Jabodetabek Masih Akan Diguyur Hujan Lebat Selama 10 Hari
Suhu Laut Jawa semakin memanas ditambah fenomena CENS, mengakibatkan hujan terdorong ke daratan dalam 10 hari ke depan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cuaca ekstrem yang terjadi beberapa hari terakhir di Jabodetabek diperkirakan terus terjadi hingga 10 Februari 2024 dengan intensitas hujan yang semakin meningkat. Kondisi akibat memanasnya suhu permukaan Laut Jawa ini meningkatkan risiko banjir.
Peneliti Ahli Utama Klimatologi dan Perubahan Iklim, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Erma Yulihastin, menjelaskan, memanasnya suhu permukaan Laut Jawa menyebabkan hujan di perairan. Hujan tersebut lalu dibawa ke daratan oleh tiupan angin yang muncul akibat fenomena cross-equatorial northerly surge (CENS).
Fenomena CENS merupakan aliran angin permukaan dari Laut China Selatan yang sangat kuat yang melintasi ekuator ke Selatan. Ini membuat angin dari utara Jakarta menjalarkan hujan dari Laut Jawa ke sekitar Lampung dan Jabodetabek.
Sistem peringatan dini merupakan elemen kunci adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana.
Erma menyebutkan, intensitas hujan di Jabodetabek secara rata-rata akan mencapai 80 milimeter (mm) per harinya atau total 800 mm selama 10 hari pertama bulan Februari. Di Jakarta, ada pula risiko banjir kiriman dari Selatan, yakni Bogor yang dalam beberapa hari terakhir intensitas hujannya sudah mencapai 60 mm.
”Kita harus siap siaga karena ini sudah puncak. Sampai 10 Februari 2024 kita belum lepas dari hujan-hujan hari ini,” kata Erma dalam diskusi di Kantor BRIN, Jakarta, Rabu (31/1/2024).
Kondisi serupa pernah terjadi pada 2022. Kala itu Jawa Tengah dan Jawa Timur diterpa hujan berkepanjangan yang menyebabkan banjir besar. Jabodetabek relatif selamat karena ada fenomena Borneo Vortex yang mendorong angin dari barat ke timur Jawa.
Erma menambahkan, terdapat variasi fase hujan diurnal sehingga hujan maksimum di darat sering terjadi pada dini hari dengan frekuensi yang signifikan untuk wilayah di utara Jawa bagian barat termasuk DKI Jakarta. Hujan dini hari yang turun dengan intensitas tinggi atau ekstrem tersebut bahkan telah dibuktikan merupakan penyebab banjir besar di Jakarta pada 2007, 2013, 2014, 2020.
Ketua Tropical Cyclone Warning Center (TCWC) Jakarta, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Agie Wandala Putra menambahkan, secara nasional prakiraan peluang hujan sedang sampai lebat akan mencapai lebih dari 20 mm/hari hingga 5 Februari 2024. BMKG mengimbau masyarakat dan instansi terkait agar waspada terhadap potensi hujan yang disertai kilat atau petir dan angin kencang hingga sepekan ke depan.
Khusus untuk daerah bertopografi curam/bergunung/tebing atau rawan longsor dan banjir agar tetap waspada terhadap dampak yang ditimbulkan akibat cuaca ekstrem. Warga setempat agar mewaspadai banjir, banjir bandang, tanah longsor, jalan licin, pohon tumbang, dan berkurangnya jarak pandang. Masyarakat diminta terus memantau perkembangan prakiraan dan peringatan dini cuaca yang dirilis BMKG.
Komite cuaca ekstrem
Sistem peringatan dini ini masih perlu diperkuat. Keberadaannya menjadi elemen kunci adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. Penguatan sistem peringatan dini ini bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan komunitas yang berisiko terkena berbagai bahaya secara aktif.
”Kesiapsiagaan kita terhadap cuaca ekstrem itu harus nyata. Upaya merespons ancaman atau peringatan dini saat ini masih lemah. Ini perlu diperkuat ke depan,” kata Agie.
Menurut Erma, Indonesia perlu membentuk Komite Cuaca Ekstrem. Kolaborasi yang erat dari hulu ke hilir antara institusi pemerintah dan masyarakat dalam sebuah forum bersama atau komite sudah saatnya dibangun sebagai bagian dari langkah strategi nasional memitigasi dan mengantisipasi dampak cuaca ekstrem yang semakin meluas akibat perubahan iklim.
Komite ini bisa dibuat dalam sebuah program strategis nasional yang dinamakan Bangsa Siaga Cuaca atau Weather-Ready Nation (WRN) yang sebenarnya juga diinisiasi oleh Badan Meteorologi Dunia (WMO). Tujuan utama WRN tak sekadar memperkuat hilirisasi informasi peringatan dini cuaca ekstrem, tapi juga melakukan edukasi secara intensif dan meluas kepada publik.
”Di luar negeri, kita dapat mencontoh negara-negara federal di Amerika Serikat yang memiliki Komite Khusus Cuaca Esktrem beranggotakan ilmuwan, prakirawan, politisi yang merupakan wakil pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat, serta menggandeng media, LSM dan relawan,” kata Erma.