Komnas Perempuan Ingatkan Jangan Ada Lagi Kekerasan terhadap Perempuan
Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Pilkada Serentak 2024 diharapkan lebih ramah pada perempuan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang Pemilihan Umum 2024, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan mengingatkan penyelenggara pemilu untuk peka dan mengenali kerentanan perempuan dalam berbagai bentuk. Harapannya, kekerasan yang terjadi pada pemilu dan pemilihan kepala daerah sebelumnya tidak terulang kembali.
Temuan Komnas Perempuan pada Pemilu 2019, sejumlah perempuan yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) menjadi korban. Misalnya, intimidasi dan teror seperti yang dialami di Aceh dan Nusa Tenggara Timur. Ada juga pencurian dan pengalihan suara perempuan caleg di Papua serta pemecatan perempuan caleg terpilih di Sulawesi Selatan.
Bahkan, ada penyerangan seksual terhadap perempuan calon kepala daerah di Depok, Makassar, dan Tangerang Selatan pada Pilkada 2020, serta ujaran kebencian pemerkosaan dengan unsur suku agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
”Ada juga kekhawatiran para perempuan di daerah rawan konflik akan keamanan, baik sebelum, saat pelaksanaan, maupun setelah pemilihan, terutama menguatnya politisasi agama dan identitas yang menghambat mobilitas dan partisipasi perempuan dalam bersuara dan memberikan suara,” ujar Olivia Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Kamis (1/2/2024), di Jakarta.
Pantauan Komnas Perempuan pada Pemilu 2019 juga menemukan kericuhan pemilu pada waktu itu yang mengakibatkan beberapa orang meninggal dan berdampak langsung ataupun tidak langsung pada perempuan. Peristiwa tersebut terjadi di wilayah Jakarta, tepatnya di Tanah Abang, Petamburan, Thamrin, Slipi, Jatinegara, dan Otista.
Belajar dari kericuhan penyelenggaraan pemilu lima tahun lalu, Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya pihak penyelenggara pemilu, aparat keamanan, masyarakat, serta peserta pemilu, termasuk kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, agar memikirkan keamanan dan perdamaian di Pemilu 2024.
Komnas Perempuan mengamati kericuhan lima tahun lalu terjadi akibat menajamnya bentrokan politik identitas yang memecah belah masyarakat dan memicu konflik. ”Ini merupakan akumulasi dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, yaitu Pilpres 2014, kemudian pilgub tahun 2017 dan puncaknya Pilpres 2019,” tambah Mariana Amiruddin, yang juga Wakil Ketua Komnas Perempuan.
Marina menegaskan, elite politik cenderung tidak peduli dengan perpecahan yang terjadi di masyarakat. Situasi lapangan saat ini menjelang pemilu presiden 14 Februari mendatang semakin berisiko, terutama di lokasi tertentu yang menjadi pusat kampanye dan sebagainya. Apalagi penanganan aparat cenderung represif dan lebih mengedepankan pendekatan keamanan negara daripada keamanan manusia.
”Bagi aparat keamanan, siapa pun di lapangan dianggap massa aksi, tidak dibedakan masyarakat biasa atau massa pendukung aksi kubu tertentu. Akibatnya (siapa pun) dianggap sebagai massa yang menyebabkan kericuhan,” kata Mariana.
Tak hanya itu, Komnas Perempuan mendapati pada pemilu presiden dan pilkada serentak rentan terjadi ketegangan hingga kekerasan di tengah masyarakat dan keluarga. Bahkan, eskalasi politik menjelang Pemilu 2024 juga berpotensi melahirkan ketegangan.
”Perdebatan di media sosial yang memanas dan berpindah ke ruang nyata rentan menyemai ujaran kebencian, menumbuhkembangkan narasi-narasi bohong yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Veryanto Sitohang, komisioner Komnas Perempuan.
Karena itu, Komnas Perempuan menilai penting untuk mengingatkan kepada penyelenggara pemilu agar peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Pemilu 2019 tidak terulang lagi dan masyarakat menjadi korban.
Sejauh ini, Komnas Perempuan sudah beberapa kali berkomunikasi dan berdialog langsung dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait kerawanan dan kerentanan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu, mulai dari penetapan daftar caleg yang bermasalah, Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023, hingga pengaduan daerah terhadap proses komposisi pengawas pemilu daerah.
”Kepemimpinan perempuan tidak tampak dalam peraturan KPU, termasuk Bawaslu. Terakhir, kami meminta KPU memasukkan isu perempuan dalam debat capres ataupun cawapres,” ujar Olivia.