Mengandung Bias, Sumber Sejarah dari Kolonial Perlu Dikritisi
Sumber sejarah kolonial perlu dikritisi karena mengandung bias. Ini sekaligus peluang untuk menulis ulang sejarah itu.
JAKARTA, KOMPAS — Sejarah tentang Indonesia banyak dituliskan berdasarkan informasi yang bersumber dari VOC (persekutuan dagang asal Belanda) dan pemerintah kolonial Belanda. Sumber sejarah itu wajib dikritisi karena mengandung bias yang ditujukan untuk berbagai kepentingan penjajah.
Sumber-sumber dari kolonial tersebut perlu diperiksa ulang untuk mendapatkan sejarah yang lebih valid. Hal ini sekaligus membuka peluang bagi sejarawan Tanah Air untuk menulis ulang sejarah tentang Indonesia.
Sejarah tentang penyerangan VOC ke Banda, Maluku, oleh Jan Pieterszoon Coen pada 1621, misalnya, selama ini sering dituliskan tidak utuh. Setelah penaklukan Banda yang disertai dengan pembantaian massal, buku-buku sejarah menggambarkan penduduk Banda telah musnah. VOC kemudian mengisi kepulauan itu dengan penduduk baru untuk menanam pala dengan sistem perken atau sewa lahan kepada pihak ketiga yang dikerjakan oleh pekerja dari luar Kepulauan Banda.
Coen melaporkan kepada parlemen Belanda bahwa hampir semua penduduk Banda tewas karena perang dan kemiskinan. Pernyataan ini sering dikutip sejarawan untuk menggambarkan sempurnanya misi genosida yang dipimpin oleh Coen.
Akan tetapi, buku Genosida Banda: Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterszoon Coen yang ditulis Marjolein van Pagee mengungkap fakta lain tentang sejarah kelam itu. Masih terdapat orang Banda yang berhasil menyelamatkan diri dengan keluar dari Banda, seperti ke Kepulauan Kei dan Seram.
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso mengatakan, buku tersebut menawarkan perspektif baru berdasarkan sumber kesaksian keturunan penduduk asli Banda. Buku yang diterbitkan Komunitas Bambu itu memberikan kritik tajam terhadap pandangan Eropasentris yang mendominasi historiografi kolonial.
Baca juga : Novel ”Rasina”, Jembatan Mempelajari Sejarah Kelam Penjajahan
”Pandangan kolonial itu perlu dikritisi. Narasi-narasi yang mereka sajikan ternyata bias dengan berbagai kepentingan sehingga sering sekali mengabaikan sejarah yang sebenarnya terjadi,” ujarnya dalam diskusi buku tersebut di Museum Sejarah Jakarta, Sabtu (27/1/2024).
Kepentingan mengaburkan sejarah itu dilakukan untuk berbagai tujuan. Sebab, dengan menyebutkan nyaris tidak ada penduduk asli tersisa, VOC atau penjajah akan dengan mudah memonopoli perdagangan di Banda yang terkenal sebagai penghasil pala bermutu tinggi. Hak-hak warga setempat pun terancam dirampas.
”Kita perlu hati-hati melihat sumber sejarah, tidak langsung menerima begitu saja. Sebab, fakta-fakta sejarah disampaikan dengan berbagai kepentingan kolonial ketika itu dituliskan sebagai sumber,” ucapnya.
Menurut Bondan, salah satu argumentasi penting dalam buku itu adalah genosida terhadap orang Banda menunjukkan bahwa kolonialisme tidak hanya menghilangkan nyawa manusia. Kolonialisme juga menghancurkan budaya, kesempatan hidup untuk sejahtera, serta ingatan kolektif orang Banda yang menjadi korban pembantaian.
Apalagi, terdapat upaya legitimasi kolonialisme dalam masyarakat Belanda dengan memopulerkan pernyataan Coen, yaitu No Business Without Battle (tidak ada bisnis tanpa pertempuran). Istilah ini seakan menormalisasi kekerasan karena diimbangi oleh hal-hal positif terkait ekonomi yang diperoleh dari eksploitasi terhadap tanah koloni.
Dengan menyebutkan nyaris tidak ada penduduk asli tersisa, VOC atau penjajah akan dengan mudah memonopoli perdagangan di Banda yang terkenal dengan penghasil pala bermutu tinggi. Hak-hak warga setempat pun terancam dirampas.
Bondan menyebutkan, sebelum kedatangan bangsa Eropa, Banda merupakan wilayah yang terbuka bagi siapa pun yang ingin berdagang. Namun, kedatangan bangsa Eropa, terutama Belanda, menjadikan Banda sebagai tempat persaingan dalam memperebutkan monopoli perdagangan pala.
Nasib Kepulauan Banda pun sama dengan wilayah jajahan VOC lainnya, yaitu Batavia. Kedua daerah tersebut diatur secara ketat oleh VOC. Sementara penduduknya tidak diberi kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pemutarbalikan sejarah
Buku Genosida Banda: Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterszoon Coen tidak cuma bercerita tentang genosida, tetapi juga pemutarbalikan sejarah selama ratusan tahun. Hingga kini, patung Coen masih berdiri dan dipuja di Amsterdam, Belanda. Fakta bahwa dia pernah melakukan genosida tidak pernah diakui oleh pemerintah Belanda.
Dalam buku itu disebutkan, sekitar 1.700 orang Banda mengungsi agar terhindar dari genosida. Setelah sekitar 400 tahun, saat ini menjadi waktu yang tepat untuk melihat kondisi orang-orang Banda, sebuah komunitas masyarakat yang dikehendaki untuk musnah, tetapi masih ada hingga sekarang.
Penulisan buku setebal 201 halaman itu tidak terlepas dari pertemuan Marjolein dengan tiga orang keturunan Banda di Belanda. Dari sana ia mulai meneliti lebih jauh. Pada Januari 2024, ia berkesempatan menemui keluarga Wandan (nama untuk keluarga Banda asli) di Jakarta. Dalam pertemuan itu, keluarga Wandan mengangkat banyak kisah diceritakan turun-temurun oleh leluhur mengenai peristiwa genosida 1621.
Marjolein mengatakan, keberadaan komunitas Bandan menjadi bukti upaya genosida yang dilakukan Coen telah gagal. Sebab, penduduk asli Kepulauan Banda tidak sepenuhnya berhasil dimusnahkan.
Penghapusan komunitas Wandan dalam sejarah Banda menjadi benang merah dalam buku ini. Penghapusan secara struktural itu juga meninggalkan jejak di Indonesia.
Baca juga: Momen Empat Abad Kembalinya Basudara Wandan ke Banda
”Perlu ada kesadaran bahwa selain melakukan kekerasan brutal, penjajah juga memutarbalikkan kebenaran. Jika sejarawan tidak kritis terhadap sumber-sumber Belanda, mereka berisiko ikut menyebarkan kebohongan kolonial,” ujarnya.
Direktur Pusat Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Gender Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Hadi Purnama mengatakan, memahami genosida di Banda tidak hanya penting dalam studi sejarah, tetapi juga hukum internasional. Sebab, buku itu turut membahas sepak terjang penasihat hukum VOC, Hugo de Groot, yang dikenal sebagai peletak dasar hukum internasional.
”Bisa saja Hugo de Groot menjadi seseorang yang mengambil keuntungan dari apa yang terjadi di Banda untuk menaikkan dirinya dalam posisi cukup penting. Saatnya kritis terhadap sejarah dan hukum kita,” katanya.