Konsumsi Kian Meningkat, Rokok ”Tingwe” Juga Perlu Dikendalikan
Regulasi pengendalian produk tembakau perlu diperketat, termasuk pada tembakau iris atau "tingwe".
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pengendalian konsumsi produk tembakau di masyarakat harus semakin diperkuat. Kesehatan masyarakat semakin dipertaruhkan ketika kebijakan terhadap pengendalian tembakau masih lemah. Kebijakan tersebut pun diharapkan bisa komprehensif terhadap semua produk tembakau, termasuk produk tembakau iris atau tingwe.
Direktur Program Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani, dihubungi di Jakarta, Kamis (1/2/2024), mengatakan, konsumsi rokok di masyarakat mulai bergeser pada produk alternatif. Selain pergeseran pada rokok elektrik, sebagian masyarakat kini mulai beralih menggunakan tembakau iris atau tingwe.
Tingwe ini akronim dari bahasa Jawa nglinting dewe yang berarti ’melinting sendiri’. Hal ini merujuk pada proses pembuatannya, yaitu dengan cara melinting atau menggulung kertas rokok dengan isian irisan daun tembakau.
”Dalam dua sampai tiga tahun terakhir, konsumsi tingwe melonjak tajam. Kenaikan cukai pada rokok pabrikan dan pandemi mendorong perokok segmen menengah ke bawah mencari produk alternatif yang lebih terjangkau,” ujarnya.
Ia mengatakan, secara kasatmata, gerai-gerai tembakau semakin banyak ditemukan di lingkungan sekitar, bahkan di pinggir-pinggir jalan. Hal itu membuat akses konsumen pada produk tersebut menjadi semakin mudah.
Harganya pun jauh lebih terjangkau dibandingkan produk tembakau lain. Sebanyak 100 gram tembakau iris bisa didapatkan dengan harga Rp 15.000-Rp 20.000. Dengan jumlah itu, tembakau bisa dilinting menjadi sekitar 100 batang rokok tingwe.
Menurut Ahmad, persepsi masyarakat terhadap tingwe yang berubah turut membuat konsumsi produk itu semakin meningkat. Sebelumnya, produk tingwe identik dengan rokok orangtua. Akan tetapi, sekarang anak muda mulai banyak yang mengonsumsinya.
”Gejala yang mulanya dipicu tekanan ekonomi sebagai siasat untuk menghemat uang, namun tingwe lambat laun berkembang menjadi tren gaya hidup baru. Bahkan, ada semacam romantisisasi produk ini sebagai gerakan anti-mainstream, sebagai simbol perlawanan konsumen atas kebijakan pemahalan harga rokok, warisan budaya, hingga upaya untuk mendorong tren tingwe sebagai pop culture,” ujarnya.
Produk tembakau iris dikecualikan dari kewajiban untuk uji kandungan serta pencantuman kadar nikotin dan tar.
Karena itulah, industri menilai perokok tingwe menjadi salah satu segmen pasar lain yang paling menjanjikan. Hal ini karena harga produk tembakau iris masih terjangkau bagi masyarakat. Daya pikat lain bagi masyarakat adalah varian rasa dan aroma tingwe juga sangat beragam.
Ahmad menuturkan, berdasarkan observasi di 40 toko tembakau di Tangerang Selatan, omzet dari toko tersebut cukup tinggi. Dari sampel yang diteliti, hanya 20 persen yang memiliki omzet kurang dari Rp 500.000 per hari. Sementara 50 persen toko lainnya mengaku memiliki omzet sekitar Rp 500.000-Rp 1.000.000 per hari dan ada yang sampai di atas Rp 5 juta per hari.
Meski begitu, lanjutnya, konsumsi produk tembakau iris yang dinilai terlalu kecil membuat regulasi yang mengatur produk tersebut menjadi berbeda dengan produk lain. Produk tembakau iris dikecualikan dari kewajiban untuk uji kandungan serta pencantuman kadar nikotin dan tar.
Kebijakan fiskal dan tarif cukai pun relatif lebih kecil dari cukai rokok jadi. Produk tembakau iris juga dibebaskan dari cukai apabila diperjualbelikan secara eceran dengan kemasan tradisional.
Perlu dukungan regulasi
Karena itulah, menurut Ahmad, produk tembakau iris atau tingwe tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Pemerintah perlu memperketat peredaran produk tembakau iris. Hal itu termasuk dengan menghapus pasal-pasal pengistimewaan produk tembakau iris, menyesuaikan tarif cukai, serta membatasi kemasannya.
”Dalam konteks yang lebih luas, fenomena ini harusnya membuka mata kesadaran pembuat kebijakan bahwa pengendalian produk tembakau harus komprehensif. Kebijakan pengendalian yang parsial tak akan menghasilkan apa pun,” katanya.
Ia menambahkan, aksesi terhadap Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) mutlak untuk dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah selama ini dinilai telah tunduk pada intervensi industri yang selalu mempertentangkan kehidupan petani dan pekerja industri demi kepentingan industri tembakau.
”FCTC memungkinkan perlindungan bagi kesehatan masyarakat melalui pengendalian permintaan, harga dan cukai, kemasan dan pelabelan, iklan atau promosi dan sponsor rokok, serta perlindungan dari asap. Selain pengendalian permintaan, perlu juga dilakukan pengendalian penawaran, termasuk upaya melarang penjualan rokok pada anak di bawah umur,” tutur Ahmad.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuturkan, upaya pengendalian tembakau di Indonesia masih lemah. Tantangan yang dihadapi dalam upaya pengendalian tembakau pun sangat berat.
”Paradigma masyarakat yang secara logis menganggap tembakau sebagai produk normal, padahal itu produk abnormal, menjadi salah satu tantangan yang dihadapi. Di Singapura, masyarakatnya menganggap rokok itu sebagai sebuah penyakit,” katanya.
Dihubungi terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti menyampaikan, upaya penguatan pengendalian produk tembakau telah dilakukan melalui penyusunan rancangan peraturan pemerintah yang menjadi turunan dari Undang-Undang Nomor 17 tentang Kesehatan. Penguatan pada konsumsi produk tembakau, termasuk produk rokok elektrik, akan diatur dalam peraturan tersebut.
Sementara terkait FCTC, ia mengatakan, aturan-aturan yang termuat dalam perjanjian tersebut sudah masuk dalam regulasi yang berlaku di Indonesia. ”Semua yang ada dalam FCTC itu sudah tertuang dalam regulasi yang ada di negara kita,” ucapnya.