Memahami Peran Makanan dalam Memodifikasi Risiko Alzheimer
Mengurangi makan daging dan makan olahan serta memperbanyak sayur dan buah terbukti bisa menurunkan risiko alzheimer.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Alzheimer menjadi salah satu penyakit yang tumbuh pesat seiring dengan tren gaya hidup modern. Penyakit yang ditandai dengan kerusakan sel-sel otak sehingga menyebabkan penurunan kemampuan kognitif, seperti ingatan, berpikir, dan berperilaku, ini bisa dicegah dengan menerapkan pola konsumsi sehat sejak muda.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), saat ini lebih dari 55 juta orang menderita demensia atau kepikunan di seluruh dunia dan menduduki peringkat ketujuh penyebab kematian, kecacatan, dan ketergantungan kelompok lanjut usia. Penyakit alzheimer, yang ditandai dengan kerusakan sel-sel otak, merupakan bentuk demensia yang paling umum dan berkontribusi pada 60-70 persen kasus.
Hingga saat ini penyakit alzheimer belum ada obatnya. Alzheimer dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya usia, di mana orang yang berusia 65 tahun ke atas lebih mungkin menderita penyakit ini. Faktor lain adalah genetik dan perbedaan kromosom, selain gaya hidup seperti perokok dan mengonsumsi minuman beralkohol berlebihan, serta obesitas dan diabetes.
Serangkaian penelitian terbaru menemukan hubungan kuat antara penyakit alzheimer dan konsumsi harian makanan berbahan dasar daging dan makanan olahan, juga kurangnya makan buah serta sayuran. Temuan ini diharapkan bisa mendorong generasi muda untuk menerapkan pola makan yang lebih sehat untuk melindungi otak mereka di kemudian hari.
Para peneliti di Bond University sampai pada kesimpulan ini setelah memeriksa pola makan 438 warga Australia, di mana 108 penderita alzheimer dan 330 orang pada kelompok kontrol yang sehat.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Alzheimer's Disease edisi Januari 2024 ini menggunakan data dari Australian Imaging Biomarker and Lifestyle Study of Aging yang sejak tahun 2006 telah melacak sekelompok orang dan mengamati perkembangan alzheimer pada beberapa partisipan.
Para peneliti menemukan, mereka yang terdiagnosis alzheimer cenderung rutin mengonsumsi makanan seperti pai daging, sosis, ham, piza, dan hamburger. Mereka juga lebih sedikit mengonsumsi buah dan sayuran, seperti jeruk, stroberi, avokad, capsicum, mentimun, wortel, kubis, dan bayam. Sementara itu, asupan anggur mereka, baik merah maupun putih, relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelompok sehat.
Penulis utama studi ini, Tahera Ahmed dari Bond University, Rabu (31/1/2024), mengatakan, temuan ini diharapkan bisa mendorong generasi muda untuk menerapkan pola makan yang lebih sehat untuk melindungi otak mereka di kemudian hari.
”Perkembangan alzheimer di otak dimulai pada usia paruh baya dan dampaknya dapat dikaitkan dengan gaya hidup yang tidak terkontrol sejak usia muda,” katanya.
Menurut Ahmed, meningkatkan kesadaran di kalangan generasi muda tentang manfaat mengonsumsi sayuran hijau, makanan organik, atau makanan rumahan sangatlah penting dibandingkan dengan terus-menerus mengonsumsi makanan cepat saji atau makanan olahan. ”Kebiasaan makan seperti itu berdampak pada kesehatan otak dan berkontribusi terhadap masalah pembuluh darah dan obesitas sehingga menyoroti keterkaitan masalah kesehatan ini,” ucapnya.
Dalam studi yang diterbitkan dalam Journal of Alzheimer's Disease pada Desember 2023, kita dapat melihat pola makan mana yang membantu dalam mengurangi risiko terkena penyakit alzheimer. Kajian yang ditulis William Grant dan Steven Blake dari Nutrition and Health Research Center ini menjelaskan bagaimana pola makan dapat memodifikasi risiko penyakit alzheimer.
Data menunjukkan, pola makan yang lebih nabati, seperti pola makan Mediterania dan pola makan tradisional di Asia dan Afrika, terbukti mengurangi risiko penyakit ini, terutama jika dibandingkan dengan pola makan Barat.
Angka penyakit alzheimer meningkat di negara-negara Asia dan Afrika terjadi seiring dengan transisi nutrisi mereka ke pola makan Barat. Studi Grant ini mengidentifikasi faktor risiko demensia dan alzheimer, termasuk konsumsi lebih tinggi lemak jenuh, daging, terutama daging merah serta daging olahan, dan makanan ultra-olahan tinggi gula serta biji-bijian olahan.
Ulasan ini juga memberi tahu kita mengapa makanan tertentu meningkatkan atau mengurangi risiko penyakit alzheimer. Misalnya, daging paling meningkatkan risiko demensia karena meningkatkan faktor risiko, seperti peradangan, resistensi insulin, stres oksidatif, lemak jenuh, produk akhir glikasi lanjut, dan trimetilamina N-oksida.
Sementara itu, beberapa makanan terbukti melindungi terhadap penyakit alzheimer, seperti sayuran berdaun hijau, buah-buahan, sayuran berwarna, kacang-kacangan, asam lemak omega-3, dan biji-bijian.
Makanan ultra-olahan dapat meningkatkan risiko obesitas dan diabetes, yang merupakan faktor risiko penyakit alzheimer. Makanan ultra-olahan seringkali kekurangan bahan-bahan yang ditemukan dalam makanan nabati utuh yang dapat mencegah demensia, seperti komponen anti-inflamasi dan antioksidan.
Mereka yang terdiagnosis alzheimer cenderung rutin mengonsumsi makanan seperti pai daging, sosis, ham, piza, dan hamburger.
Dalam banyak kasus, kemiskinan merupakan pendorong penting penyakit alzheimer di negara maju. Hal ini karena makanan ultra-olahan dan daging merupakan sumber energi yang lebih murah dibandingkan dengan buah-buahan, sayuran, biji-bijian, dan makanan bergizi lainnya sehingga meningkatkan obesitas.
Dengan tren pola konsumsi masyarakat saat ini, kita bisa melihat bahwa penyakit alzheimer akan terus meningkat. Grant dan Blake memperkirakan, di Amerika Serikat kenaikannya diperkirakan sebesar 50 persen dari tingkat tahun 2018 pada tahun 2038. Perhitungan ini didasarkan pada perbandingan tren obesitas di AS dengan tren penyakit alzheimer.
Perbandingan ini menunjukkan adanya jeda 20 tahun antara angka obesitas dan angka penyakit alzheimer. Perkiraan ini sangat mendekati perkiraan yang dipublikasikan oleh Alzheimer's Association pada tahun 2018, yaitu perkiraan peningkatan sebesar 56 persen.
”Perkiraan kami menunjukkan bahwa tren peningkatan obesitas akibat konsumsi daging dan makanan ultra-olahan adalah penyebab demensia. Meskipun risiko pribadi kita terhadap penyakit alzheimer dapat dikurangi dengan pola makan, diperkirakan bahwa mereka yang terus mengonsumsi makanan Barat akan terus memiliki risiko lebih tinggi,” kata Grant.
Bukti dari beragam perspektif ini mendukung bahwa pola makan yang menekankan buah-buahan, sayuran, polong-polongan, kacang-kacangan, biji-bijian, dan mengurangi daging, terutama daging merah, makanan jenuh, lemak, dan makanan ultra-olahan, dikaitkan dengan rendahnya risiko penyakit alzheimer.
Ketidakaktifan fisik dan obesitas juga berkontribusi terhadap risiko yang lebih tinggi. Selain itu, pola makan dan gaya hidup yang terkait dengan risiko lebih tinggi penyakit alzheimer diketahui memengaruhi konstelasi mekanisme yang diyakini meningkatkan risiko, termasuk peradangan, resistensi insulin, dan stres oksidatif.
Jadi, jika kita berharap bisa menjalani masa tua tanpa alzheimer, hal itu harus dimulai sejak muda. Sekalipun ada beberapa faktor lain yang tidak bisa dimodifikasi, seperti genetik, pola makan sehat, dan aktivitas fisik, terbukti bisa menjadi langkah pencegahan dini yang efektif untuk alzheimer.