Perpres Penangkapan dan Penyimpanan Karbon Mengaburkan Arah Transisi Energi Indonesia
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon menuai kritik.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon yang disahkan pada Selasa (30/1/2024) menuai kritik. Selain bakal memperpanjang keran penggunaan minyak dan gas bumi serta mempersempit ruang bagi pengembangan energi terbarukan, hal ini juga bertentangan dengan semangat transisi menuju energi bersih dan berkeadilan.
“Saat ini Indonesia masih belum memiliki peta jalan yang jelas terkait pemensiunan PLTU batubara. Regulasi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan juga masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Adanya perpres ini dikhawatirkan akan mengaburkan masa depan transisi energi kita karena akan memperpanjang umur bahan bakar fosil, termasuk melalui penggunaan gas yang bukan merupakan jawaban dari transisi energi,” kata Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), di Jakarta, Rabu (31/1/2024).
Presiden Joko Widodo diketahui mengesahkan Peraturan Presiden No 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon atau Perpres Carbon Capture and Storage (Perpres CCS) pada Selasa (30/1/2024). Perpres ini antara lain mengatur skema penyelenggaraan CCS di Indonesia, termasuk izin eksplorasi dan izin operasi. CCS merupakan teknologi yang dikembangkan perusahaan minyak dan gas untuk menangkap emisi karbon agar tidak lepas ke atmosfer.
Sebelumnya, calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka dalam debat kandidat Minggu (21/1/2024) juga telah menyampaikan tentang CCS sebagai salah satu solusi untuk transisi energi.
Namun, menurut Grita, terdapat banyak hal yang harus dikritisi terkait penerapan CCS sebagai solusi dari transisi energi. Mendorong CCS tanpa peta jalan yang jelas terkait pemensiunan energi fosil, khususnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, justru mengaburkan masa depan transisi energi Indonesia.
Menurut Grita, penggunaan CCS yang akan difokuskan pada kegiatan hulu minyak dan gas bumi juga akan berpotensi membuka keran penggunaan minyak dan gas bumi sebagai alternatif batubara, yang mempersempit ruang bagi pengembangan energi terbarukan serta bertentangan dengan semangat transisi menuju energi bersih dan berkeadilan.
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon disahkan pada Selasa (30/1/2024).
Menurut analisis ICEL, penerapan CCS, sebagaimana tertera dalam perpres ini belum memperhatikan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Prinsip ini mengharuskan pembuktian bahwa CCS memiliki dampak yang sangat minim terhadap kesehatan, keselamatan manusia, dan lingkungan hidup untuk dapat beroperasi.
Namun, prinsip kehati-hatian ini masih minim dipertimbangkan dalam penyelenggaraan CCS, seperti pada saat penetapan Wilayah Izin Penyimpanan Karbon yang belum mempertimbangkan risiko lingkungan, kesehatan, dan keamanan. Padahal, CCS memiliki risiko lingkungan dan sosial yang tinggi serta berlangsung dalam jangka panjang.
Selain itu, penyelenggaraan CCS juga minim partisipasi publik. Partisipasi masyarakat baru dimulai dan terbatas pada proses persetujuan lingkungan, di mana sudah terlampau terlambat bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan mengajukan keberatan. Mengingat risiko yang tinggi dari penggunaan CCS, masyarakat seharusnya berhak memperoleh informasi dan terlibat aktif sejak awal proses penyelenggaraan CCS, bahkan sejak penyiapan dan penetapan wilayah izin penyimpanan karbon.
Analisis ICEL juga menemukan, penerapan CCS masih belum memiliki langkah strategis untuk pemulihan lingkungan jika risiko lingkungan terjadi. Walaupun regulasi ini telah mewajibkan kontraktor dan pemegang izin operasi penyimpanan melakukan monitoring dalam jangka 10 tahun setelah penutupan CCS, patut digarisbawahi bahwa risiko dan bahaya lingkungan tetap dapat terjadi di luar jangka waktu tersebut.
Namun, mekanisme pertanggungjawaban apabila risiko ini terjadi di luar jangka waktu tersebut tidak dijelaskan, termasuk bagaimana tanggung jawab dan strategi untuk memulihkan karbon yang lepas jika kebocoran terjadi. Justru, regulasi ini memuat kerancuan pertanggungjawaban atas pelepasan karbon seperti dalam hal terjadi kebocoran selama pengangkutan karbon lintas negara, di mana kebocoran tersebut tidak tercatat dalam inventarisasi gas rumah kaca Indonesia.
CCS justru menjadi celah untuk praktik greenwashingperusahaan energi kotor untuk melancarkan bisnisnya. Alih-alih menurunkan tingkat produksi dan konsumsi terhadap energi fosil, CCS hanya mendalih sektor fosil tidak segera ditutup.
Menurut Syahrani, peneliti ICEL, perpres ini memang mengatur adanya penempatan dana jaminan pelaksanaan operasi penyimpanan karbon, jaminan pascaoperasi, serta dana jaminan monitoring. Namun jika dicermati, dana jaminan tersebut diperuntukkan untuk perbaikan kejadian selama operasi, biaya untuk penutupan kegiatan CCS, dan monitoring dalam jangka 10 tahun setelah penutupan CCS.
”Hal ini tentunya belum cukup karena risiko CCS ini berlangsung dalam jangka waktu yang sangat jangka panjang. Kami juga mempertanyakan, jika risiko ini terjadi di luar waktu tersebut, mekanisme pertanggungjawaban dan pemulihan seperti apa yang akan dibangun?” kata Syaharani.
Dengan melihat berbagai masalah ini, menurut pandangan ICEL, pengembangan CCS juga menimbulkan kekhawatiran yang signifikan terhadap perlindungan generasi yang akan datang. Dengan berbagai insentif yang diberikan regulasi ini kepada pengembangan CCS dan minimnya kerangka pengaman, pengembangan CCS justru akan mengalihkan pertanggungjawaban atas kerusakan jangka panjang yang timbul dari operasi ataupun dampak iklim karena keberlanjutan penggunaan energi fosil kepada generasi yang akan datang.
Pengalihan tanggung jawab ini dilakukan dengan pembebanan penurunan emisi yang terlampau besar dan pemulihan yang masif di masa mendatang. “Hal ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip keadilan antargenerasi sebagaimana diakui dalam UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjamin keberlanjutan kondisi dan sumber daya lingkungan untuk dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang,” ujar Syaharani.
Solusi palsu
Sebelumnya, Novita Indri Pratiwi dari Trend Asia, organisasi sipil di bidang lingkungan, juga menilai CCS merupakan solusi palsu dalam transisi energi. Penggunaan CCS, selain mahal, juga belum terbukti efektif sebagai solusi dekarbonisasi dalam skala besar.
Di sisi lain, CCS justru menjadi celah untuk praktik greenwashing perusahaan energi kotor untuk melancarkan bisnisnya. Alih-alih menurunkan tingkat produksi dan konsumsi terhadap energi fosil, CCS hanya mendalih sektor fosil tidak segera ditutup.
Laporan penelitian Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) pada 2022 juga menyimpulkan bahwa proyek penangkapan karbon atau CCS bukanlah solusi untuk transisi energi karena banyak yang mengalami kegagalan, selain berbiaya mahal. Dari 13 proyek yang diteliti untuk studi ini, yang mencakup sekitar 55 persen dari kapasitas operasional dunia saat ini, tujuh proyek berkinerja buruk, dua proyek gagal, dan satu proyek terhenti.
“Banyak badan internasional dan pemerintah nasional mengandalkan penangkapan karbon di sektor bahan bakar fosil untuk mencapai net zero, dan hal ini tidak akan berhasil,” sebut laporan IEEFA.