Biaya Kuliah Makin Tinggi, PTN Badan Hukum Perlu Dikaji
Biaya kuliah di perguruan tinggi yang dirasa makin mahal perlu dievaluasi dan dicari terobosan skema bantuan pembiayaan.
JAKARTA, KOMPAS — Pembiayaan kuliah di perguruan tinggi negeri terus disorot. Semakin bertambahnya perguruan tinggi negeri berstatus badan hukum atau PTN-BH dan adanya seleksi masuk jalur mandiri membuat kuliah di PTN dinilai semakin tidak ”ramah” kantong. Biaya kuliah tersebut menjadi semakin tinggi meskipun ada mekanisme pengajuan keringanan dan biaya kuliah sesuai kemampuan ekonomi.
Sejumlah pihak mengkritik dan mendesak agar hal ini dievaluasi. Apalagi, kini juga sedang hangat diperbincangkan tren mencicil uang kuliah lewat platform pinjaman daring (pindar/pinjol) yang bekerja sama dengan perguruan tinggi.
PTN-BH yang mengandeng layanan pindar untuk membantu mahasiswa mencicil biaya kuliah tunggal (UKT) yang disorot itu salah satunya Institut Teknologi Bandung (ITB). Langkah ini dinilai sebagai jalan pintas yang malah menjerat mahasiswa dalam lingkaran utang.
”Kami menilai skema cicilan UKT dengan pinjol ini merupakan short cut yang merugikan mahasiswa. Bagi mahasiswa yang benar tidak mampu, mereka terpaksa mengambil opsi ini. Bagi mahasiswa nakal, opsi ini bisa disalahgunakan untuk kepentingan lain. Ujungnya, mahasiswa dan wali mahasiswa yang dirugikan,” ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, Selasa (30/1/2024), di Jakarta.
Baca juga: Mahasiswa dalam Incaran Pinjaman Daring
Lebih lanjut, Huda memaparkan PTN-BH berhak menentukan besaran UKT bagi mahasiswa secara mandiri. Kendati demikian, dalam Pasal 65 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa penyelenggaraan fungsi pendidikan di PTN-BH harus tetap terjangkau masyarakat.
”Sayangnya, saat ini sebagian PTN-BH masih mengandalkan biaya pendidikan dari mahasiswa sebagai sumber utama pendanaan. Padahal, mereka telah diberikan otoritas yang relatif luas menggali sumber pendanaan di luar APBN,” tutur Huda.
Status PTN-BH memiliki otonomi yang lebih luas, baik dari sisi akademik maupun nonakademik, dibandingkan dengan PTN badan layanan umum, apalagi yang PTN satuan kerja. PTN-BH mempunyai hak untuk melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dalam proses penyelenggaraan pendidikan.
”Kendati demikian, kerja sama tersebut harusnya tidak boleh membuka potensi kerugian atau beban, terutama bagi kalangan mahasiswa,” tutur Huda.
Huda mengungkapkan, saat ini banyak mahasiswa merasakan beratnya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri. Kondisi ini membuat mereka tertekan secara mental. Situasi ini harus menjadi perhatian dari pemerintah dan muncul langkah-langkah terobosan untuk mengatasinya.
Menurut Huda, perlu ada kajian untuk revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 58/2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN-BH, utamanya terkait otonomi pengelolaan pendanaan. Jangan sampai otonomi pengelolaan sumber pendanaan penyelenggaraan pendidikan ini bermuara pada munculnya komersialisasi pendidikan yang memberatkan mahasiswa.
Kalau mahasiswa harus pinjam ke swasta atau pinjol untuk bayar uang kuliah, itu kekeliruan yang amat besar. Sama saja mengantarkan mahasiswa ke jurang kesengsaraan.
”Kami tentu tidak ingin otoritas pengelolaan sumber pendanaan ini justru memicu komersialisasi pendidikan, entah itu melalui UKT atau seleksi masuk mahasiswa baru melalui jalur mandiri,” kata Huda.
Perlu kajian
Huda mengatakan, Komisi X DPR akan mendorong adanya kajian untuk menghadirkan skema baru dalam meringankan beban mahasiswa yang kesulitan membayar UKT. Salah satunya dengan memanfaatkan dana abadi pendidikan yang tetap harus diperbesar sehingga manfaatnya juga bisa digunakan untuk meringankan UKT mahasiswa.
Dari Laporan Panitia Kerja Perguruan Tinggi Komisi X DPR Tahun 2023 disebutkan, PT yang mempunyai otonomi yang lebih luas, seperti PTN-BH yang menjalankan tata kelola yang baik (good university governance), terbukti dapat mengakselerasi kualitasnya sehingga dapat menjadi world class university. Kebijakan pemerintah mengizinkan jalur seleksi mandiri di PTN, bahkan untuk PTN-BH bisa maksimal 50 persen dari total kuota setiap tahun, berdampak pada keterbatasan peluang PTS untuk mendapatkan penerimaan mahasiswa baru.
Terkait jalur mandiri yang berbiaya mahal karena ada sumbangan pembangunan institusi selain UKT, Panitia Kerja (Panja) Perguruan Tinggi DPR sebenarnya merekomendasikan agar kuota untuk jalur mandiri PTN dibatasi dari maksimum 30 persen menjadi 20 persen. Kuota maksimum 30 persen untuk PTN selain PTN-BH. Adapun di PTN-BH boleh maksimal 50 persen.
Dalam keterangan di hadapan Panja PT DPR, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nizam menyampaikan, anggaran pendidikan yang dikelola oleh Kemendikbudristek sebenarnya hanya 2,7 persen dari APBN. Dari 2,7 persen itu pun harus dibagi lagi sehingga untuk ristek dan dikti sebenarnya hanya 0,9 persen.
Nizam mengatakan, sesungguhnya anggaran pendidikan tinggi yang dikelola Dirjen Dikti itu hanya 0,6 persen dari APBN. Pengelolaan anggaran sebesar itu pun harus dibagi antara PTN dan PTS secara adil.
Baca juga: Biaya Kuliah di Jalur Mandiri PTN Bersaing dengan PTS
Ia mengutarakan, jika dibandingkan dengan Malaysia, anggaran per mahasiswa PTN di Indonesia hanya seperempat dari anggaran per mahasiswa di sana. Kalau perbandingan dengan mahasiswa PTS berkisar 1-2 persen dari anggaran per mahasiswa di sana.
”Namun, dengan anggaran yang sekecil itu, kita tetap bekerja keras. Jadi, mohon dukungan untuk meningkatkan anggaran pendidikan tinggi dan pendidikan secara umum. Untuk meningkatkan sumber daya manusia yang kompetitif, jelas bukan hanya akses, melainkan kualitas yang tentu membutuhkan pendanaan. Membandingkan dengan bonus demografi, kondisi anggaran untuk pendidikan ini sesungguhnya sudah sangat kritis. Bonus demografi justru bisa menimbulkan lost generation,” papar Nizam.
Kredit mahasiswa
Aktivis pendidikan dari Tamansiswa, Darmaningtyas, mengatakan, biaya kuliah yang tinggi mengakibatkan PTN-BH sulit diakses oleh golongan tidak mampu. Jalan yang ditempuh oleh mahasiswa yang tidak mampu adalah meminta keringanan biaya kuliah. Namun, dari pengalaman sejumlah mahasiswa, upaya itu sering memakan waktu lama dan belum tentu berhasil.
”Karena pengajuan keringanan belum tentu disetujui itulah yang kemudian membuat banyak mahasiswa mencari jalan pintas dengan mencari pinjaman ke pinjaman online. Mereka yang lari ke pinjol itu biasanya karena ingin cepat,” tutur Darmaningtyas.
Menurut Darmaningtyas, pemerintah sepertinya sudah perlu menyediakan kredit mahasiswa (student loan) seperti pada masa Orde Baru. Hal ini bisa memanfaatkan bank-bank BUMN yang memberikan kredit mahasiswa dengan bunga amat kecil atau bahkan tidak dikenai bunga karena diambilkan dari CSR bank tersebut. Kelemahan pengelolaan kredit mahasiswa Indonesia (KMI) masa lalu dapat dipelajari agar tidak terulang lagi.
”Namun, kebijakan masa lalu itu sudah tepat dan perlu dihidupkan lagi. Yang diperlukan hanya perbaikan tata kelola. Kalau mahasiswa harus pinjam ke swasta atau pinjol untuk bayar uang kuliah, itu kekeliruan yang amat besar. Sama saja mengantarkan mahasiswa ke jurang kesengsaraan. Sudah susah ditambahi dengan bunga pinjaman yang tinggi,” papar Darmaningtyas.
Melalui keterangan tertulis, Direktur Utama Danacita Alfonsus Wibowo mengatakan, sebagai perusahaan layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (LPBBTI) yang berizin dan diawasi oleh OJK, Danacita memiliki misi untuk memperluas akses pendidikan di Indonesia. Wujudnya dengan memberikan layanan pendanaan pendidikan yang aman dan terjamin bagi seluruh pelajar di institusi pendidikan yang bekerja sama dengan Danacita.
Baca juga: Orangtua Indonesia Makin Sulit Biayai Kuliah Anak
Alfonsus menolak sebutan sebagai pinjol atau pinjaman online karena istilah tersebut sering dikaitkan dengan praktik layanan pendanaan yang tidak legal, tidak beretika, dan berkonotasi negatif. ”Kami senantiasa berkomitmen untuk melakukan praktik layanan pendanaan yang bertanggung jawab,” kata Alfonsus.
Pinjaman yang diajukan mahasiswa bersama walinya disalurkan langsung kepada rekening institusi kampus, bukan ke rekening perorangan dari pelajar dan/atau wali. Hal ini diterapkan dengan tujuan untuk menjamin dana yang disalurkan hanya untuk pembayaran kebutuhan pendidikan.