40 Persen Ekosistem Lahan Basah Indonesia Miliki Keanekaragaman Hayati Tinggi
Sebanyak 40 persen ekosistem lahan basah di Indonesia merupakan kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa sebanyak 40 persen ekosistem lahan basah di Indonesia merupakan kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati ini meliputi berbagai flora dan fauna langka.
Berdasarkan peta tutupan lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total luas ekosistem lahan basah di Indonesia mencapai 25,9 juta hektar. Ekosistem lahan basah alami tersebut meliputi mangrove, gambut, rawa, danau, dan sungai. Adapun ekosistem lahan basah buatan meliputi tambak, sawah, waduk, dan kolam.
Kepala Sub Direktorat Pengawetan Spesies dan Genetik KLHK Badiah menyampaikan, selain mendukung penyimpanan karbon, ekosistem lahan basah juga memiliki peran penting dalam mendukung pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia. Keanekaragaman hayati meliputi konservasi pada level ekosistem, spesies, dan genetik.
Menurut Badiah, saat ini KLHK telah melakukan inventarisasi dan verifikasi keanekaragaman hayati tinggi dengan pendekatan kekayaan spesies. Inventarisasi dan verifikasi ini menggunakan sejumlah parameter, tidak hanya terkait aturan terkait spesies yang dilindungi secara nasional, tetapi juga standar internasional dari Badan Konservasi Dunia (IUCN).
”Kami menginventarisasi kawasan ini dan dianalisis overlay dengan ekosistem lahan basah di Indonesia. Hasilnya, 40 persen ekosistem lahan basah di Indonesia merupakan kawasan yang mempunyai nilai keanekaragaman hayati tinggi,” ujarnya dalam diskusi memperingati Hari Lahan Basah Sedunia di Media Center KLHK, Jakarta, Jumat (2/2/2024).
KLHK juga telah melakukan sensus burung air asia (Asian Waterbird Cencus/AWC) tahun 2023. Hasil sensus ini melaporkan terdapat 152.275 individu burung air dengan total 312 spesies yang terverifikasi menghuni di ekosistem lahan basah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 39.826 individu burung tersebut merupakan spesies yang dilindungi.
”Indonesia sudah memiliki tujuh Ramsar Sites yang di antaranya Taman Nasional Wasur (Papua) serta Taman Nasional Berbak dan Sembilang (Sumatera Selatan). Kedua Ramsar Sites ini merupakan kawasan situs yang dimonitor secara terus-menerus karena menjadi wilayah singgah burung-burung migran,” tuturnya.
40 persen ekosistem lahan basah di Indonesia merupakan kawasan yang mempunyai nilai keanekaragaman hayati tinggi.
Selain burung air, ekosistem lahan basah di Indonesia juga menjadi habitat beberapa satwa liar langka non-aves. Beberapa satwa tersebut, di antaranya orang utan, bekantan, buaya senyulong, kucing tandang, beberapa jenis kura-kura, badak jawa, harimau sumatera, capung jarum, kucing bakau, serta sejumlah spesies reptil dan amfibi lainnya.
Badiah mengatakan, aliran air yang terdapat di ekosistem lahan basah menyediakan nutrien yang sangat kaya bagi satwa liar di kawasan tersebut. Di sisi lain, satwa liar seperti primata juga memiliki peran sebagai penyebar biji untuk regenerasi hutan. Kemudian, berbagai jenis satwa herbivora berfungsi menjaga keanekaragaman dan keberlangsungan dari biodiversitas.
Dalam ekosistem gambut, Bekantan juga memiliki fungsi sebagai pengatur silvikultur hutan dengan memakan daun dan pucuk tanaman yang kemudian tumbuh menjadi lebat. Harimau sumatera berperan sebagai salah satu indikator penting ekosistem yang sehat dan menjadi bagian untuk menjaga keseimbangan populasi dalam rantai makanan.
Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove KLHK Inge Retnowati menyatakan, ekosistem mangrove di Indonesia yang rusak dan terancam telah dituangkan dalam peta potensial mangrove. Kategori rusak ini terdiri dari area terabrasi, tambak, tanah timbul, lahan terbuka, dan mangrove terabrasi.
Data dari peta mangrove nasional tahun 2021 mencatat, luas mangrove di Indonesia mencapai 3,36 juta hektar. Dari jumlah tersebut, mangrove yang termasuk ke dalam kategori kerapatan tinggi mencapai 3,1 juta hektar (92,8 persen), kerapatan sedang sebesar 188.366 hektar (5,6 persen), dan kerapatan rendah 54.747 hektar (1,6 persen).
”Untuk memastikan mangrove ini rusak ada prosesnya dan harus ada data yang lebih detail terkait kerusakannya. Kemudian kami mempelajari riwayat kerusakannya dan status kepemilikan lahannya. Bagaimana upaya menanggulangi kerusakan inilah yang dituangkan di dalam regulasi rancangan peraturan pemerintah tentang pengelolaan mangrove,” ucapnya.
Inge menyebut saat ini seluruh tahap pembuatan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrovetelah selesai dan tinggal menunggu persetujuan dari presiden. Nantinya, RPP ini juga akan mengatur upaya untuk mengelola dan merehabilitasi mangrove serta sanksi bagi pihak perusak ekosistem tersebut.
Kepala Kelompok Kerja Edukasi dan Sosialisasi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Suwignya Utama optimistis sisa target restorasi gambut seluas 341.167 hektar yang dilakukan BRGM akan tercapai tahun ini. Adapun total target restorasi gambut dari BRGM mencapai 1,2 juta hektar di tujuh provinsi prioritas.
”Untuk rehabilitasi mangrove di beberapa wilayah memang masih dijumpai tantangan seperti adanya alih fungsi lahan untuk peruntukan lain. Hal ini mungkin bisa diatasi dengan memperkuat kelembagaan dan rancangan peraturan pemerintah yang tengah disiapkan,” katanya.