakukan adalah mengedepankan upaya promotif dan preventif melalui penguatan fungsi puskesmas didukung pemerintah desa, masyarakat, dan dunia usaha. Selain itu, pasangan Anies-Muhaimin juga akan meningkatkan peran posyandu dan kader kesehatan dengan dukungan digitalisasi. ”Dan, yang penting, seperti sudah dilakukan Anies di Jakarta adalah pemberian insentif kepada kader kesehatan,” lanjut Fasli.
Baca juga: Pencegahan Tengkes Tidak Selalu Mahal
”Untuk target kami, prevalensi stunting ditargetkan bisa turun 11 persen pada 2029. Ini dilakukan dengan pendampingan ibu hamil dan 1.000 hari kelahiran anak, kolaborasi lintas sektor, penguatan dukungan kader di desa dan kelurahan, menjamin ketersediaan pangan dan gizi seimbang, serta mencegah infeksi dan pencemaran lingkungan,” paparnya.
Menurut Fasli, kebijakan, komitmen, dan upaya serta penganggaran untuk mengatasi stunting sudah sangat besar. Namun, masalahnya, belum ada satu data di tingkat desa sehingga program untuk mengatasinya sering tidak tepat sasaran.
”Kami melihat pentingnya satu data stunting di posyandu untuk semua anak balita dan ibu hamil yang berisiko melahirkan anak stunting (by name by address). Kalau kita punya data ini dan dianalisis oleh tim desa, dan ini yang diusulkan ke Musrenbang Desa, hingga ke pemerintah daerah hingga pusat, kita bisa melakukan konvergensi untuk mengatasi masalah stunting,” ujarnya.
Sementara itu, Sumaryati mengatakan, tim Prabowo-Gibran akan meneruskan program pemerintah saat ini dalam menurunkan stunting yang dianggap sudah bagus dan meningkat. ”Kebijakan pencegahan dan penurunan stunting telah dilakukan pemerintah sejak tahun 2018 dengan 100 kabupaten dan tiap tahun bertambah. Jadi saat ini sudah ada 12 provinsi prioritas, ditambah provinsi lainnya sehingga sudah mencapai 82.773 desa atau kelurahan. Hasilnya, (stunting) sudah turun walaupun tidak secepat yang diharapkan,” katanya.
Pemerintah sekarang sudah melakukan, tetapi belum maksimal untuk percepatan program. Mesin sosial harus terlibat. Pemberdayaan masyarakat sangat penting.
Menurut Sumaryati, untuk mempercepat upaya mengatasi kurang gizi dan stunting, pasangan Prabowo-Gibran akan memberikan makan siang gratis dan susu setiap hari untuk seluruh ibu hamil, ibu menyusui, serta anak sekolah mulai dari PAUD hingga SMA. ”Perhitungannya memang sangat besar, tetapi mengapa ini harus dilaksanakan karena stunting memang harus diatasi,” ucapnya.
Putu Agus menyebutkan, tim Ganjar-Mahfud berpandangan bahwa upaya mengatasi stunting membutuhkan kerja sama di antara pemerintah terkait, mulai dari pusat hingga daerah sampai ke kelurahan. ”Selain itu, perlu edukasi masyarakat terkait promosi dan preventif, pola asuh, sanitasi, dan penyediaan air bersih. Penyediaan makanan bergizi juga akan kami sediakan,” katanya.
Selain itu, menurut Putu Agus, tenaga kesehatan juga berperan penting. ”Kami akan membuat program, kader posyandu diberi insentif Rp 500.000 per bulan dan menargetkan satu desa, satu faskes, dan satu nakes. Prioritas kami adalah bidan. Stunting ini juga masalah kesejahteraan, karena itu pasasangan calon nomor urut 3 juga akan tetap melanjutkan bansos (bantuan sosial) sehingga masyarakat tetap bisa memenuhi kebutuhan gizi,” ungkapnya.
Disparitas stunting
Ascobat Gani, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang menjadi penanggap mengatakan, saat ini tren stunting di Indonesia memang turun. Namun, terjadi disparitas atau kesenjangan. "Masih banyak daerah yang stunting-nya tinggi, seperti NTT dan Papua. Ketimpangan ini terkait kapasitas daerah,” lanjutnya.
Menurut dia, program stunting sudah banyak, termasuk tiap tahun ada pertemuan khusus membahas ini. ”Tetapi, yang diabaikan adalah penguatan sistem. Bagaimana masalah stunting yang sudah masuk ke RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) ini bisa diterjemahkan sampai RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) desa sehingga ada upaya penanganan dari hulu sampai hilir,” katanya.
Upaya untuk mengatasi stunting juga berhadapan dengan meluasnya promosi junk food hingga ke pelosok. ”Hal ini merusak betul upaya penyuluhan gizi yang diberikan. Bagaimana mengendalikan promosi junk food ini sangat penting agar penyuluhan kita mengatasi gizi tidak sia-sia,” ucapnya.
Abdul Razak Thaha, ahli gizi dari Universitas Hasanuddin, Makassar, mengatakan, kontributor terbesar dari stunting baru dari anak lahir hingga umur 23 bulan. ”Kalau kita mau mencapai angka stunting 17,8 persen pada tahun 2023, perlu beberapa intervensi. Di antaranya pelayanan ibu hamil,” lanjutnya.
Menurut dia, salah satu masalah ibu hamil adalah anemia, selain ibu hamil kurang energi kronis. ”Yang jadi soal, seberapa besar efektivitas dari program itu. Data menunjukkan, tablet penambah darah tidak bertambah baik. Kita punya masalah besar di sini,” tuturnya.
Abdul Razak menambahkan, penyebab dari masalah gizi terkait pula dengan defisiensi gizi mikro, seperti anemia, dan vitamin A, yang belum disinggung oleh ketiga pasangan calon.
Baca juga: Gerakan Bersama Lebih Efektif Mengentaskan Tengkes
Sementara itu, Mohamad Subuh, Ketua Umum Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia menyebutkan, komitmen politis terhadap sektor kesehatan sangat menentukan dalam upaya mengatasi stunting. ”Pemerintah sekarang sudah melakukan, tetapi belum maksimal untuk percepatan program. Mesin sosial harus terlibat. Pemberdayaan masyarakat sangat penting,” katanya.