Pembatasan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan diharapkan dapat menekan risiko obesitas dan penyakit lainnya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan memprediksi setengah dari penduduk Indonesia mengalami obesitas pada tahun 2030 jika intervensi berarti tak dilakukan. Hal ini dipicu tingginya konsumsi makanan dan minuman tinggi gula. Karena itu, konsumsi minuman bergula dalam kemasan mesti ditekan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti dalam acara ”Sosialisasi Urgensi Pengenaan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK)”, di Jakarta, Senin (29/1/2024).
Angka obesitas di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 tercatat prevalensi obesitas pada populasi penduduk berusia 18 tahun ke atas sebesar 15,4 persen. Prevalensi tersebut meningkat menjadi 21,8 persen pada tahun 2018.
Masalah obesitas tidak boleh disepelekan. Sebab, obesitas dapat menjadi faktor risiko berbagai penyakit tidak menular yang menyumbangkan angka kematian tertinggi di Indonesia, seperti diabetes melitus, jantung, dan gagal ginjal.
Obesitas bisa dicegah dengan menjalani gaya hidup yang lebih sehat, termasuk membatasi konsumsi gula harian.
”Setiap peningkatan satu takaran saji minuman berpemanis per hari berhubungan dengan peningkatan berat badan sebesar 0,12 kilogram per tahun pada orang dewasa dan peningkatan indeks massa tubuh sebesar 0,05 kilogram per tahun pada anak,” kata Eva.
Kementerian Kesehatan merekomendasikan batasan konsumsi gula harian yang aman, yakni 50 gram gula per hari. Jumlah itu setara dengan 4 sendok makan gula. Asupan gula tak hanya berasal dari gula pasir yang biasanya ditambahkan pada minuman, tetapi juga gula tambahan yang ada di dalam minuman kemasan.
Minuman kemasan
Tingginya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan menyumbang kenaikan kasus obesitas dan penyakit tak menular lain. Konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di Indonesia tinggi, yakni posisi ketiga tertinggi di Asia Tenggara dengan konsumsi 20,23 liter per orang pada tahun 2019.
Kementerian Kesehatan telah merekomendasikan batasan konsumsi gula harian yang aman, yakni 50 gram gula per hari. Jumlah itu setara dengan 4 sendok makan gula.
National Professional Officer, Policies, and Legislation Healthier Population Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia Dina Kania menuturkan, semua minuman dalam kemasan yang mengandung gula bebas dapat disebut sebagai minuman berpemanis atau minuman bergula dalam kemasan.
Minuman bergula tersebut termasuk minuman bersoda, minuman energi, minuman teh ataupun kopi kemasan, air minuman berperisa, jus buah atau sayur dalam kemasan, minuman dalam bentuk konsentrat dan bubuk, serta minuman susu berperisa, seperti susu kemasan dengan rasa coklat dan susu rasa stroberi.
Gula bebas pada kemasan minuman biasanya tertulis sebagai kandungan monosakarida, seperti glukosa, fruktosa, serta disakarida, misalnya sukrosa. Gula bebas tak termasuk sebagai gula yang secara alami dalam susu, seperti laktosa dan galaktosa serta gula intrinsik, yang secara alami terdapat di buah dan sayur.
Dina menuturkan, minuman bergula dalam kemasan umumnya mengandung gula bebas yang tinggi.
Pada minuman teh kemasan botol, misalnya, mengandung sekitar 5,5 sendok teh gula. Jumlah lebih besar ditemukan pada minuman bersoda 8,5 sendok teh gula, jus buah 9,5 sendok teh gula, dan minuman berenergi sekitar 10 sendok teh gula.
”Minuman bergula dalam kemasan merupakan produk nonesensial yang tidak memiliki nilai nutrisi tambahan yang bisa berdampak negatif bagi kesehatan. Karena itu, upaya pembatasan konsumsi minuman bergula ini perlu dilakukan, salah satunya dengan cukai,” ujarnya.
Cukai
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang juga staf pengajar di Departemen Ilmu Gizi FKUI-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Rina Agustina, penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan efektif menekan konsumsi jenis minuman itu di sejumlah negara.
Di Meksiko, penerapan cukai sekitar 10 persen pada minuman berpemanis dalam kemasan telah menurunkan penjualan rata-rata 6-8 persen.
Saat ini, 108 negara menerapkan kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan. Indonesia tidak termasuk di dalamnya.
”Secara evidence, efek cukai untuk MBDK (minuman berpemanis dalam kemasan) paling efektif minimal 20 persen. Namun, selain cukai, bisa diterapkan subsidi pada produk yang lebih sehat. Jadi, harga produk yang lebih sehat lebih mudah dan produk MBDK meningkat,” ujarnya.
Rina menambahkan, berbagai riset di beberapa negara memperlihatkan pula penurunan kasus berat badan berlebih dan obesitas dengan adanya penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan.
Penerapan cukai 20 persen pada minuman berpemanis dalam kemasan mampu menekan prevalensi kasus berat badan berlebih sekitar 1-3 persen dan prevalensi obesitas 1-4 persen.
Analisis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Sarno, mengutarakan, pemerintah kini menyusun rancangan cukai minuman berpemanis dalam kemasan.
Pada rancangan sementara, jenis MBDK yang tidak dipungut cukai ialah produk tanpa bahan tambahan pangan pemanis dengan kadar gula kurang dari 6 gram per 100 ml. Itu merujuk pada peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang mensyaratkan kandungan gula maksimal 6 gram per 100 mililiter.
Sementara produk MBDK yang dipungut cukai ialah produk MBDK tanpa bahan tambahan pangan pemanis dengan kadar gula lebih dari 6 gram per 100 ml dan MBDK yang mengandung bahan tambahan pangan pemanis alami ataupun buatan dalam kadar berapa pun.
”Besaran tarif mempertimbangkan rata-rata tarif cukai MBDK di negara ASEAN yang sebesar Rp 1.771 per liter. Namun, ini masih terbuka untuk pembahasan lebih lanjut, termasuk penerapan layer (lapisan) tarif sesuai dengan kandungan gula pada produk,” ujarnya.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menuturkan, penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan diharapkan menekan konsumsi di masyarakat sehingga risiko penyakit akibat konsumsi minuman berpemanis bisa ditekan. Koordinasi antarlintas kementerian dan lembaga tengah dilakukan agar penerapan cukai MBDK segera dilakukan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 pun telah mengamanatkan adanya regulasi terkait penerapan cukai pada produk makanan dengan kandungan gula, garam, dan lemak (GGL). Regulasi tersebut diperlukan untuk memperkuat gerakan masyarakat hidup sehat.
”Bayangkan, kalau kita diamkan, pada 2030 akan ada setengah masyarakat Indonesia yang mengalami obesitas. Kalau kita menerapkan cukai GGL, kita harapkan obesitas, hipertensi, dan jantung bisa menurun,” ujarnya.