Ditargetkan Satu Bulan, “Publisher Rights" Belum Rampung hingga Satu Tahun
Publisher rights diperlukan untuk menghadirkan ekosistem yang adil bagi penerbit dan media.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saat menghadiri puncak Hari Pers Nasional tahun lalu di Sumatera Utara pada 9 Februari 2023, Presiden Joko Widodo meminta regulasi publisher rights dirampungkan dalam satu bulan. Namun, nyaris satu tahun berselang, peraturan tentang tanggung jawab platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas itu belum juga rampung.
Padahal, publisher rights diperlukan untuk menghadirkan ekosistem yang adil bagi penerbit dan media. Sebab, selama ini, distribusi konten didominasi oleh perusahaan platform. Tanpa adanya dukungan untuk konten berkualitas, produksi konten sensasional dengan judul umpan klik atau click bait akan sulit dibendung.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong mengatakan, pihaknya masih membahas publisher rights yang berupa peraturan presiden (perpres) tersebut. “Kita berharap disahkan sebelum Hari Pers Nasional 2024 (9 Februari),” ujarnya seusai menghadiri diskusi AI dan Keberlanjutan Media di Jakarta, Senin (29/1/2024).
Salah satu pembahasannya adalah langkah mitigasi terkait dampaknya terhadap media massa saat regulasi itu diterapkan. Hal ini untuk mengantisipasi jika perusahaan platform tidak lagi mendistribusikan konten yang dihasilkan media.
“Misalnya kalau dilihat di Australia dan Kanada, ini perusahaan platform mengancam untuk menarik pemberitaan dari platformnya. Artinya platform itu tidak akan menayangkan berita lagi. Inilah yang harus dimitigasi. Mudah-mudahan ini tidak terjadi (di Indonesia),” jelasnya.
Selain publisher rights, ekosistem media di Tanah Air juga membutuhkan regulasi yang mengatur pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Sebab, teknologi ini sudah banyak digunakan oleh perusahaan pers sehingga perlu segera diatur agar tidak menimbulkan persoalan.
Usman menuturkan, terdapat sejumlah regulasi yang turut mengatur AI, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU Pelindungan Data Pribadi. Namun, ia mengakui regulasi yang ada saat ini masih parsial dalam mengatur AI.
Selain publisher rights, ekosistem media di Tanah Air juga membutuhkan regulasi yang mengatur pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Sebab, teknologi ini sudah banyak digunakan oleh perusahaan pers sehingga perlu segera diatur agar tidak menimbulkan persoalan.
“Yang kita perlu adalah undang-undang tentang AI yang komprehensif. Saat ini BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) juga sedang menggodok regulasinya dalam bentuk perpres,” ucapnya.
Dewan Pengawas LPP (Lembaga Penyiaran Publik) TVRI Agus Sudibyo mengatakan, tanpa intervensi negara, pertemuan antara publisher atau media dan perusahaan platform ibarat “David” dan “Goliath”. Selain dalam aspek bisnis, platform juga sangat dominan dalam distribusi konten.
“Kekuatan platform besar sekali. Ini sulit dihadapi karena platform memberikan kegembiraan dengan berbagai pelayanannya. Namun, negara harus mengatur operasional platform global dengan beberapa regulasi,” ucapnya.
Menurut Agus, upaya untuk membuat publisher rights dengan melibatkan masyarakat sipil dan asosiasi media dalam pembahasannya sudah tepat. Namun, perlu dipastikan setiap regulasi tidak mereduksi dampak positif dari platform digital tersebut.
Ketua Bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Ninuk M Pambudy mengatakan, teknologi AI sudah dipakai untuk mendukung kerja-kerja jurnalistik. Namun, AI tidak sepenuhnya dapat menggantikannya.
“Hal-hal rutin, seperti laporan cuaca, bisa saja digantikan (oleh AI). Tetapi, untuk jurnalisme investigatif akan sulit digantikan oleh AI. Sebab, situasi lapangan dan konteksnya hanya bisa dilakukan oleh manusia,” ujarnya.
Diskusi media ini digelar dalam rangka menyambut Hari Pers Nasional 2024. Hadir pula CEO Tribun Network Dahlan Dahi dan CEO Info Media Digital (Tempo Digital) Wahyu Dhyatmika sebagai pembicara dalam diskusi tersebut.